Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Serba Salah karena Revisi

Rencana Undang-Undang Ketenagakerjaan dikecam buruh. Pemerintah dianggap condong membela pengusaha.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan-pekan ini, Menteri Te-na-ga Kerja dan Transmigrasi Er-man- Soeparno mengaku serba sa-lah. ”Aku mau cooling down du-lu,” kata sang menteri dengan eks-pre-si lesu pekan lalu kepada Tempo.

Menteri Erman memang tengah ”terjepit”. Sebagai menteri, departemennya mendapat perintah penting dari Presi-den Susilo Bambang Yudhoyono. Tugas itu adalah menggenjot investasi, karena bukan rahasia lagi, saat ini Indonesia terkena paceklik investasi.

Untuk itu, salah satunya melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai bagian dari paket kebijakan investasi pemerintah. Beleid itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 ten-tang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, akhir Februari lalu.

Namanya paket kebijakan, inpres itu sendiri isinya adalah skema tindakan dan koordinasi dari 22 menteri, pimpin-an lembaga nondepartemen, para guber-nur, dan juga bupati. Pada skema itu tadi ditulis jelas, tugas, penanggung jawab, batas waktu, dan target pekerja-an masing-masing departemen dalam satu tahun ini. ”Paket ini merupakan- jawaban- pemerintah atas buruknya iklim investasi,” kata Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Investasi, Jannes Hutagalung.

Paket kebijakan itu nawaitu-nya mem-bu-at investasi jadi motor pertumbuhan e-konomi, terutama untuk mengurangi- ke-miskinan dan pengangguran yang ma-kin- meningkat. Pemerintah menganggap- in-vestasi enggan menggeliat karena i-klim berusaha bak pancaroba. Lantas, in-pres ini menunjuk lima faktor yang per-lu dibenahi, di antaranya soal pela-yanan dan kejelasan aturan, pabean dan cukai, perpajakan serta tenaga kerja. Masalah tenaga kerja ini rupa-nya diang-gap san-dungan betul untuk in-vestor oleh pemerintah. Maka, saking penting-nya revisi ini, parlemen ditargetkan April masuk dan sebelum akhir tahun su-dah berlaku. Kira-kira bakal bersama-an dengan revisi UU Penanaman Modal.

Nah, karena tugas itulah, Erman kini kena sodok kiri-kanan lantaran menyu-ruh parlemen ”ngebut” dengan alasan yang kurang kuat. Alasan ”filosofis” revisi, yakni masalah investasi, dinilai lemah. ”Masalah investasi, 60 persen ada dalam ’rumah pemerintah’ sendiri,” kata Yanuar Rizky, Sekretaris Jenderal- Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, me-ngutip hasil penelitian World Economic Forum 2005.

Masalah ”dalam rumah” itu antara- -lain meliputi pemerintahan yang tidak- efi-si-en, keterbatasan infrastruktur, per-pa-ja-kan yang apatis, korupsi, sumber da-ya ma-nusia yang kurang, stabilitas pe-me-rin-ta-han. ”Di tengah pengangguran yang me-ningkat ini, pemerintah ikut me-nu-ding buruh sebagai biang masalah inves-tasi. Ini pemerintahan elitis,” kata Yanuar.

Menjadikan buruh sebagai kambing- hitam, menurut alumnus Universitas Gadjah Mada ini, tidak tepat. ”Kalau mau revisi, jangan seperti orang buta menolong orang buta. Sama-sama tak tahu mau ke mana,” kata mantan Ketua Serikat Pekerja Bursa Efek Jakarta ini. Fakta aneh lain, draf revisi itu malah sudah diterima oleh organisasi serikat pekerja pada awal Februari lalu sebelum inpres keluar.

Selain itu, belakangan Menteri Erman menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Tenaga Kerja itu dilakukan juga karena sebab lain. ”Aturan itu direvisi karena bertentangan dengan UU Penye-lesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU Nomor 2 Tahun 2004),” kata Erman. Selain itu, ketentuan tentang kontrak kerja juga dianggap bertentang-an dengan prinsip hukum perdata.

Penjelasan ini juga dianggap aneh karena sebagian besar materi UU Kete-nagakerjaan berubah. Tak hanya menyangkut PHK atau kontrak kerja, tapi juga menyangkut tenaga kerja asing, pengupahan, pensiun buruh, sampai hak mogok.

Anggota Komisi IX Bidang Kependudukan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi DPR, Mustafa Kamal, menyatakan, tidak jelasnya alasan peng-ajuan revisi karena pemerintah terburu-buru memenuhi keinginan investor asing. ”Padahal, belum tentu juga me-reka akan investasi,” kata dia. Bahkan sampai mengajak bicara anggota Komisi saja tidak sempat.

”Kita malah tahu dari koran dan Seri-kat- Pekerja yang mengadu ke sini,” kata wa-kil rakyat dari Partai Keadilan Sejah-te-ra ini. Menurut dia, Menteri Erman te-lah- melakukan blunder. ”Teman-teman di- DPR merasa di-fait accompli,” katanya.

Rencana pemerintah agar revisi bisa ce-pat dibahas DPR, menurut dia, susah un-tuk terjadi. Usulan revisi UU Nomor 3 Ta-hun 2003 tidak termasuk dalam program Badan Legislasi (Baleg) DPR 2006. ”Su-dah saya cari ke Baleg dan Sekretari-at- Komisi. Selembar surat tentang revisi i-tu saja tidak ada,” kata Mustafa. Sebelum jadi program Baleg, sebuah usulan le-gislasi harus diajukan kepada Baleg dan dibahas dalam rapat Badan Musya-wa-rah DPR. ”Ini: alih-alih mau bikin iklim yang baik, malah bikin iklim yang buruk,” tuturnya.

Iklim buruk itu setidaknya akibat ge-lom-bang unjuk rasa buruh sepanjang tiga pekan terakhir, terutama di Jakarta dan sejumlah kota di Jawa. Bahkan mele-tup juga di Makassar, Sulawesi Selatan. S-i-kap mereka jelas, menolak rencana -pe-r-u-bahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Aksi itu agaknya berhasil ”mencuri” per-hatian Presiden. ”Kita jelas protenaga- ker-ja,” kata Yudhoyono dalam sambutan-nya saat itu. Meski Presiden tak menyebut rencana revisi bakal dicabut, ia menyatakan pemerintah mendukung pemberian hak-hak yang adil bagi para tenaga kerja.

Menteri Erman juga turut meredam kemarahan buruh. Menurut dia, rancangan revisi itu belum final. ”Kita akan tampung dan dudukkan bersama aspirasi pengusaha dan pekerja,” kata dia. Yang terang, dia menambahkan, revisi hanya membuat pasal-pasal yang samar menjadi jelas. ”Supaya jangan sampai membuat iklim investasi tidak kondusif,” kata dia.

Masalahnya adalah, meski rancang-an revisi yang dibuat oleh Tim Bappenas dibuka untuk suara buruh, sebagian buruh telanjur membaca sikap batin pemerintah yang menganggap buruh sebagai penghalang investasi masuk ke Indonesia, sehingga sebagian organisasi serikat pekerja menolak usulan revisi.

Memang, ada organisasi serikat buruh yang menanggapi ajakan Erman. Serikat- Pe-kerja Seluruh Indonesia termasuk yang mau mengajukan tanggapan terha-dap naskah revisi. ”Kita memang me-ngajukan tanggapan, tapi intinya tetap sa-ma- dengan serikat pekerja lain, menolak revisi,” kata Arif Sudjito, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

Berbeda dengan buruh, pengusaha lebih kooperatif terhadap usulan revisi. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), misalnya, hanya mengusulkan perubah-an redaksional di 32 pasal saja dari 193 pasal yang ada. Ada beberapa pasal dan ayat yang diusulkan agar dicabut.

Menurut Deputi Chairman Apindo, Hassanudin Rachman, saat ini ada tiga undang-undang yang mengatur hubung-an- antara pengusaha dan serikat peker-ja-, yakni UU Serikat Pekerja (UU 21 Ta-hun- 2000), UU Ketenagakerjaan (UU 13 Tahun 2003), dan UU Penyelesaian Per-se-lisihan Industrial (UU 2 Tahun 2004). ”Ketiganya punya kelemahan, sehingga- harus direvisi melalui pembicaraan tripar-tit. Saat ini kita fokus ke UU Tenaga Kerja dulu,” kata Hassanudin.

Menurut Hassanudin, pengusaha bisa menerima prinsip-prinsip perburuhan, misalnya mereka tidak anti hak pesa-ngon. ”Kami hanya minta disesuaikan.” Saat ini karyawan yang telah bekerja selama 10–15 tahun akan mendapat pesangon minimal 32 kali gaji, dan tidak ada pembedaan antara karyawan di jajaran direksi dengan karyawan biasa. ”Jumlah ini terlalu besar dan perlu direvisi,” ungkapnya.

Arif A. Kuswardono, Zaky Almubarok, Joniansyah


Pasal-pasal Penyulut Amarah

Dari 193 pasal Naskah Revisi Undang-Undang- Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan terdapat beberapa pasal kontroversi-al-, di antaranya:

Pasal 35 (ayat 3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup- kesejahteraan, kesela-ma-tan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja (dalam revisi, ayat ini dihapus).

Pasal 59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

  1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. pekerjaan yang diperkirakan -penyelesaiannya dalam waktu -tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun-;
  3. pekerjaan yang bersifat musi-man;
  4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Kontroversi revisi Pasal 59

(1) yang dilakukan atas dasar jangka waktu, dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan;

(6) Dalam hal hubungan kerja diakhi-ri- sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh- melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada peng-usaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhir-nya- PKWT.

Pasal 155 (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpang-an terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 2 berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Kontroversi revisi Pasal 155:

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpang-an terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 2 berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja.

(4) Pengusaha yang melakukan skorsing se-bagaimana pada ayat 3 wajib membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh selama-lamanya 6 bulan.

Pasal 156

(1)Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, peng-usaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

(3) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit sebagai berikut:

a. masa kerja 1 tahun, 1 bulan upah dst.

g. masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.

h. masa kerja 7 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah.

i.masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 kali upah.

(4) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ditetapkan sebagai berikut:

a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah dst.

h. masa kerja 24 tahu atau lebih, 10 bulan upah.

(5) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi:

a. dst.

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

Kontroversi revisi Pasal 156:

(2) Pekerja/buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama dengan satu kali penghasilan tidak kena pajak.

(3) Perhitungan upah pesangon sebagaimana dimaksud ayat 1 paling sedikit sebagai berikut:

a. masa kerja lebih dari 3 bulan tapi kurang 1 tahun, 1 bulan upah;

b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah dst.

g. masa kerja 6 tahun atau lebih, 7 bulan upah.

(4) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ditetapkan sebagai berikut:

a. masa kerja 5 tahun tetapi kurang dari 10 tahun, 2 bulan upah

b. masa kerja 10 tahun tetapi kurang dari 15 tahun, 3 bulan upah dst.

e. masa kerja 25 tahun atau lebih, 6 bulan upah.

(5) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana di maksud ayat 1 meliputi:

a. dst.

c. penggantian perumahan sebesar 10% bagi pekerja/buruh yang mendapatkan fasilitas atau tunjangan perumahan serta penggantian pengobatan dan perawatan sebesar 5% dari uang pesangon/atau uang penghargaan masa kerja bagi pekerja/buruh yang di-PHK yang mendapatkan pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.

Pasal 158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja- terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, se-bagai berikut:

a. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/ atau milik perusahaan dst. s/d poin j.

(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus didukung dengan bukti sebagai berikut:

a. pekerja/ buruh tertangkap tangan;

b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;

c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat pihak berwajib dst.

(Catatan: pasal ini tidak berlaku lagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi karena ke-salahan berat tersebut merupakan bagian dari hukum pidana).

Kontroversi revisi :

Kesalahan berat diberlakukan kembali

Pasal 167 (menyangkut kompensasi pensiun)

(1) Pengusaha dapat me-lakukan pemutusan hu-bungan kerja terhadap pe-kerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh peng-usaha dst s/d ayat 5.

Kontroversi Pasal 167 (dalam revisi, pasal ini dicabut).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus