Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia seorang putra daerah kelahiran Tanah Toa, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sejak peristiwa 11 September 2001, namanya lebih dikenal di Amerika Serikat daripada di Tanah Air. Shamsi Ali, 47 tahun, kini Kepala Masjid Al-Hikmah sekaligus Direktur Jamaica Muslim Center di Jamaica, Queens, New York. Shamsi moderat, juga kontroversial, di dalam komunitas muslim di New York. Ketika Muktamar Muhammadiyah digelar di Makassar, Agustus lalu, ia diundang untuk memberikan gambaran tentang Islam di Amerika.
Tinggal di New York sejak 1996 membuat Shamsi bisa memandang masalah umat Islam di Indonesia lebih berjarak dan kritis. Mengapa Islam kerap bersimpangan dengan Barat, apa saja kekurangan umat Islam selama ini, berikut ini petikan wawancara Tempo, Agustus lalu, di Jakarta.
Apa kendala dalam hubungan Islam dan agama lain di Amerika Serikat?
Salah satu masalah dalam hubungan antar-agama adalah kesimpulan-kesimpulan tentang orang lain, dan kita tak berani mengklarifikasinya. Inilah racun. Kita hidup dalam zona aman, dan dibutuhkan keberanian untuk menembus kondisi ini.
Ini pengalaman pribadi?
Saya mengalami hal ini karena saya muslim yang lahir di Indonesia, negara muslim terbesar; belajar di pesantren enam tahun; kemudian belajar di Pakistan pada saat perang bergejolak di Afganistan, negara tetangganya. Pengalaman ini membentuk pandangan saya tentang orang lain. Seolah-olah kita dimusuhi, digempur, dan kita pun marah. Kita membenci Barat sedemikian rupa, seolah-olah segala keburukan di dunia ini by design oleh Barat (teori konspirasi—Red.). Ditambah lagi saya mengajar di Saudi dua tahun. Karena kehidupan di sana eksklusif, asumsi dan emosi ini bertambah besar.
Apa untungnya "menembus zona aman" bagi umat Islam?
Dialog mengurangi stigma oleh kedua pihak dan, lebih dari itu, terbangun solidaritas. Berkat dialog, ada tiga pendeta teman saya yang diam-diam pergi ke toko buku pada hari Minggu di New York. Dalam khotbahnya, mereka bilang Al-Quran mengirimkan pesan cinta. Untuk membuktikannya, mereka membagi-bagikan Al-Quran kepada jemaahnya setelah khotbah. Sementara itu, teman-teman di dunia Islam terlalu mengedepankan emosi dan sentimen. Ketika ada pembakaran Al-Quran di Florida, ada pembakaran gedung sebagai balasan. Begitu juga saat muncul kartun Nabi Muhammad.
Tentu ada alasannya kenapa umat Islam mudah tersinggung, marah....
Setiap bangsa ada masanya terperangkap dalam amarah. Dulu Kristen begitu, sekarang umat Islam. Mungkin benar ada kesalahan orang lain yang ikut andil memicu kemarahan ini. Tapi saya tidak selalu ingin menyalahkan orang lain. Kita berada dalam kegelapan dan kemarahan, destruktif, karena kurangnya keinginan introspeksi. Seolah-olah, kalau kita sudah ber-Islam, semua persoalan politik dan ekonomi selesai, padahal itu cuma pada dataran emosi.
Apakah harus menjadi minoritas dulu untuk membenarkan persepsi ini?
Tidak harus. Yang jelas, mayoritas ini harus berani go beyond the comfort zone untuk mengkonfirmasi konsep tentang orang Kristen atau orang tertentu, untuk membangun persepsi yang benar.
Sebenarnya apa perbedaan orang Amerika, Indonesia, dan Eropa dalam beragama?
Amerika mirip Indonesia, berbeda dengan Eropa Barat. Sekularisme di Amerika, negara tak berhak mengatur agama. Negara justru menjamin kebebasan beragama. Di Indonesia, saya rasa begitu juga. Amerika sangat agamis, menghormati agama. Contohnya, sebelum didiskusikan di Indonesia, di New York, polisi wanita boleh memakai jilbab, dengan topi ditaruh di atasnya. Dan itu tak pernah didiskusikan seperti di sini, karena hak itu sudah dijamin konstitusi.
Ada kalanya agama naik daun bersama munculnya seorang diktator. Apakah Islam bisa bekerja sama dengan kediktatoran atau otoritarianisme?
Islam tidak bisa bekerja sama dengan kediktatoran. Ketika Nabi Muhammad meninggal, beliau tidak menunjuk penggantinya. Kalau Nabi menunjuk, siapa yang berani menolak? Tapi beliau ingin umatnya berdemokrasi, bermusyawarah. Begitu juga sewaktu Perang Khandak. Beliau, yang sebenarnya lebih setuju berperang di luar kota, akhirnya mengikuti kehendak para sahabat untuk berperang di dalam kota. Beliau ini rasul, selalu mendapat ilham dari langit, tapi selalu meminta pendapat rakyatnya. Jadi Islam tidak identik dengan kekuasaan absolut. Inilah nilai-nilai demokrasi dalam Islam.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo