SUNGGUH malang PSIS Semarang. Putaran pertama Kompetisi Divisi Utama PSSI 1987-1988 baru akan usai pekan ini, tapi Semarang hampir pasti tertendang. Minggu malam pekan ini, sang juara kompetisi 1986-1987 itu kembali tersungkur: keok melawan Persiba Balikpapan dengan 0-2 di kandang lawan. Balikpapan memang mencatat banyak kemajuan berkat bekas pemain nasional Ronny Pattinasarany yang kini menangani kesebelasan Kota Minyak itu. Persiba kini mengumpulkan nilai 6 dan berada di urutan ketiga Wilayah Timur. PSM dan Persebaya menempati urutan pertama dan kedua dengan nilai 6. Persiba kalah selisih gol. Dua tim urutan berikutnya adalah Perseman Manokwari dan Persipura Jayapura. Tragisnya, Semarang belum pernah menang. Dari lima pertandingan putaran, pertama, Semarang hanya mengumpulkan nilai 2 -- dari hasil seri melawan Perura Jayapura dan Perseman Manokwari. Tahun lalu, dalam final melawan Persebaya, Semarang sempat memukau publik Senayan dengan menampilkan permainan indah dan cepat -- yang sempat disebut ciri baru sepak bola Indonesia. Gelar juara ketika itu memang pantas mereka sandang. Kini, jangankan mempertahankan gelar, untuk masuk putaran final saja sudah sulit. Bahkan, bukan tak mungkin terlempar dari posisi utama. Masih ada lima pertandingan -- empat di antaranya di kandang sendiri di putaran kedua. Kendati main di kandang sendiri, agaknya terlampau sukar membabat semua lawan. Apalagi, gelar jago kandang bukan lagi milik tim ibu kota Jawa Tengah ini. Di putaran pertama, awal November lalu, Surabaya mengalahkannya di depan publik Semarang sendiri. Ada apa dengan PSIS? Suap? "Mungkin saja itu terjadi ketika melawan Persebaya," ujar C. Sutadi, salah seorang pelatih PSIS. Ia sudah melatih pemain PSIS sejak 1984. Jadi, "Saya bisa membaca situasi siapa yang ogah-ogahan dan yang serius," kata Sutadi lagi. Pelatih berusia 45 tahun ini menampik menyebut nama mereka yang ogah-ogahan itu. Yang jelas, PSIS, yang sejak babak pertama menguasai lapangan, akhirnya kecolongan satu gol ri Surabaya. Mungkin kesal karena kalah itu, pemain gelandang Achmad Muhariyah, 23 tahun bersama Eryono Kasiha dan Budiawan Hendratno, pergi ke tempat rekreasi di Bandungan, Ambarawa. Menjelang subuh mereka baru pulang. Menjelang keberangakatan tim ke Ujungpandang, Achmad tampak berada di Chanasta Disco sampai pagi. Ia ditraktir A Djae, seorang petaruh sepak bola. Meskipun A Djae mengakui mentraktir tanpa maksud apa pun pengurus PSIS menentukan lain. Dalam penampilan di Ujungpandang, Achmad dinilai "kurang bertanggung jawab sebagai pemain gelandang yang sudah berpengalaman". Begitu juga ketika melawan Perseman Manokwari. Maka, sejak 29 November lalu, karyawan Bank Pembangunan Daerah Semarang itu dicoret dari tim. Putusan drastis yang mengejutkan banyak orang. Termasuk Achmad Muhariyah. "Tanpa didahului kartu kuning, saya langsung kena kartu merah," tuturnya pada TEMPO. Bujangan ini mengakui mengeluh soal uang saku yang cuma Rp 15 rlbu setiap pertandingan. "Saya sekadar menyampaikan kekesalan saja. Kalau dianggap salah, saya sudah minta maaf. Tapi mengapa saya tetap ditindak?" tuturnya lesu. Kekalahan yang diderita PSIS, menurut Achmad, lebih banyak disebabkan minimnya persiapan. Hanya sebulan. Penyebabnya, Pelatih Sarrono Anwar pergi ke Negeri Belanda untuk memperdalam ilmunya dari Will Coerver. Beberapa pemain Semarang juga ikut memperkuat PSSI dan klub masing-masing. Akibatnya, persiapan terbengkalai. Tapi Sartono Anwar membantah waktu persiapan PSIS kurang. "Sebulan cukup. Hanya saja pemain kurang semangat juang. Saya prihatin sekali," ujar pelatih yang membawa PSIS ke tangga juara tahun lalu. Sartono mengaku tak mengubah pola latihan. Dosis latihan pun baru 80 persen yang diberikan. Boleh jadi, "Pemain dihinggapi budaya puas diri setelah juara tahun lalu," ujar Ismangun Notosaputra, Ketua Pelaksana PSIS. Mengapa uang saku tidak dinaikkan? Padahal, dana deposito PSIS masih cukup tebal, Rp 125 juta. Pengurus PSIS menganggap para pemain itu sudah bekerja dan mendapat penghasilan cukup memadai. Dan, jangan lupa, pengurus PSIS-lah yang membantu mencarikan kerja. "Dulu sebelum juara mereka tak pernah mempersoalkan uang saku," tutur Pelatih Sutadi. Di Wilayah Barat, Persija Jakarta Pusat pada putaran pertama ini memimpin dengan nilai 7. Tim Ibu Kota itu tampil cukup stabil. Masih mengandalkan pemain eks Galatama, Persija pekan lalu bahkan menaklukkan PSMS Medan 0-1 di Stadion Teladan, Medan. Yang mengejutkan adalah PSDS Deli Serdang. Dari lima pertandingan, PSDS hanya menderita sekali kalah dari Bandung. Dua kemenangan dicatat kesebelasan kota kecil itu dari Bengkulu dan Jakarta Utara. Dengan pemain eks Mercu Buana Galatama -- klub milik pengusaha Probosutedjo yang kini bubar -- dan Semen Padang serta beberapa pemain Medan, Deli Serdang bahkan mampu menahan imbang Jakarta Pusat dan Medan. Finalis kompetisi tahun lalu, Persebaya-Surabaya, tak terlalu gemilang. Mengumpulkan nilai 8 dari tiga kemenangan -- dari Semarang, Manokwari, dan Jayapura Surabaya ternyata takluk di tangan Ujungpandang dan Balikpapan. "Wasit tidak becus. Kami sangat dirugikan ketika melawan Balikpapan," ujar penasihat ahli Persebaya, Mohamad Barmen. Ia juga membantah isu Kiper Putu Yasa memukul wasit di Balikpapan. "Saya punya bukti rekaman pertandingan," ujar Barmen lagi. Toh jalan ke Senayan masih terbuka luas bagi Surabaya. Karena lima pertandingan putaran kedua, mulai Januari 1988, akan dimainkan di Gelora 10 November, Surabaya. Mampukah Persebaya jadi juara kali ini? "Kami akan berusaha. Peluang ke Jakarta masih terbuka untuk semua tim. Kami berharap Semarang juga lolos. Biar seru," ujar pelatih Persebaya Misbach. Toriq Hadad, Budiono Darsono (Surabaya), Affan Bey (Medan), Bandelan Amaruddin (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini