SI pengembara akhirnya sampai di dunia seni, tepatnya dunia pendidikan kesenian. Slamet Danusudirdjo, bekas dirjen bea dan cukai yang populer, pengembara itu, Kamis pekan ini dilantik sebagai Rektor Insitut Kesenian Jakarta (IKJ), yang berkampus di Cikini Raya. "Kalau ada pengembara yang tolol, itulah saya," katanya. Pengembara? Perjalanan hidup tokoh yang suka bicara blak-blakan ini memang luas. Lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, Slamet mula-mula merintis kariernya di bidang kemiliteran. Ia sempat mendalami ilmu militer di Negeri Belanda, Belgia, dan Uni Soviet. Hasilnya, kini di depan namanya orang biasanya mencantumkan mayjen (purnawirawan). Di dunia yang berurusan dengan senjata ini ia sempat menjadi instruktur di Akademi Militer Nasional Magelang, dan mengajar di Seskoad. Puncaknya, sebagai Deputi Asisten IV KSAD. Keluar dari dunia militer ia masuk ke dunia teknokrat: 1968, Slamet diserahi tugas sebagai Deputi Ketua Bappenas. Namanya mulai populer sejak ditunjuk sebagai Dirjen Bea dan Cukai (1972-1973), sekaligus mengetuai Tim Walisongo, yang bertugas memberantas korupsi, karena gayanya yang terus terang itu. Dan di tempat yang kala itu dikenal sangat "basah" tersebut, Slamet tetap "kering". Rumahnya di bilangan Kebayoran Baru, untuk ukuran "pengembara" semacam dia, tergolong sederhana. Dari Bea dan Cukai ia diangkat sebagai Sekjen Departemen Perhubungan. Kemudian, 1983 sampai sekarang, dia anggota DPA. Di sela-sela kesibukannya itulah, rupanya bapak sepasang anak kembar ini sempat melakukan kerja kreatif, menulis novel. Terbitlah pertama kali Kereta Api Teraklir, 1981, sebuah novel dengan latar belakang Perang Kemerdekaan. Dan kemudian beberapa novel lagi -- dan beberapa sudah difilmkan. Harap dicatat, di dunia kreativitas ia punya nama lain, Pandir Kelana. Itu sebabnya ia suka menyebut diri sebagai pengembara atau pengelana. Dan tolol? Itulah cara dia berendah hati. "Saya sendiri heran, kok saya yang dipilih," katanya tentang IKJ itu. Tiga bulan lalu ia didatangi sejumlah tokoh IKJ, ceritanya. "Saya ditawari jadi rektor. Dipikir-pikir, demi perjuangan, bolehlah," kata Slamet Gebod, demikian panggilan akrabnya. "Perjuangan memajukan seni dan IKJ, tentunya." Tapi apakah perjuangan dalam seni mirip perjuangan angkat senjata, orang yang "merasa berutang budi pada revolusi" ini belum begitu tahu. "Saya belum punya rencana apa-apa," katanya. Sementara itu, pihak IKJ memilih Slamet bukannya tanpa pertimbangan. "Ia diharapkan bisa memecahkan berbagai persoalan IKJ kini," kata Pramana Padmodarmojo, Pembantu Rektor II. "Khususnya yang menyangkut masalah manajemen dan hubungan luar." Memang, IKJ -- perguruan tinggi di bawah pemerintah daerah -- yang didirlkan pada 1970, dua tahun setelah Dewan Kesenian Jakarta berdiri, mengalami sejumlah kesulitan, terutama di bidang keuangan. Subsidi pemda sebesar Rp 11,6 juta per bulan ditambah uang kuliah Rp 800 ribu per tahun dari sekitar 400 mahasiswa, dirasa belum mencukupi kebutuhan operasional. Antara lain untuk menggaji 100 tenaga dosen dan asisten, dan menyediakan sarana praktikum mahasiswa. Semua itu membutuhkan biaya besar," kata Pramana. Lebih-lebih di Departemen Sinematografi yang hampir semua peralatannya memerlukan dana tidak sedikit. Hal lain yang mendesak, menurut Pram, adalah kurangnya tenaga pengajar. "Idealnya tenaga pengajar dan mahasiswa kesenian itu satu banding satu," tambah Pram. Inilah pertama kali satu pendidikan kesenian memilih pimpinannya bukan dari mereka yang terlibat langsung dengan dunia seni. Slamet memang penulis novel, tapi manajemen pendidikan seni tentulah dunia pengembaraan yang baru baginya. Tapi ini menandai pemikiran penting. Yakni, bahwa pimpinan lembaga kesenian tak perlu seniman tulen. Urusan pimpinan lebih berat pada segi manajerial. Seumpama nanti Slamet sukses, IKJ merupakan pelopor dalam memilih pimpinan untuk lembaga kesenian bukan dari seniman. Ini secara tidak langsung diakui oleh Edi Sedyawati. Menurut ahli tari yang juga Pembantu Rektor I ini, IKJ membutuhkan pemimpin yang memiliki hubungan luas dengan berbagai pihak yang erat kaitannya dengan kemajuan lembaga itu, misalnya Gubernur dan Departemen P & K. Dan si Pengembara dari Banjarnegara itu dianggap memenuhi kriteria. Setidaknya ia memahami sulitnya hidup dari karya seni. "Novel saya cuma dicetak paling banyak 5.000 eksemplar," kata Slamet. "Bagaimana bisa hidup dari menulis?" Y.H. dan Priyono B. Sumbogo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini