Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUDUL BUKU: GO SET A WATCHMAN
Karya: Harper Lee
Penerbit: William Heinemann, London, 2015
Tebal: 278 halaman
Scout adalah Jean Louise Finch.
Pada 1950-an, Scout adalah seorang perempuan dewasa bernama Jean Louise berusia 26 tahun yang menatap ke luar jendela kereta api dalam perjalanan dari New York menuju kampung fiktif Maycomb. Pemandangan kampung halamannya segera saja mengingatkan pada sebuah masa kecilnya bersama seluruh kenangan bersama nama-nama yang kita kenal: Jem, Dill, dan Calpurnia. Tapi kita segera dihadapkan pada kenyataan pahit: harus melakukan sebuah dekonstruksi tentang sosok ideal yang selama ini kita puja, Atticus Finch.
Kali ini Harper Lee membawa pembaca kepada sebuah pergulatan batin seorang perempuan muda tentang siapa sesungguhnya Atticus Finch, ayahnya yang dia puja dan selama ini menjadi kompas dalam hidupnya. Kenangan itu juga menyentuh beberapa nama yang kita kenal dalam novel legendaris To Kill a Mockingbird (1960): Jem dan Dill. Kedua nama yang penting dalam novel sebelumnya kini muncul hanya dalam kenangan. Jem sudah berpulang karena serangan jantung di usia muda, seperti ibu mereka yang sudah lama wafat. Dill hanya muncul dalam bentuk ingatan Jean Louise yang merindukan masa kecil yang asyik dan polos, sementara kini dia harus memutuskan apakah dia akan menikah dengan Hank atau Henry Clinton, penduduk Maycomb sejati yang mencintainya sejak remaja.
Tentu saja kita melihat benang merah dari To Kill a Mockingbird ke novel terbaru yang menghebohkan ini. Scout adalah anak perempuan tomboi, menderita jika harus mengenakan rok dan selalu menghajar anak lelaki yang berani menghina mereka yang lemah; sedangkan dalam novel ini Jean Louise mengenang "perubahan" dari seorang anak perempuan yang bebas bergerak bersama Jem dan Dill menjadi remaja akil balik yang histeris melihat darah yang mengalir karena itulah saatnya dia dianggap "perempuan"—demikian kata penduduk Maycomb. Dengan jenaka, Harper menceritakan bagaimana Jean Louise yang polos itu menyangka cukup dengan berciuman dan bersentuh lidah, seorang remaja bisa hamil dan pastilah satu desa akan mengutuknya.
Tapi semua kenangan masa kecil ini—yang sesekali diselingi adegan Jean Louise berenang-renang di sungai dengan pacarnya dan menjadi gunjingan warga Maycomb—bukanlah puncak cerita.
Seperti Scout dalam To Kill a Mockingbird, Jean Louise dalam novel ini sangat memuja ayahnya. Seorang duda yang tak pernah berhenti mencintai istrinya; seorang ayah yang sangat mengabdi membesarkan kedua anaknya dengan penuh kasih, sikap liberal, dan penuh humor. Pada satu bagian Go Set a Watchman, Harper menyajikan adegan lucu ketika Jean Louise dan Hank digunjingkan orang sekampung berenang-renang telanjang di sungai, sementara Tante Alexandra panik akan akibatnya. Reaksi Atticus hanyalah "saya harap kalian tidak berenang gaya punggung, ya....".
Pendeknya, awal novel ini memberi kesan Atticus Finch yang kini berusia 72 tahun adalah Finch yang liberal. Dalam To Kill a Mockingbird, tokoh Atticus Finch adalah sosok teladan bukan hanya bagi Scout dan Jem, tapi juga bagi seluruh Amerika. Para pengacara di Amerika mengaku ingin menjadi pengacara karena Atticus, karena idealismenya, karena kegigihannya membela seorang warga kulit hitam yang terkena tuduhan (palsu) telah memerkosa seorang gadis kulit putih. Adegan pengadilan dalam novel dan film adalah adegan klasik yang paling ditiru dan menginspirasi berbagai novel dan film yang melibatkan kisah hukum sosial.
Tapi ternyata Atticus Finch pada konsep awal Harper Lee bukanlah Atticus pujaan dunia. Belakangan, dalam Go Set a Watchman, Harper Lee mengolah gejolak batin Jean Louise setelah menemukan identitas Atticus: seseorang yang di masa mudanya pernah menghadiri pertemuan rahasia Ku Klux Klan; seseorang yang percaya teori rasialis yang menganggap ras kulit hitam "masih sangat terbelakang". Lebih lagi, Jean Louis menemukan pamflet berjudul The Black Plague yang jelas menganggap ras kulit hitam lebih inferior daripada ras kulit putih. Diam-diam dia juga menyaksikan ayahnya, dan kekasihnya, terlibat dalam sebuah pertemuan dengan tokoh-tokoh kampung Maycomb yang selama ini dibencinya, orang-orang yang memandang warga kulit hitam sebagai warga kelas paling rendah dalam hidup ini. Kenyataan ini yang lantas membuat Jean Louise terguncang secara fisik dan mental.
Plot ini pula yang menghebohkan dunia sastra yang telanjur mengenal tokoh Atticus Finch sebagai pahlawan, sebagai teladan dan ikon dunia antirasisme. Publik baru belakangan mengetahui bahwa menuju pada To Kill a Mockingbird, sastrawan Harper Lee harus melalui jalan panjang penyuntingan berkali-kali, bahkan perombakan plot cerita hingga akhirnya menjadi sebuah novel yang padat, bernas, bercahaya seperti novel yang kita kenal.
Dalam Go Set a Watchman, kekecewaan Jean Louise terhadap ayahnya diawali dengan adegan muntah-muntah, lantas membawa kepedihannya dalam tidur yang panjang. Jika kita sudah memiliki tokoh teladan dalam hidup, bagaimana bisa memutarbalikkan paradigma kita bahwa sang teladan itu semula adalah seorang rasis?
Tapi, jika kita membaca Go Set a Watchman sebagai sebuah novel mandiri, sebuah novel yang tidak didahului oleh To Kill a Mockingbird yang melalui jalan terjal penyuntingan dan pertengkaran antara Harper Lee dan editornya, Tay Hohoff, mungkin kita akan mampu menghargai kemampuan Harper menggambarkan tokoh Jean Louise.
Sementara To Kill a Mockingbird menampilkan hero Atticus, dalam Go Set a Watchman protagonis sesungguhnya adalah Jean Louise. Lee ingin menampilkan situasi pada zamannya seadanya: bahwa generasi Atticus Finch tak bisa tidak adalah generasi rasis yang senantiasa mencari justifikasi untuk mempertahankan segregasi. Harper lebih menekankan reaksi Jean Louise sebagai seorang perempuan yang senantiasa merasa "tak nyaman" dengan aturan atau harapan orang-orang di desanya. Dia adalah warga New York yang tak akan pernah bisa ditaklukkan oleh "kewajiban feminin" perempuan tahun 1950-an; menjadi istri yang manis bagi Hank, betapapun cintanya dia kepada kawan masa kecilnya itu. Kita juga bisa melihat ada konsistensi jiwa bebas Jean Louise dalam novel ini; bagaimana dia tak akan betah berada di antara para nyonya menikmati teh dan membicarakan apa yang "patut" dan apa yang harus dilakukan untuk membahagiakan para suami.
Feminisme belum mekar merekah pada saat novel ini lahir. Harper Lee menanamkan bibit itu pada tokoh Jean Louise. Mungkin karena prioritas Lee saat itu adalah situasi batin seorang perempuan muda, pengadilan dramatis yang menjadi puncak drama, dalam film To Kill a Mockingbird malah hanya terlukiskan dalam satu paragraf pada novel ini. Itulah sebabnya saya tak ingin ikut-ikutan menghajar Go Set a Watchman. Keinginan Lee—saat menulis draf awal novel ini—tampaknya adalah menyusuri dunia dalam Jean Louise: seseorang yang begitu kuat, begitu mandiri, bandel, jauh lebih besar dan terlalu cerdas untuk sepotong Maycomb, tapi mendadak menjadi rapuh setelah mengetahui pandangan sosial dan politik sang ayah. Tak ada ibu, tak ada Jem, dan tak ada Dill untuk tempat dia mengadu tentang absurditas ini. Jean Louise menyangga pengetahuan yang menyakitkan ini sendirian, melawan Kampung Maycomb yang tak akan pernah tahu Amerika di masa yang akan datang akan berubah pesat menuju masyarakat yang lebih beradab.
Dari sisi penulisan, memang pada beberapa bagian yang sangat layak edit ketika Harper Lee berpanjang-panjang pada adegan di gereja. Selain pedantik, bagian itu tak memberikan fungsi apa pun selain menunjukkan warga Maycomb sangat religius dan konservatif. Sangat dipahami mengapa sang editor memaksa Harper Lee untuk merombak novel ini menjadi sesuatu yang padat dan memberikan rasa optimisme pada kemanusiaan, bahwa masih ada makhluk berbudi luhur seperti Atticus Finch.
Tapi, sekali lagi, pergulatan batin Jean Louise perempuan dewasa dalam novel "awal" ini menarik. Sementara Atticus Finch dalam To Kill a Mockingbird, atau versi suntingan, adalah pahlawan, dalam draf awal ini tokoh yang idealis itu adalah Jean Louise. Sayang, satu-satunya tokoh yang kompleks dan digambarkan dengan dalam hanya Jean Louise. Kita tak pernah memahami mengapa lelaki yang liberal dan mengajarkan nilai kemanusiaan kepada anak-anaknya itu ternyata seorang rasis; kita juga tak paham mengapa Jean Louise hanyalah satu-satunya suara dan jiwa yang percaya pada kesetaraan manusia di dalam rumah itu (dalam novel ini, Jem sudah telanjur wafat, jadi kita tak tahu apa posisi politiknya). Novel ini adalah gambaran Jean Louise versus seluruh Maycomb, atau seluruh selatan Amerika pada 1950-an.
Go Set a Watchman adalah sebuah baris dari Injil yang menggambarkan pandangan Jean Louise terhadap Atticus Finch yang dianggap sebagai kompas dalam hidupnya; sebagai tonggak moralnya, sebagai "watchman" di Desa Maycomb. Maka seluruh tema dari novel setebal 278 halaman ini adalah sebuah kekecewaan, runtuhnya kepercayaan seorang anak (dewasa) terhadap ayahnya. Bagi saya, Jean Louise tak menyadari bahwa dia sendiri sebetulnya adalah kompas dan tonggak moral, karena hanya beberapa tahun sesudah tahun-tahun setting novel itu, Amerika berubah.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo