Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa tiga tahun silam itu masih saja teringat di benak -Telly Melinda. Maklum, kejadian itu sempat membuat karateka- nasional ini berencana mundur dari tim karate Indonesia. Kala itu Telly mendapat izin kembali ke Jakarta setelah tiga bulan mengikuti pemusatan la-tihan nasional di Tenggarong, Kalimantan Timur.
Kedatangan gadis kelahiran 15 Januari 1982 itu ke Jakarta untuk mengikuti ujian akhir semester pada satu mata kuliah yang telah tiga kali ia ulang karena tak bisa mengikuti jadwal ujian. Sesampai di kampus Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur, mahasiswi sastra- Inggris angkatan 1999 ini langsung me-nuju ruang ujian.
Ketika ia hendak meneken daftar- ke-hadiran, dosen pengawas langsung- mendekatinya. ”Saya jadi deg-degan,”- katanya mengingat perasaannya tiga tahun lalu. Dan benar, dosen itu meminta-nya meninggalkan ruang karena Telly dianggap tak memenuhi persyaratan ujian. Persentase kehadirannya selama- masa perkuliahan hanya 30 persen. -Padahal persyaratan kehadiran minimal- 65 persen.
Telly langsung menyodorkan surat- -dispensasi dari dekan. Tapi dosen ter-sebut- menyahut ketus, ”Ya sudah, minta- guru karate kamu saja yang menguji ka-mu.” Walhasil, perjalanan jauh yang ditempuhnya dari Tenggarong sia-sia belaka. Untuk keempat kalinya ia harus meng-ulang mata kuliah yang sama.
Saat itu Telly berpikir satu-satunya- cara menamatkan kuliah, ya, cuma berhenti dari dunia karate, sebab masa cuti kuliah sudah habis digunakan. Bila te-rus- bertahan di dunia bela diri itu, ia merasa masa depannya tak jelas benar, walaupun prestasi diraih dan bonus mengalir. ”Setelah tak berprestasi, saya mau jadi apa?”
Maka, bulatlah tekadnya untuk menyelesaikan kuliah. Lantaran sudah kadung berlatih, Telly be-rencana mundur setelah berlaga membela negara di Pekan Olahraga Asia Tenggara 2003 di Vietnam.
Penampilan Telly tak me-ngecewakan. Ia ikut andil saat tim kumite beregu putri merebut perak. Kembali- ke Jakarta, ia siap menggan-tungkan baju karatenya. Namun, Komite Olahraga Nasional Indonesia Daerah Jakarta membujuknya kembali ke gelanggang.
Ia diminta mengikuti pemusatan -la-tih-an daerah untuk menghadapi Pekan Olahraga Nasional XVI di Palembang 2004. Bukan tawaran bonus yang membuat Telly mau memenuhi permin-taan itu. Pengurus KONI Jakarta menjanjikan pekerjaan sebagai pegawai ne-geri sipil. Hasilnya tidak sia-sia, ia menyabet medali emas.
Saat menerima bonus, janji untuk diangkat menjadi pegawai kembali dilontarkan kepada Telly dan 75 atlet lainnya yang juga meraih emas. Kali ini Gubernur Sutiyoso, melalui seorang staf-nya yang menemui para atlet, berjanji meng-usahakan mereka menjadi am-tenar. Mereka hanya diminta me-nyerahkan dokumen yang diperlukan dan menunggu kabar lebih lanjut. Janji tinggal janji. Hampir dua tahun berselang, dan dua kali pula berlangsung penerimaan pegawai, kabar gembira yang dinanti tak kunjung datang.
”Saya tak mendaftar ikut ujian pegawai negeri sipil, sebab saya pikir pasti dikabari oleh Pemda DKI atau KONI Jakarta,” kata Telly. Ia mengaku telah menanyakan masalah itu ke Ketua KONI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto. Taufik hanya meminta para atlet ber-sa-bar- karena dokumen mereka masih di-proses-. Jawaban yang dianggapnya mengambang- itu membuat Telly patah se-mangat. Kendati tetap mengikuti pelat-nas Asian Games dengan honor Rp 2,5 juta per bulan, ia berencana mengultimatum para pengurus bulan depan.
April mendatang merupakan waktu pembentukan tim nasional untuk Asian Games di Qatar. Para karateka disaring- dari turnamen Piala Kepala Staf Angkat-an Darat di Medan. Jika masuk dalam tim, Telly menegaskan akan meminta kepastian dirinya menjadi pegawai ne-geri sebelum berlaga di Qatar.
”Saya meminta kebijaksanaan peng-urus,” kata Juara Asia 2003 dan peraih emas SEA Games 2005 ini. Bila harus keluar dari pelatnas, Telly berencana merampungkan kuliah yang sudah terancam drop out dan memenuhi impian-nya menjadi wanita karier.
Tak cuma Telly yang terombang-am-bing janji menjadi pegawai negeri. Beberapa atlet lain mengalami nasib serupa. Contohnya Rizki Syahbana, yang hingga kini cuma menyandang status kar-yawan kontrak di Dinas Pendapat-an Daerah Bekasi, Jawa -Ba-rat. Padahal, dalam PON di Palembang, ia berhasil menyumbangkan dua medali emas dari kelas- 65 kilogram dan kelas bebas.
Janji kosong itu dirasakannya bak jotos-an- yang lebih keras ke-timbang tsuki atau keri dari lawan di tengah ge-langgang. Pria kelahir-an Jakarta, 5 Juli 1980, ini sangat risau karena merasa masa depannya tak jelas. Puncak kekecewaannya, dua pekan lalu Rizki mengembali-kan medali yang ia per-oleh ke Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (PB FORKI).
Dengan pendapat-an cuma Rp 500 ri-bu per bulan, Rizki- berharap segera di-angkat- -menjadi pegawai negeri. Memang, saat ini Rizki dan istrinya, Yuliawati, masih bisa menikmati sisa bonus berkat prestasi di ajang PON. Tapi, seiring usia yang merambat tua, mereka mengaku bi-ngung tanpa status kerja yang jelas. Rizki telah empat kali mengikuti seleksi pegawai negeri, empat kali pula ia gagal.
Nasib lebih buruk dijalani Dede Saefudin, 38 tahun. Tenaga bantuan di lingkungan Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, ini sudah hampir 19 tahun bekerja tanpa kejelasan status. Padahal sejak 1987 ia telah diiming-imingi status amtenar lantaran prestasinya di cabang olah-raga tinju.
Sebagai petinju amatir, atlet yang pernah populer dengan nama Ade Widal ini sudah malang-melintang membela Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bahkan Indonesia, di berbagai kejuaraan regional. Puluhan medali dari berbagai kejuaraan telah ia kumpulkan. Prestasi tertingginya meraih emas pada Pesta Sukan di Singapura tahun 1990.
”Saya tak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri karena harus setor uang kepada oknum pegawai di kantor BKD sekitar Rp 30 juta,” katanya. Lantaran tak punya uang buat menyogok, ayah dua anak ini akhirnya pasrah menerima nasib. Karena penghasilan yang minim, Dede mencari tambahan dengan membantu—tanpa kedudukan jelas—persiap-an petinju-petinju setempat menghadapi pekan olahraga daerah.
Pemberitaan atas kekecewaan para at-let tak urung membuat Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, angkat bicara. Ia menyatakan pemerintah daerah tetap meng-usahakan para atlet menjadi pegawai negeri. Namun, ia mengaku tak bisa mencampuri proses seleksi. Apalagi bila nilai ujian atlet tak memenuhi syarat.
”Seleksi itu sesuai aturan main. Semua diperlakukan sama,” ujarnya. Tahun ini pemerintah Jakarta hanya memperoleh 700 dari 900 calon pegawai negeri yang diperlukan. Untuk memenuhi kekurang-an itu, akan ada seleksi lagi. ”Nah, kita pikirkan bagaimana agar mereka diterima,” katanya.
Seperti tak mau ketinggalan bersuara, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, menyesalkan kealpaan pemerintah daerah memenuhi janji kepada atlet. ”Seharusnya mereka menindaklanjuti janji itu,” katanya.
Tak lupa Adhyaksa menyoroti tak ada-nya perjanjian yang jelas antara atlet- dan pemerintah daerah soal peng-ang-katan menjadi pegawai negeri. Toh, kendati cuma secara lisan, ia mengimbau- pemerintah daerah tetap konsisten dengan- janjinya.
Untuk memenuhi keinginan atlet menjadi pegawai negeri, Adhyaksa tengah menyiapkan terobosan. ”Mungkin akan ada semacam keputusan presiden atau keputusan menteri untuk atlet tingkat lokal,” katanya.
Agar rencana itu terwujud, Adhyaksa- mengaku bakal melapor kepada presi-den. Yang jelas, ia berpendapat peng-angkatan menjadi pegawai negeri merupakan salah satu bentuk penghargaan pemerintah kepada atlet, sekaligus motivasi agar mereka berprestasi lebih tinggi.
Saat ini Kementerian Pemuda dan Olahraga telah membuat kesepakatan dengan Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara untuk memberi jaminan masa depan bagi atlet. Bentuknya berupa upaya melibatkan partisipasi perusahaan pelat merah. Akhir bulan ini, kata Adhyaksa, akan dimulai- gelombang perekrutan atlet nasional- yang pernah mengukir prestasi untuk- menjadi pegawai di kantor-kantor BUMN.
Adhyaksa berharap langkah itu di-ikuti badan usaha milik daerah. ”Per-usahaan daerah perlu merekrut atlet setempat, terutama yang sudah kadung dijanjikan menjadi pegawai negeri.”
Adek Media Roza, Deden Abdul Aziz (Cianjur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo