ORANG bule main pencak, itu bukan hal baru. Tapi pesilat bule menjatuhkan pesilat Melayu bisa disaksikan di Kejuaraan Pencak Silat se-Dunia di Kuala Lumpur, 3-7 Desember lalu. Ada sembilan pesilat bule (Denmark, Belanda, Spanyol, dan Jerman Barat) dari 15 kelas yang dipertandingkan mencapai babak final. Dua di antaranya meraih gelar juara. Alberto Cerro Leon (Spanyol) mengalahkan Mohamad Rosidi Abdullah (Brunei) dalam kelas bebas di atas 70 kg. Dan Marcel Copini (Belanda) mengalahkan Sarno (Indonesia) dalam kelas 80-85 kg. Dililit pakaian pendekar yang serba hitam, gerakan mereka rata-rata menunjukkan jago silat sungguhan. Ketika wasit memberi aba-aba dalam bahasa Melayu tepatnya bahasa Indonesia tak ada pesilat yang bengong. Ya, bahasa Indonesia memang sudah menyatu dengan pencak silat. Banyak pesilat kulit putih yang sudah fasih berbahasa Indonesia, meski belum pernah menginjak bumi Nusantara ini. Misalnya Mariel Kavos pesilat berumur 26 tahun asal Prancis. Belajar pencak dan bahasa Indonesia dilakukan berbarengan dari gurunya, Muhammad Raban. Selesai kejuaraan ini, Mariel, yang turun dalam nomor seni (kembangan), merencanakan memperdalam silat Setia Hati di Madiun, Jawa Timur, selama lima bulan. "Saya akan mempelajari kebatinannya juga," katanya. Belajar silat dan bahasa Indonesia berbarengan memang langkah praktis. Begitulah rata-rata petunjuk dari guru mereka. Hiltrud Cordes, pesilat Jerman Barat, juga menyadari itu. Pesilat wanita yang antropolog ini terkesan gerakan silat ketika berwisata di Indonesia. Kebetulan, sekembalinya ke Jerman Barat, ia ketemu guru silat asal Sumatera. Hiltrud pun digembleng. Satu setengah tahun belajar bahasa Indonesia di kampusnya, Universitas Koln, antropolog ini mempersiapkan tesisnya untuk gelar doktor. Ia tinggal di desa di Minangkabau selama enam bulan hingga Oktober lalu. Obyeknya, "Silek Tuo" di Minang. "Pencak silat itu punya keunikan tersendiri. Dan saya lebih tertarik seninya ketimbang olah raganya itu sendiri," katanya. Di Jerman Barat, katanya, ada tiga perguruan silat dengan murid sekitar 150 orang. Belum seberapa, memang. Sebab, orang Jerman lebih menyukai tinju dan gulat. Tapi di Spanyol ada sekitar 2.500 murid yang terserap di 21 sekolah. Mahaguru silat "Harimau Minang" yang beken adalah Juan I. Barrenetxea Sagardui. Dua puluh tahun sudah ia belajar silat pada Adityo Hanafi, guru silat pada KBRI di Madrid, Spanyol. Dari sembilan muridnya yang berlaga pada nomor perkelahian, tiga masuk final. Ia punya target dua emas dan sebuah perak. Salah seorang muridnya yang menggondol emas adalah Alberto Cerro Leon. Alberto pada kejuaraan silat dunia tahun lalu di Wina, pernah menggasak Budi Rahardjo, pesilat Indonesia dari Bangau Putih. Akibat pukulan Alberto yang keras, Budi sempat dirawat di rumah sakit tiga hari. Alberto, pemuda bujangan berumur 26 tahun ini, punya persiapan matang. Kejuaraan Silat Dunia yang diikuti 19 negara ini -- karena minus Muangthai yang menarik diri dan Swiss yang tak bisa hadir karena guru besar mereka, H.K. Taher, sakit -- tak lepas dari rasa tidak puas. Juan si Harimau Minang, misalnya, kurang puas ketika nomor seni kembangan untuk medali perak dan perunggu dimenangkan Malaysia A dan Indonesia -- emas diraih Malaysia B. Juan lebih condong, Spanyol berhak mendapat perak atau perunggu. Sebab, penampilan Malaysia A dan Indonesia buruk. "Di sini 'kan negara asalnya. Jadi, ya, tentu tak semudah melepaskannya untuk negara di luar (rumpun) Melayu," kata Juan, yang akhirnya pasrah. Ketidakpuasan Juan diluruskan Basiron Hamit, Komisi Teknik penyelenggara di kejuaraan ini. "Itu tidak benar. Orang Spanyol itu maunya menang saja," katanya. Eddie Nalapraya, Ketua Pencak Silat Indonesia yang merangkap Presiden Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat), juga melihat gugurnya Spanyol itu lantaran tak memenuhi kriteria pertandingan dalam kembangan, tunggal, dan berpasangan (tanpa perkelahian). Protes diam-diam juga terlontar. Banyak peserta menyesalkan Malaysia, yang seolah-olah begitu bernafsu mengeruk medali. Malaysia, katanya, "mencuri" dua kemenangan dari seni kembangan. Ini tampak dari penempatan dua jurinya. Sementara itu, untuk mewakili Eropa, Brunei, Indonesia, dan Singapura cuma ada empat juri. Lepas dari kekurangan di sana-sini, Persilat -- organisasi yang didirikan Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei tujuh tahun lalu sudah berbuat banyak. Dua tahun setelah organisasi berdiri, kejuaraan pertama diadakan di Jakarta. Tahun 1984 juga Jakarta yang jadi tuan rumah. Kejuaraan ketiga dilakukan di Wina, Austria, diikuti 11 negara pada 1986. Setelah kejuaraan ini, sudah lima negara (Australia, Jerman Barat, Singapura, Suriname, dan Turki) menawarkan diri jadi tuan rumah pada kejuaraan 1990 mendatang. Itu sebabnya, di Malaysia, silat, yang semula dibina oleh Kementerian Belia dan Sukan (Pemuda dan Olah Raga), kini tanggung jawabnya dialihkan kepada Kementerian Kebudayaan dan Pelancongan (Pariwisata). Maksudnya agar dengan pencak silat wisatawan bisa mengalir ke Malaysia. Di Indonesia, gerakan membudayakan silat juga tercermin. IPSI telah mengirim surat ke Menteri Luar Negeri dan Menteri P & K, agar silat dimasukkan dalam paket diplomasi kebudayaan. "Ya, mudah-mudahan saja jawabannya positif," kata Eddie Nalapraya cerah. Kejuaraan yang berakhir Senin malam pekan ini menampilkan 21 finalis Melayu 12 di antaranya Indonesia (7 putra dan 5 putri). Indonesia tetap sebagai juara umum, sejak kejuaraan ini dimulai, dengan perolehan 10 emas, 2 perak, dan sebuah perunggu. Itu berarti Piala Presiden RI tetap di tangan dan sebuah piala dari Malaysia bernama Hang Tuah ikut melengkapi kemenangan ini. Tempat kedua diduduki Malaysia, disusul Brunei, dan kemudian Spanyol. Belanda yang di kejuaraan Wina berhasil menjadi juara II, kali ini cuma di urutan kelima. Widi Yarmanto (Jakarta), Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini