Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiger Woods, 40 tahun, seperti terjerumus ke palung mahadalam. Ia belum pensiun, tapi kehebatannya di lapangan golf seperti sudah benar-benar habis. Dia pernah memegang rekor sebagai pegolf nomor satu dunia terlama—total selama 683 minggu—tapi ia kini hanya menempati peringkat ke-426 dan tak pernah mengecap gelar juara dalam dua tahun terakhir.
Aura juara yang sebelumnya erat melekat padanya kini berpindah ke atlet Amerika Serikat lain: Jordan Spieth, 22 tahun. Media massa di sana menjuluki pegolf muda ini "Ahli Waris Tiger Woods". Butch Harmon, yang pernah melatih Woods pada 1996-2002, menganggap sebutan itu beralasan. "Jordan mampu melakukan apa yang dilakukan Tiger pada usia yang sama," katanya seperti dikutip Golf Channel, dua pekan lalu.
Media massa Negeri Abang Sam bahkan menempatkan Spieth di level yang melebihi Woods. Dia lebih disukai karena memiliki kepribadian yang lebih baik ketimbang seniornya: lebih rendah hati, hangat, dan tulus. Wartawan USA Today, Christine Brennan, misalnya, menyebut kemenangan Spieth sebagai kemenangan orang-orang baik. "Ketika Jordan Spieth menang, kami juga ikut menang. Itu menjadi kemenangan orang-orang yang muak terhadap atlet yang hanya mementingkan egonya, juga jadi kemenangan orang tua dan pelatih yang selalu berdoa agar sportivitas jadi pemenang," ujar Brennan.
Spieth juga membuat para wartawan merasa dihargai. "Ketika Anda bertanya, dalam jumpa pers atau satu lawan satu, rasanya seperti guru menghadapi murid yang ingin memberi jawaban untuk mengejar nilai A," kata Jaime Diaz, editor Golf World.
Dua wartawan itu mengungkapkan kesaksiannya pada April tahun lalu, setelah Spieth merebut gelar turnamen utama (mayor) pertamanya di kejuaraan Masters 2015 di Augusta National Golf Club, Augusta, Georgia. Ia menjadi pegolf termuda kedua yang meraih gelar itu, setelah Tiger Woods pada 1997.
Sejak kemenangan itu pula perbandingan antara Spieth dan Woods mulai muncul dan kian keras terdengar setelah dua bulan kemudian Spieth merebut gelar mayor keduanya di US Masters. Lintasan karier Spieth dianggap mirip dengan raihan Woods, bahkan lebih baik. Sebelum usia 21 tahun, ia berhasil memenangi satu gelar juara, sedangkan Woods dua gelar. Sebelum usia 22 tahun, ia merebut lima gelar juara, termasuk dua gelar mayor, sedangkan Woods meraih enam gelar juara, termasuk satu gelar mayor.
Pada 10 Januari lalu, Spieth merebut gelar ketujuhnya dengan menjuarai Hyundai Tournament of Champions di Kapalua, Hawaii. Ia menorehkan 262 pukulan, unggul 8 atas rekan senegaranya, Patrick Reed. Gelar itu pun kian menyejajarkan Spieth dengan Woods. Sebelum ulang tahun ke-23, keduanya sama-sama sudah mengemas tujuh gelar PGA Tour, penyelenggara utama tur golf profesional di Amerika Utara.
Spieth baru mulai belajar golf saat Woods sudah mendapat banyak pujian karena prestasinya yang mencorong di usia remaja. Lahir di Texas, Amerika Serikat, Spieth dikenalkan pada golf sejak belia. Saat ia masih balita, ayah dan ibunya, Shawn dan Chris, menggunakan hadiah tongkat golf sebagai insentif agar sang anak mau berlatih menggunakan toilet. Tapi baru pada usia 12 tahun Spieth benar-benar serius menekuni olahraga ini.
Spieth bergabung dengan klub golf di dekat rumahnya, Brookhaven Country Club, Dallas. Di sana dia dilatih Cameron McCormick, yang menggambarkannya sebagai sosok pantang menyerah. Di bawah arahan pelatih ini pula Spieth mengubah gaya ayunannya, yang kemudian dipertahankan hingga kini.
Spieth tak punya pukulan yang keras. Sebagai gambaran, Woods menempati posisi ketiga di jajaran pegolf dengan pukulan terkeras dan Spieth hanya berada di posisi ke-78. Tapi kelemahan itu ditutupi Spieth dengan gaya ayunan unik. Saat dia memukul, begitu tongkat hampir mengenai bola, lengan kirinya akan sedikit membengkok. Hal itu untuk menjaga agar tongkat golfnya tak berputar saat mengenai bola. Gaya seperti itu membuat pukulannya tak keras tapi konsisten karena jarang gagal.
Berbekal gaya ayunan itu dan kehebatan dalam putting (pukulan di atas rumput di arena lubang golf yang kerap dianggap pukulan tersulit), karier Spieth melesat cepat. Pada 2009, pada usia 16 tahun, ia memenangi Kejuaraan Amatir Nasional Amerika. Gelar yang sama ia rebut lagi pada 2011, yang menempatkannya setara dengan Woods sebagai pegolf yang pernah jadi juara lebih dari sekali.
Pada akhir 2012, Spieth terjun ke kancah profesional. Setengah tahun kemudian, ia meraih gelar pertamanya dalam turnamen John Deere Classic di Illinois, tepat dua pekan sebelum ulang tahunnya yang ke-20. Ia jadi pegolf termuda keempat yang menjuarai PGA Tour dan atlet remaja pertama yang melakukannya sejak 1931.
Namanya kian melambung setelah menjuarai turnamen Masters di Augusta, Georgia, Amerika, April tahun lalu. Saat Spieth meraih kemenangan mayor pertamanya itu pula publik melihat peran keluarga dalam menghadirkan kepribadian hangat pegolf muda tersebut. Melihat Spieth seperti terbuai oleh kemenangan, ayahnya, yang bekerja di bidang teknologi informasi, segera mendorongnya kembali ke green 18 untuk berterima kasih kepada penonton yang telah memberi aplaus luar biasa.
Wartawan pun tak kaget saat Spieth mengirim pizza yang cukup banyak ke ruang pers dan relawan setelah ia mampu melakukan hole-in-one di turnamen BMW Championship di Lake Forest, Illinois, September tahun lalu. Mereka justru kaget karena aksi luar biasa pegolf muda itu tak berlanjut di turnamen tersebut, sehingga ia hanya bisa finis di urutan ke-13. Tapi Spieth bisa menebus kegagalan itu pada bulan yang sama dengan menjuarai The Tour Championship di Atlanta, Georgia. Gelar itulah yang mengantarnya jadi pegolf nomor satu dunia, yang terus dipertahankannya hingga kini.
Dalam kejuaraan di Atlanta itu, Spieth didampingi Ellie, adik perempuannya yang mengalami kelainan saraf otak sehingga menderita autisme akut. Ketika di akhir lomba banyak orang menyalami kakaknya, Ellie, yang saat itu berusia 14 tahun, dengan lugu bertanya, "Apakah kamu menang, Jordan?" Spieth langsung tersenyum sambil memeluk adiknya itu. "Ya, kita menang, Ellie."
Spieth menyebut Ellie sebagai sosok yang berperan besar membentuk kepribadiannya. "Menjadi saudara Ellie membuat saya selalu rendah hati setiap hari," katanya. Adapun Chris Spieth, ibunya, melukiskan pengaruh itu dengan lebih gamblang: "Jordan tak akan berada di posisinya saat ini bila tak besar bersama Ellie. Jordan menyadari kehidupan dalam turnamen bukanlah kehidupan nyata. Berkumpul di meja makan sambil menyaksikan adiknya yang berkukuh tak mau makan, itulah kehidupan nyata."
Kondisi Ellie juga membuat Spieth lebih peduli kepada sesama. Ia kerap menjadi relawan di sekolah adiknya untuk membantu siswa teman-teman Ellie. Pria yang mengencani mantan teman sekolahnya, Annie Verret, itu juga beberapa kali menggelar pertandingan amal, yang melibatkan pegolf dunia lainnya, untuk menggalang dana bagi yayasan yang membantu anak-anak yang bernasib seperti adiknya.
Kecemerlangan di lapangan yang berpadu dengan kehangatan di luar lapangan itu membuat Spieth menjadi "darling" bagi pers dan penggemar golf. Sponsor juga kepincut sehingga berbondong mendukungnya. Hasilnya, pada tahun lalu Spieth dikukuhkan sebagai pegolf berpenghasilan tertinggi dengan pendapatan US$ 53 juta (sekitar Rp 736,7 miliar), yang lebih dari 50 persennya didapat dari sponsor. Ia sekaligus mengakhiri dominasi Tiger Woods, yang selalu berhasil meraih status itu dalam 13 tahun terakhir. Woods kini melorot ke urutan ketiga dalam daftar itu dengan penghasilan US$ 48,5 juta, di bawah Phil Mickelson, yang mendapat US$ 52,3 juta.
Secara total, kekayaan Spieth masih kalah jauh dari Woods, yang menurut Golf Digest meraih US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 16,6 triliun) dari sponsor sepanjang kariernya. Tapi, dengan uang yang dihasilkannya itu, Spieth sudah bisa mengecap hidup yang glamor. Lihat saja rumahnya di Dallas, Texas. Dibeli dari pegolf Hunter Mahan pada Desember tahun lalu, rumah itu menawarkan banyak kemewahan, termasuk garasi yang muat 12 mobil, kolam renang besar di halaman, tempat latihan basket di dalam rumah, gym yang superlengkap, dan simulator permainan golf.
Pada usia sangat muda, Spieth seperti sudah berada di puncak dunia. Tapi ia justru merasa belum apa-apa, terutama bila dibandingkan dengan Tiger Woods, yang sudah meraih 102 gelar juara, termasuk 14 gelar mayor. "Masih sangat jauh," ujarnya. Toh, Spieth mengakui apa yang sudah diraihnya juga sangat berarti. "Ini memberi rasa percaya diri untuk melangkah menjalani 20 tahun ke depan. Saya tahu, bila tetap sehat, bahkan ketika segalanya tak berjalan semestinya, saya bisa bangkit dan kembali dengan cepat."
Nurdin Saleh (PGA, Golf Digest, Golf Channel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo