MESKI ratusan pendahulu mereka sudah diganjar hukuman berat, para pengedar narkotik itu belum juga mau mengenal tobat. Itulah yang menyebabkan Mahmudin bin Nurdin disidangkan di Pengadilan Negeri Tapaktuan, Aceh Selatan, dan Sulendra di PN Denpasar, Bali yang Senin ini dituntut 20 tahun peniara. Mahmudin, 35 tahun, ditangkap subuh 3 Oktober lalu, dari rumahnya di Desa Meunasah Sukon, Kecamatan Manggeng. Dia tak berkutik, ketika sejumlah anggota Polres Aceh Selatan yang mengepung rumahnya menemukan 126,5 kg ganja kering dari kamar tidurnya. Di dalam sejarah penangkapan ganja, ini termasuk besar setelah Polda Sum-Ut pada 6 Oktober 1981 menggulung 161 kg ganja yang disebut milik Cut Mariana dan Bahtiar Tahir (TEMPO, 5 Desember). Tetapi ada persamaan antara yang ditemukan di rumah Mahmudin dan Cut Mariana. Di dalam goni, ganja di rumah Mahmudin dicampur buah pala. Sedangkan di tempat Cut, barang terlarang itu dicampur kacang tanah, juga di dalam goni. Mahmudin membantah bahwa ganja itu miliknya. Katanya, itu milik Risman, kawannya, yang tinggal di Desa Kuta Tinggi, Kecamatan Blang Pidie. Ganja itu dititipkan di rumahnya pada saat Mahmudin sedang menggalas buah pala di sekitar desa. "Saya cemas, lalu mencari Risman," kata Mahmudin kepada TEMPO. Menurut Mahmudin, Risman memintanya agar ia tenang saja. "Jangan ribut, karena akan saya ambil 3 Oktober nanti," kata Risman, seperti dikutip Mahmudin. Tetapi sebelum Risman datang, polisi sudah menciduk Mahmudin. "Risman kabur," katanya. Polisi sudah lama mencurigai Mahmudin yang mengaku sering berdagang buah pala ke Medan. Buah pala yang dibawanya paling banyak 200 sampai 300 kg saja sekali jalan. "Biasanya, pedagang di sini sedikitnya membawa 4 ton satu trip," kata Letkol Drs. Syafri D.M., Kapolres Aceh Selatan, kepada TEMPO. Sampai sekarang, Syafri masih menyelidiki apakah keterangan Mahmudin itu benar. Maksudnya, para pedagang ganja biasa memberi keterangan putar belit. Bisa saja nama Risman itu fiktif. Bisa betul, hanya alamatnya saja sengaja salah dijelaskan. Setelah dicek polisi, nama Risman itu tak ada di Kuta Tinggi. Setelah Mahmudin, masih ada Laksa, 45 tahun, dan Ali Hasan, 25 tahun. Dua yang terakhir ditangkap polisi pada 16 November lalu di Gunung Samanda, Kecamatan Kuala Batee, Aceh Selatan. Ketika itu, mereka sedang membawa 17 kg ganja. Jauh sebelumnya Syafri sudah meringkus Muhammad bin Idris, 22 tahun, dan Zainal bin Wali, 23 tahun, Juli lalu. PN Tapaktuan menghajar Muhammad 13 tahun penjara, dan Zainal 11 tahun. Ini gara-gara mereka kedapatan membawa 11 kg ganja kering. Sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Tapaktuan mengatakan, setiap bulan mereka membacakan dakwaan baru bagi pelaku kejahatan dadah itu. Artinya, usaha jual beli ganja sampai sekarang belum padam. "Sebagian besar mereka yang kami tangkap hanya orang upahan menyeberangkan ganja dari Aceh Tenggara ke Aceh Selatan," kata Syafri. Sejak operasi pemberantasan ganja dilakukan besar-besaran di ladang ganja Kabupaten Aceh Tenggara pada 1984, trayek ganja berubah dari Terangon atau Blangkejeren-Kutacane-Lawe Pakam-Tanah Karo-Medan, ke Terangon atau Blankejeren-Lama Rayek-Lama Cut di Aceh Tenggara, menyeberang ke Kuala Batee-Blang Pidie-Tangan-tangan di Aceh Selatan, lalu dengan bis ke Medan. Lintas baru itu tak kalah seram medannya dari lintas lama. Sungai-sungai mengempang, dan kalau menguap tak bisa dilalui. Selain itu, pembawa ganja harus merayap di dinding jurang di tengah hutan lebat. Paling sedikit, untuk sebuah operasi, anggota Polres Aceh Selatan lima hari untuk sampai ke desa-desa di sekitar rute baru itu. "Kadang-kadang mereka menginap sampai seminggu di dalam hutan," kata Syafri. Tak selamanya sukses. Hamba hukum itu sering terkecoh di kawasan hutan Simpang Badak. Dari titik ini ada tiga persimpangan, yang tembus ke lintas baru tadi. Ketiga simpang itu tampaknya harus disergap serempak, supaya pembawa ganja jangan lolos. Ini sukar dilakukan, mengingat terbatasnya jumlah polisi yang beroperasi. Ganja yang lolos, sebagian disimpan dulu di Tapaktuan, seperti yang ditemukan di rumah Mahmudin tadi. Ada pula Sulendra. Ia diusut pertengahan Februari lalu, ketika Manikan dan Mandana, rekan sekerjanya di Lembaga Pemasyarakatan Krobokan, Denpasar, Bali, menemukan 650 miligram heroin di ventilasi WC LP tersebut. Sulendra dicurigai. Ketika dia buang air kecil ke kamar itu, Oliver Maire Christian, 33 tahun, napi asal Prancis, masuk ke situ. Menurut Oliver, begitulah cara Sulendra, yang katanya, hampir tiap hari menjual heroin kepada para napi asing di LP tersebut. Mula-mula, pura-pura batuk, sebagai tanda masuk ke kamar kecil. Napi pembeli segera masuk ke WC itu, melakukan transaksi. Sulendra yang agak glamour itu menolak dakwaan Jaksa A. A. Gde Sri Dalem. "Oliver dan saksi lain mengaku seperti itu karena dipaksa," kata Erwin Siregar, pembela Sulendra -- pegawai LP sejak 1981 itu. Monaris S., Affan Bey (Medan), I N. Wedja & S. Supriyanti (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini