Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Para Pelari yang Menaklukkan Waktu

Bertahun-tahun Jamaika mendominasi nomor sprint di kejuaraan atletik kelas dunia. Hasil kerja sama hebat antara pelatih, kampus, dan dukungan masyarakat.

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hegemoni" Jamaika dalam lari cepat belum terpatahkan. Sampai pada Kejuaraan Dunia Atletik 2015 di Beijing yang berlangsung dua pekan lalu pun Jamaika masih berkuasa—tim putra menyapu bersih nomor sprint dan tim putri memenangi tiga medali emas, yaitu lari 100 meter, estafet 4 x 100 meter, dan estafet 4 x 400 meter.

Satu hal penting yang perlu dicatat: sebelum Beijing 2008, tim Jamaika memang sudah pernah mendapatkan beberapa medali emas dari nomor lari di Olimpiade. Tapi mereka tidak pernah mendapatkan lebih dari dua medali emas dalam satu Olimpiade—hingga akhirnya Stephen Francis, konsultan manajemen, memutuskan banting setir: menjadi pelatih lari.

Sebenarnya Francis bukanlah bintang atletik Jamaika—dia hanya atlet nomor lempar yang tidak sukses. Dia juga belum pernah membawa seorang atlet mencapai prestasi puncak di tingkat dunia. Wajar jika publik Jamaika saat itu memandang Maximising Velocity and Power (MVP), klub atletik yang didirikan Francis, dengan sebelah mata.

Dalam The Bolt Supremacy: Inside Jamaica's Sprint Factory, penulis Richard Moore mengetengahkan Francis sebagai pelahap buku atletik dan kepelatihan. Sejak menjalani kuliah S-1 di Jamaika, Francis sebenarnya sudah mulai melatih secara paruh waktu.

"Saya memulai dengan membaca buku soal track and field (cabang-cabang olahraga atletik)," kata Francis. "Lalu, saya sadar, bacaan saya harus meluas ke area-area seperti fisiologi, biomekanik, dan anatomi. Untuk bisa menjadi pelatih dengan pengetahuan lengkap, Anda perlu membaca jauh lebih banyak daripada yang pernah dipikirkan orang."

Francis ingin membuktikan bahwa orang-orang Jamaika memiliki kemampuan melatih atlet. Sebab, selama ini bintang-bintang atletik remaja Jamaika selalu pergi ke Amerika Serikat untuk meniti karier atletiknya—mereka menerima beasiswa di salah satu universitas di sana dan berlatih di bawah bimbingan pelatih-pelatih Amerika.

Brigitte Foster-Hylton adalah bintang pertama MVP. Dia pelari perempuan yang mendapatkan beasiswa kuliah di Amerika Serikat, tapi tak menghasilkan prestasi mengesankan. Dia gagal. Namun, begitu Foster-Hylton kembali ke Jamaika, dalam setahun Francis dan tim MVP berhasil membuat dia lolos ke babak final lari 100 meter gawang di Olimpiade Sydney. Francis sangat senang, kendati hal itu bukanlah pencapaian tertinggi mereka.

Pada akhir 2000, Francis merekrut Asafa Powell. Saat itu ia masih 18 tahun dan bukan bintang atletik di Jamaika. Pencapaian terbaik Powell 10,8 detik di nomor lari 100 meter kejuaraan sekolah menengah—jauh dari standar prestasi dunia. Tapi, di MVP, Francis kemudian berhasil menyulapnya jadi bintang yang mencorong: berhasil mencetak rekor dunia lari 100 meter pada 14 Juni 2005 dengan catatan waktu 9,77 detik.

Sekarang berlatih di negeri sendiri mulai menjadi pilihan yang masuk akal. Bahkan beberapa pelari muda terbaik yang dimiliki negeri itu—Usain Bolt, Yohan Blake, Shelly-Ann Fraser-Pryce, Warren Weir, Nesta Carter, dan Kemar Bailey-Cole—memilih dilatih klub-klub lokal. Saat itu, selain Francis, ada Glen Mills, maestro lari yang mendirikan klub Racers Track dan melatih Usain Bolt.

* * * *

Metode latihan Francis dan Mills sama-sama dipengaruhi Dennis Johnson, bintang sprint internasional dari Jamaika pada 1960-an yang kemudian menjadi arsitek program pelatihan atletik di Jamaika. Johnson sendiri mendapatkan inspirasi dari salah satu pelatih sprint legendaris Amerika Serikat, Bud Winter, yang berjasa memolesnya.

Metode Winter berfokus pada mekanika sprint: seorang atlet harus memiliki bentuk gerakan yang tepat. Winter menekankan pentingnya mempertahankan bentuk itu selama berlari.

Menurut The Bolt Supremacy: Inside Jamaica's Sprint Factory, Johnson pun terobsesi pada mekanika itu. Sprint bukan sesuatu yang alami, bukan hanya menggerakkan kaki dengan cepat. "Bahkan Johnson juga mengatakan bahwa sprint meminimalkan kontak dengan tanah sekaligus mengaplikasikan dorongan (gaya) sebanyak mungkin."

Keberhasilan Francis dan pelatih-pelatih lain tak lepas dari dukungan universitas-universitas di Jamaika. Klub MVP telah menjalankan kerja sama selama bertahun-tahun dengan University of Technology Jamaica. Hal ini berawal saat MVP mengalami kesulitan keuangan pada tahun-tahun awalnya dan harus pindah dari lintasan latihan yang selama ini mereka gunakan.

Francis datang ke Utech—sebutan untuk University of Technology—dan memberi penawaran: pelatihan atletik gratis kepada mahasiswa-mahasiswa Utech. Sebagai gantinya, MVP bisa menggunakan fasilitas latihan di universitas itu. Sejak itu, kerja sama kedua pihak terus terjalin. "Kebanyakan atlet yang masuk Utech tahu bahwa mereka akan bergabung dengan MVP," ucap Francis. "Kami hampir seperti satu lembaga. Kami berbagi segalanya."

Utech memiliki fakultas yang khusus mengembangkan ilmu pengetahuan olahraga, yaitu Fakultas Sains dan Sport. Bersama rombongan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Johansyah Lubis, dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Jakarta, berkesempatan mengunjungi universitas itu pada November tahun lalu.

"Ruang kantor dan kuliah universitas itu sederhana. Beberapa ruang kelasnya hanya berupa kontainer-kontainer," tutur Johansyah. "Tapi yang membuat saya terkesan adalah kebanggaan mereka terhadap mahasiswa-mahasiswanya yang berprestasi di bidang atletik. Mereka memampangkan foto-foto atlet mahasiswa mereka di sebuah papan."

Selain Utech, universitas lain yang menjalin kerja sama dengan klub adalah University of the West Indies di Mona. Mereka adalah partner Racers Track Club, yang membina Usain Bolt. Setelah Bolt memenangi Olimpiade 2008, universitas ini membangun lintasan latihan yang dinamai Usain Bolt Track.

University of the West Indies, kata Johansyah, memiliki kekhususan dalam bidang kedokteran olahraga. Di kampus itu terdapat sarana fisioterapi dan kolam untuk rehabilitasi pasca-operasi atlet. "Menurut saya, adanya kekhususan-kekhususan tertentu di tiap universitas itu sangat membantu perkembangan atlet di sana," ujar Johansyah, yang aktif sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas—lembaga bentukan pemerintah yang bertanggung jawab mempersiapkan atlet untuk mengikuti kompetisi multicabang internasional.

Bukan hanya Francis dan dukungan universitas yang membuat Jamaika bisa mendominasi nomor sprint. Program kompetisi yang diadakan pemerintah dan antusiasme masyarakat juga salah satu faktor penting.

"Mulai Januari hingga Maret, ada kompetisi atletik setiap pekan," kata Henny Maspaitella, pelatih sprint nasional yang juga ikut dalam rombongan kunjungan ke Jamaika. "Jadi bayangkan bagaimana olahraga digalakkan di sana."

Kompetisi atletik remaja antarsekolah pun menjadi acara yang sangat bergengsi. Kegiatan itu dinamai The Champ. Moore melaporkan, suasana pergelaran The Champ mirip seperti konser atau kegiatan olahraga besar lain. Warga Kingston memadati Stadion Nasional Jamaika. Pengamanan ketat. Headline koran-koran sibuk membicarakan siapa yang bakal memenangi The Champ. Stasiun televisi juga menyiarkan acara itu secara langsung.

The Champ memang sebuah batu loncatan. Mereka yang berprestasi di kejuaraan ini akan direkrut pelatih-pelatih atletik Amerika Serikat untuk dibawa ke Negeri Abang Sam atau dipinang klub-klub elite di Jamaika. Atletik adalah jalan sebagian besar anak-anak di Jamaika untuk keluar dari kemiskinan. Betty Ann Blaine dari Jamaica Observer menulis, "Remaja-remaja Jamaika terus unggul di nomor track karena siswa termiskin dari kawasan paling terpencil dan mereka yang hidup tertekan di kota memiliki kesempatan berkompetisi."

Dengan kombinasi program pemerintah, semangat mencari penghidupan yang lebih baik, faktor genetika yang mendukung, serta keberanian dan kepercayaan diri beberapa pelatih ternama Jamaika, tak mengherankan jika Dennis Johnson, arsitek pembinaan atletik Jamaika, memiliki keyakinan kuat. "Dengarkan saya, Man, Jamaika tidak akan pernah kalah di nomor sprint untuk 50 tahun ke depan," ujarnya.

Gadi Makitan


Perjalanan MVP

1999:
MVP merekrut atlet pertama mereka, Brigitte Foster-Hylton, perempuan Jamaika berusia 25 tahun. Dia sempat berlatih di Amerika, tapi gagal mencetak prestasi.

2000:
Setelah dibina selama setahun, Foster-Hylton berhasil lolos ke babak final lari 100 meter gawang di Olimpiade Sydney 2000. Dia finis di urutan kedelapan.

2001:
Asafa Powell, pelari remaja yang kariernya tidak terlalu bersinar, direkrut dan dibina MVP.

2005:
Powell memecahkan rekor dunia lari 100 meter di Athena pada 14 Juni 2005.

2008:
Delapan pelari MVP membawa pulang sembilan medali dari Olimpiade Beijing. Lima di antara para pelari itu memperoleh medali emas. Ini memulai tradisi dominasi Jamaika di nomor sprint dalam kejuaraan bergengsi seperti Olimpiade dan Kejuaraan Dunia Atletik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus