Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan artefak batu yang ditemukan di Desa Talepu, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, membuat Gerrit van den Bergh penasaran. Paleontolog dari University of Wollongong, Australia, itu tak dapat menebak siapa pembuat perkakas tersebut. "Usianya lebih tua daripada manusia modern (Homo sapiens) pertama yang hidup di sana," katanya kepada Tempo, Senin dua pekan lalu, melalui surat elektronik.
Gert—demikian Van den Bergh biasa disapa—tengah meneliti Sungai Walanae di Soppeng pada 2007, ketika menyadari ada yang unik pada bebatuan di kawasan itu. Bagi Gert, batuan itu seperti perkakas serpih alias flake, yang biasa digunakan manusia purba untuk memotong makanan. "Saya putuskan agar kami menggali di sini, dan syukurlah kami beruntung," ujarnya.
Menurut Anwar Rakib, bekas pegawai Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar yang menemani Gert meneliti Sungai Walanae, mereka awalnya mengecek dasar serta dinding sungai dan menemukan banyak serpihan batu. "Kami menelusuri bukit, ternyata banyak bongkahan mirip perkakas di atas," kata Anwar saat ditemui di rumahnya di Makassar, Ahad dua pekan lalu.
Bekerja sama dengan tim peneliti dari BP3, Gert dan timnya memeriksa area yang dikenal sebagai Bukit Cempa itu. Mereka membuat empat lubang galian bergaris tengah tiga meter dengan kedalaman 20 meter. Jarak antarlubang sekitar 30 meter. Mereka memasang kerangka kayu di dalam lubang untuk mencegah longsor. "Penggalian pada 2010 itu coba-coba. Yang terbesar dilakukan pada 2013 dan Gert mengundang teman-temannya, arkeolog dari Inggris dan Prancis," kata Anwar.
Kini lubang-lubang itu telah ditimbun tanah dan dedaunan. Bekas lubang itu tampak seperti kubangan. Penduduk menanam cokelat, jagung, dan ubi di sana. Banyak warga Talepu tak tahu tentang penemuan benda purbakala di ladang mereka. Menurut Ijasawang, pemilik lahan, dulu dia hanya dikabari ada orang menggali tanahnya untuk mencari bebatuan atau emas selama seminggu.
Selama melakukan penggalian, Gert dan timnya menemukan 311 artefak batu dan beberapa fosil fauna raksasa. Artefak itu berwarna cokelat kekuningan dengan diameter sekitar 13 sentimeter. Banyak yang berada dalam kondisi rusak, pecah, dan tercungkil di beberapa bagian. Bentuknya ada yang menyerupai kapak genggam dari era Paleolitikum atau Zaman Batu Tua dan beragam temuan alat serpih lain yang lebih modern daripada era Mesolitikum dan Neolitikum.
Dalam laporan di jurnal Nature, 13 Januari lalu, usia artefak itu diperkirakan 118-194 ribu tahun. Rentang usia ini dilacak dengan metode deteksi uranium. Adapun fosil fauna yang ditemukan di Talepu berusia setidaknya 780 ribu tahun.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar karena peninggalan manusia purba lain di Sulawesi tak setua itu. Lukisan tangan tertua di dunia yang ditemukan di gua di kawasan karst Maros, Sulawesi Selatan, hanya sekitar 40 ribu tahun. "Fosil vertebrata yang terdapat dalam gua Maros juga berusia jauh lebih muda dibanding artefak Talepu," kata Iwan Kurniawan, kurator fosil dari Museum Geologi Bandung, yang terlibat dalam penelitian ini. Karena selisih waktu yang besar ini, Iwan menduga ada spesies manusia lain yang lebih dulu mendiami Sulawesi.
Masalahnya, pengungkapan identitas pembuat perkakas batu di Talepu itu sulit dilakukan karena para peneliti tak menemukan fosil tengkorak. Gert pun hanya bisa menduga-duga siapa pembuat peralatan itu. Tebakan awal mengarah pada spesies Homo erectus, manusia purba yang ditemukan di Ngandong, Jawa Tengah. Menurut para arkeolog, spesies ini telah menginjak Jawa sejak satu setengah juta tahun lalu.
Dugaan lain adalah Homo floresiensis, spesies manusia purba kerdil yang fosilnya ditemukan 13 tahun lalu di Flores. Spesies yang dijuluki Hobbit itu tingginya hanya sekitar 1,1 meter, mirip postur kaum Hobbit dalam trilogi novel The Lord of the Rings, dan diperkirakan hidup 95-17 ribu tahun lalu.
Menurut Anwar, kedua manusia purba itu mungkin terdampar di Sulawesi karena tersapu tsunami kecil. Kala itu manusia belum mengenal teknologi membuat perahu atau rakit. "Apalagi Sulawesi adalah area terisolasi, tak mungkin dapat dilalui dengan berjalan kaki," katanya. Berbeda dengan Pulau Jawa, yang pada era tersebut terhubung dengan daratan Asia lain karena permukaan laut yang lebih rendah, Sulawesi dan Flores adalah pulau yang terpisah.
Teori tsunami kecil ini dinilai paling masuk akal. Gert mendapatkan bukti pendukung lain dari peristiwa tsunami Aceh 12 tahun lalu. Pada waktu itu manusia dapat bertahan hidup di samudra lebih dari sepekan hanya dengan berpegangan pada puing atau batang pohon. "Dulu Indonesia sering dilanda tsunami. Mungkin ada sekelompok manusia purba terdampar di Sulawesi dengan cara ini," ucapnya. Gert juga menduga manusia purba Australia, kaum Denisovans, sebagai kandidat pembuat alat misterius ini.
Adam Brumm, arkeolog yang terlibat dalam penelitian ini, mengatakan ada kemiripan artefak Sulawesi dengan yang ditemukan di Flores. Keduanya dibuat dari batu bulat yang bertebaran di pinggir sungai. "Tapi semua spesies manusia, sejak tiga juta tahun lalu, juga menggunakan peralatan serupa karena tak butuh usaha keras untuk membuatnya," ujarnya.
Meski masih dilingkupi misteri, temuan ini telah mengubah peta persebaran manusia purba di Indonesia. Sulawesi menambah daftar daerah di Indonesia yang pernah disinggahi manusia prasejarah, selain Flores. Bukan hanya itu, keduanya juga dapat menjadi contoh menarik evolusi manusia dalam kondisi terisolasi, yang mungkin berujung pada terbentuknya spesies baru.
Gert dan rekan penelitinya tetap membutuhkan fosil tengkorak untuk membuktikan siapa pembuat perkakas misterius di Talepu. Mereka berencana meneliti situs gua Maros, 120 kilometer dari Talepu. "Siapa tahu ada temuan fosil Homo sapiens yang lebih tua atau bahkan tengkorak dari manusia prasejarah Talepu ini," kata Gert.
Namun pada era tersebut manusia purba belum mengenal penguburan mayat. Tulang manusia juga sulit menjadi fosil karena lebih cepat hancur. Temuan fosil tengkorak atau tulang belulang dari pembuat alat misterius ini akan menjadi hadiah istimewa bagi Gert dan kawan-kawan serta dunia riset arkeologi.
Menurut dosen arkeologi Universitas Indonesia, Cecep Eka Permana, temuan artefak di Talepu mungkin berhubungan dengan lukisan tangan di gua Maros. Menurut dia, ada kemungkinan manusia purba melewati Sulawesi ketika bermigrasi dari utara menuju Flores. "Kronologinya sangat menarik. Kalau usia alat batu tersebut benar, ini menjelaskan keberadaan lukisan tangan berusia 40 ribu tahun di Maros," katanya. Namun tetap diperlukan bukti berupa rangka manusia. "Semestinya ada, dan semoga tak lama lagi ditemukan."
Gabriel Wahyu Titiyoga, Ursula Florene, Andi Ilham (Soppeng), Aan Pranata (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo