Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA bulan sudah Sutihan tak pu-nya- tempat tinggal. Janda 42 tahun- i-tu terusir dari rumah petak 9 me-ter- persegi karena tak sanggup la-gi membayar sewa Rp 120 ribu per- bulan. Sisa perabotan ia titipkan di kon-tra-kan temannya. ”Sekarang sedang me-nung-gu pesawat televisi laku dijual,” ka-ta-nya sambil tersedu kepada Tempo, Se-lasa pekan lalu.
Tapi bukan hanya karena itu Sutihan me-milih menumpang tidur di pabrik PT Bun-tara Multi Industri di Jalan Ahmad Koi-run, Kota Tangerang, Banten, sejak Ka-mis dua pekan lalu. Bersama dia ada 91 buruh lain, lima di antaranya sedang ha-mil. Ada sepuluh anak-anak dibawa ser-ta. Mereka mengaku terpaksa mendu-du-ki pabrik untuk menuntut hak dan ke-je-lasan nasib.
Di pabrik yang memproduksi baju ha-ngat bermerek terkenal seperti Larusso, s’Oliver, Lotto, Michele Boyard, dan Tom Ta-iler itulah Sutihan bekerja sebagai bu-ruh, selama dua windu terakhir. Tapi, se-jak 2 Januari lalu, ia dan 105 rekannya tak- boleh lagi menjalankan mesin-mesin- ja-hit di pabrik, karena perusaha-an hendak- tutup.
Beberapa buruh bercerita, tak ada yang aneh ketika mereka masuk pabrik pa-da hari pertama bekerja setelah libur- Ta-hun Baru itu. Baru sekitar satu jam me-sin menderu pagi itu, ketika tiba-ti-ba- Direktur Utama PT Buntara, Hadi Pra-bo-wo, masuk ruang produksi.
Para buruh terkejut: ini bukan hal bia-sa. Tapi mereka lebih terenyak ketika mendengar sergahan Hadi. ”Tutup. Kelu-ar semua. Borongan harian tidak ada or-der-,” seorang buruh bernama Narpah menirukan teriakan bosnya.
Tapi para buruh tak percaya alasan- -ma-na-jemen bahwa order berhenti meng-alir ke perusahaan itu. Dari penelusuran me-re-ka, rupanya order itu dioperkan ke PT Bu-nitop, yang lokasi pabriknya berse-belahan dengan PT Buntara.
Para buruh mengaku kecewa dan mera-sa dibohongi. ”Itu trik pengusaha,” ka-ta Koswara, aktivis Federasi Serikat- Buruh Karya Utama, yang selama tiga bu-lan terakhir mendampingi para bu-ruh- berunding dengan perusahaan. ”Me-re-ka bilang tutup karena rugi. Padahal, se-telah memecat buruh, mereka akan menerima karyawan baru dengan status ha-rian dan borongan.”
Inilah cara para pengusaha menghin-dar- dari kewajiban yang dirasakan me-nin-dih keuangan mereka, yakni pesa-ngon-. Sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, setiap buruh- yang dipecat berhak atas pesa-ngon dan uang jasa yang disesuaikan dengan ma-sa kerja. Makin lama buruh bekerja, ma-kin besar ongkos yang harus- dibayar pe-rusahaan ketika harus memberhentikan- mereka.
Dengan model kontrak, atau bahkan sub-kontrak melalui perusahaan lain, ma-sa- kerja buruh bisa dibatasi hanya untuk- wak-tu tertentu. Dan ini diizinkan oleh un-dang-undang yang sama, untuk jang-ka- dua tahun. Tak ada kewajiban mem-be-rikan pesangon ketika kontrak habis.
Sudah lima kali perundingan digelar an-tara para buruh dan manajemen PT Bun-tara. Tuntutan tertinggi para buruh a-dalah dipekerjakan kembali- dan -pem-ba-yaran tiga bulan gaji yang ter-tunggak-. Ta-pi, kalau tetap dipecat, me-reka minta pe-sangon.
Perundingan dua pihak, atau bipartit, buntu. Dalam pertemuan Kamis pekan la-lu, manajemen memilih membawa pe-nye-lesaian ke tingkat pengadilan hubungan industrial di Banten. Ha-di- Prabowo bahkan memerintahkan pe-tugas pengamanan menggembok gerbang- pabrik, meski para buruh masih- di dalam.
Pa-da sekitar pukul se-tengah delapan- ma-lam, gembok dibuka oleh petugas ber-na-ma Supriyadi. ”Saya sih hanya menja-lan-kan tugas,” ujarnya. Tapi para buruh jus-tru tak mau beranjak dari pabrik.
Aliran listrik ke pabrik di-putus, de-ngan- harap-an mereka tak tahan ge-lapnya- ma-lam. Tapi tak mempan. ”Kami mema-ka-i- lampu teplok,” kata Jemingan, buruh yang menginap di pabrik karena diusir -da-ri mess per-usahaan. Mere-ka khawatir-, se-kali pergi, besoknya tak bisa lagi masuk ke pabrik. Dengan begitu, posisi tawar mere-ka akan melemah.
Hanya dengan berhim-pun, buruh me-ra-sa punya- cukup kekuatan. Dengan- ca-ra itu pula pekan-pekan ini ribuan kaum Sutihan ini berupaya mempertahan-kan Un-dangUndang No. 13 itu dari usaha revisi yang diajukan pemerintah atas desakan para pengusaha dan investor.
Sebab, jika dengan undang-undang- yang cukup ”lumayan” saja nasib mere-ka- masih bisa terkatung-katung, apalagi- de-ngan aturan baru yang lebih memihak- ma-jikan. Ada puluhan pasal yang me-reka identifikasi akan sangat merugi-kan- buruh dalam rancangan revi-si- itu. Demonstrasi penolakan merebak di banyak daerah, terutama sentra-sentra- industri.
Di beberapa daerah seperti Jakarta, Bo-gor, dan Bekasi, demonstrasi buruh bah-kan disokong oleh para wakil rakyat- da-erah. ”Anggota Dewan dari semua frak-si sepakat mendukung aspirasi para bu-ruh,” kata Ketua Komisi Pemerinta-han DPRD DKI Jakarta, Ach-mad Suaidy, kepada Harun Mahbub- dari Tempo, Rabu pe-kan lalu. Para wakil rakyat daerah itu a-kan mendesak pemerintah pusat dan DPR RI membatalkan revisi.
Garangnya penolakan buruh dan du-kungan yang meluas secara politik itu mem-buat Ketua Umum Asosiasi Peng-usa-ha Indonesia (Apindo), Sofjan Wana-n-di-, mengeluh. ”Mereka harus tahu kala-u undang-undang ini penyakit buat in-ves-ta-si di Indonesia,” katanya Selasa pe-kan lalu.
Dalam kalkulasi asosiasi beranggota-kan- 203 pengusaha ini, ada puluhan in-ves-tor yang telah memindahkan pabrik me-reka dari Indonesia ke berbagai- nega-ra- seperti Cina dan Vietnam, sejak- undangundang itu diberlakukan. Be-bera-pa investor asing malah kabur begitu sa-ja karena tak kuat membayar pesa-ngon-, seperti pernah terjadi pada sebu-ah- pabrik sepatu milik pengusaha Kore-a Selatan di Tangerang.
Sofjan mengakui ada saja pengusaha yang memang ”nakal” dan tak bertang-gung- jawab. Tapi umumnya mereka per-gi- karena buruknya iklim investasi dan ting-ginya tekanan menyangkut kebija-kan- tenaga kerja yang dinilai tidak ber-sa-habat bagi investor.
”Bagaimana mungkin kami harus te-tap- membayar pesangon ke karyawan yang dipecat karena kesalahan mereka?-” So-fjan mengutip salah satu pasal yang di-anggap memberatkan pengusaha.
Beratnya kewajiban pengusaha juga mem-buat seret aliran investasi baru, -te-ru-tama untuk industri yang bersifat pa-dat- karya seperti manufaktur. ”Yang a-da cuma padat modal, atau malah cu-ma- investor jangka pendek di pasar u-ang dan bursa saham,” ujar bos Grup Ge-mala itu.
Macetnya investasi berarti mampat pu-la- saluran penyerap tenaga kerja yang ti-ap- tahun terus bertambah. Ujungnya a-dalah makin tingginya angka pengang-gu-ran di Tanah Air (lihat grafik). ”Mesti-nya yang demo para penganggur,” kata So-fjan. ”Sebab, lantaran undang-undang ini mereka susah mendapat pekerjaan.”
Sekretaris Jenderal Apindo, Djimanto, me-nambahkan bahwa pihaknya telah mem-berikan usul sebanyak 32 pasal, se-bagai masukan bagi revisi itu. Pengu-sa-ha produsen sepatu merek Piero ini lalu me-nyodorkan hasil perbandingan anta-ra- Undang-Undang No. 13 dengan pe-r-aturan sejenis di Malaysia, Vietnam, Ci-na-, Thailand, dan India. ”Kita paling be-rat,” katanya.
Tanpa keributan soal undang-undang bu-ruh pun, gelombang pemecatan peker-ja- sudah diprediksi banyak pihak, seba-ga-i buntut kenaikan harga bahan bakar- minyak pada 1 Oktober lalu. Ketua U-mum- Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Sutrisno, memperkirakan jumlah kor-bannya mencapai sekitar 500 ribu kar-yawan. ”Dari industri menengah a-tas sekitar 300 ribu. Selebihnya berasal da-ri industri kecil dan rumah tangga.”
Karena itulah Anggota Komisi Tenaga- Ker-ja DPR RI, Muhammad Fauzi, tak se-tu-ju bila masalah perburuhan dituding men-jadi biang keladi tersendatnya inves-ta-si. ”Pengaruh utama tetap soal stabili-tas- politik dan ekonomi, selain faktor bi-rokrasi sendiri,” katanya. Revisi atas un-dang-undang itu justru akan sangat me-nyakitkan bagi para buruh, yang sela-ma- ini pun belum maksimal dibela.
Y. Tomi Aryanto, Yophiandi, Ayu Cipta (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo