Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Perang bola eropa 88: siapa juara ? sebuah pesta dengan mantra

Kejuaraan sepak bola piala eropa 1988 di jerman barat, diikuti 8 negara. profil 4 kesebelasan semifinalis. persaingan pola permainan tiap kesebelasan. sekilas tentang hooliganisme yang mewabah dunia.

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUPAKAN sejenak seniman bola Amerika Latin seperti Zico dan Diego Maradona. Alihkan perhatian ke Eropa. Lihatlah atraksi hebat duet Belanda: Ruud Gullit dan Marco van Basten yang lapar gol dalam turnamen Piala Eropa VIII . Atau saksikan kelihaian striker cerdik Jerman Barat, Rudi Voeller. Simak bagaimana kiper Uni Soviet Rinat Dassayev yang punya kemampuan berakrobatik, terbang memetik bola. Dan liriklah Gianluca Vialli penyerang Italia yang mampu merobek-robek jantung pertahanan lawan sekukuh apa pun. Itulah bagian dari pesona sebuah pesta sepak bola yang kini berlangsung di Jerman Barat. Delapan kesebelasan yang mewakili, Jerman Barat, Italia, Spanyol, Denmark, Belanda, Uni Soviet, Irlandia, dan Inggris, mencoba memberikan yang terbaik untuk merebut supremasi Piala Eropa. Eropa memang bukan dunia. Masih ada Argentina, Brasil, atau Uruguay di Amerika Selatan yang juga menjadi gudang pemainpemain terbaik dunia. Namun, tak bisa disangkal, inilah arena tempat berkumpulnya tim terbaik di dunia. Tak perlu heran jika lebih dari 800.000 lembar tiket untuk menyaksikan semua 15 pertandingan yang dilangsungkan di 8 tempat -- termasuk pertandingan final yang berlangsung Sabtu pekan ini, 25 Juni 1988, di Munich - nyaris habis terjual. Lebih dari 95 persen karcis terjual sebelum turnamen dimulai . Memang luar biasa. Inilah rekor persentasi penjualan karcis untuk sebuah turnamen sepak bola. Bahkan rekor ini tak pernah terjadi dalam sejarah penyelenggaraan Piala Dunia sekalipun. Tak kurang dari 5.000 wartawan dari berbagai penjuru ikut mengabadikan kejuaraan ini. Tercatat ada 71 negara yang turut menyiarkan sebagian atau seluruh pertandingan secara langsung lewat layar televisi termasuk Indonesia. Semua ini membuat demam sepak bola melanda seluruh jagat. Piala Eropa seakan punya mantra yang memblus seluruh dunia untuk mengikut "perang" ini. Untuk menyiapkan pertempuran ini, tuan rumah Jerman Barat tak segan merogoh koceknya sebesar US$ 23,5 juta. Hasilnya tak percuma. Semua mata kini memusatkan perhatiannya ke negeri ini. Pasar taruhan pun berguncang dan bertanya-tanya: siapa calon sang juara? Terguncangnya pasar taruhan ini terutama disebabkan melesetnya ramalan-ramalan yang memporakporandakan segala dugaan awal. Inggris, yang dijagokan, ternyata tiga kah keok, dan tersisih. Spanyol dan Denmark juga tersungkur. Maka, muncullah ramalan-ramalan baru. Jerman Barat kembali dijagokan untuk menjuarai turnamen kali ini - setidaknya berpeluang maju sampai ke babak final. Harapan itu beralasan. Paling tidak, tim yang biasa berkostum putih-hitam ini sudah memastikan diri maju ke babak semifinal, setelah mengalahkan Spanyol 2-0 Jumat pekan silam, di Olimpiastadion, Munich. Dua gol kemenangan yang sangat menentukan itu dihasilkan kaki penyerang kontroversial Rudolf "Rudi" Voeller, 28 tahun "Rasanya seperti mimpi," katanya seusai pertandingan. Dengan hasi kemenangan ini, pasukan Elang Hitam asuhan Franz Beckenbaue memimpin Grup I, mengungguli Italia, Spanyol, dan Denmark. Masuknya Rudi Voeller dalan tim Jer-Bar memang pernah diributkan. Penampilan striker yan sekarang bermain di klub AS Ro ma (Italia) itu sempat mengkhawatirkan dalam sejumlah pertandingan uji coba. Ia terlihat kagok dalam melakukan berbagai kombinasi dengan rekannya satu tim. Begitu juga dalam dua pertandingan pertama - menghadapi Italia dan Denmark ia tak bermain sesuai dengan harapan pendukungnya. Voeller tidak dimainkan penuh 90 menit. Malah sebagian penonton sudah antipati terhadapnya. Teriakan "buuu...." acap terdengar ketika Voeller menggiring bola. Penampilannya yang di bawah form itu dihubungkan dengan nasib Voeller yang selalu dibayangi cedera. Malah dua tahun lalu ia menjalani operasi hernia. Akibatnya, ia harus istirahat total selama lima bulan. Sejak itulah prestasinya tak lagi mengkilap. Bekas pencetak gol terbanyak dan pemain terbaik Liga Jerman Barat tahun 1982 itu boleh dibilang "terkubur" di (kompetisi) Italia, yang dijejali hampir semua pemain terbaik dunia. Sampai akhir Januari lalu, Voeller malah masih berkutat dengan sejumlah ahli fisioterapi di Frankfurt yang merawat cedera pahanya. Itu sebabnya, banyak yang protes begitu nama Voeller tercantum sebagai salah satu pemain inti Jer-Bar. Meski begitu kepala tim Jer-Bar, Franz Beckenbauer, tetap saja ngotot mempertahankan pemain yang satu ini. "Tak seorang pun yang bisa menandinginya," jawab Beckenbauer. Akhirnya, Voeller memang tak mengecewakan. Lewat dua gol yang disarangkan ke gawang Spanyol, simpati publik kini kembali ke pundaknya. Pengaruh ini sedikit banyak juga ikut menjalar ke seluruh tim. Beckenbauer dan anak buahnya yang lain kembali utuh rasa percaya dirinya - setelah sempat digoyang pengamat dan pers Jerman di awal-awal turnamen. Italia juga mengikuti Jer-Bar ke babak semifinal, setelah Jumat pekan lalu di stadion Mungersdorf, Koeln, mengalahkan Denmark 20. Kemenangan Italia tak lain berkat jasa penyerang Gianluca Vialli, 23 tahun. Dialah pemberi umpan matang yang menghasilkan gol. Masing-masing kepada striker veteran Alessandro Altobelli, 32 tahun, dan Luigi de Agostini, 27 tahun. Secara keseluruhan tim Italia memang hebat. Melihat mereka bermain rasanya seperti menikmati pizza Italia yang gurih itu. Mereka sudah meninggalkan pola catenaccio - cara bermain dengan hanya mengandalkan pada pertahanan kuat dan cuma sesekali menyerang. Adalah Pelatih Azeglio Vicini 55 tahun, yang mengubah citra itu semua. Para pemain ditempanya agar berani keluar menyerang dan tak lagi mendewa-dewakan pertahanan yang kuat. Bisa jadi ini karena pengaruh banyaknya pemain asmg yang bermain di liga Italia. Sebagian besal pemain asing yang dikontrak adalah pemain depan yang punya naluri mencetak gol. Misalnya Diego Maradona (Argentina) dan Careca (Brasil) yang main untuk Napoli. Duet Belanda Ruud Gullit dan Marco van Basten dikontrak di AC Milan. Dua penyerang Denmark Preben Elkjaer main di Verona dan Michael Laudrup di Juventus. Penyerang asal Wales lan Rush dikontrak Juventus. Serta striker Rudi Voeller (Jer-Bar) juga bergabung di AS Roma. Pengaruh ini setidaknya ikut mewarnai pola permainan sepak bola di negeri itu. Yang juga patut dicatat dari tim Azurri ini adalah sebagian besar pemain intinya berusia muda - tapi tidak hijau dalam pengalaman. Kapten Giuseppe Bergomi yang bermain di bek kanan, misalnya. Umurnya 24 tahun, tapi prestasinya hebat. Dalam usia 18 tahun ia sudah memperkuat Italia menjadi juara Piala Dunia 1982 di Spanyol. Bek kanan Paolo Maldini masih berusia 19 tahun tapi sudah enam kali memperkuat tim Italia. Pemain tengah De Napoli dan Roberto Donadoni masih berusia 24 tahun, tapi sudah belasan kali memperkuat tim nasional. Pemain tertuanya adalah veteran Altobelli, 32 tahun, itu pun hanya sebagai pemain cadangan. Dengan materi pemain yang ada itu Italia diibaratkan tim "Daun Muda". Itu sebabnya tim ini dicalonkan menjuarai turnamen Piala Eropa. "Saya menjagokan Italia," kata Cesar Luis Menotti, pelatih tenar yang menghantarkan Argentina jadi juara dunia 1978. Apa yang-ada pada tim Italia sangatlah kontras dengan tim Denmark yang justru masih diperkuat pemain-pemain tua. Sebagian besar pemain intinya di atas 30 tahun. Bek Soren Busk, 35 tahun. Striker Elkjaer, 30 tahun. Gelandang Soren Lerby, 30 tahun. Malah kapten tim Morten Olsen sudah berusia 39 tahun. Padahal, tim ini pernah merebut perhatian penonton di kejuaraan Piala Eropa 1984 di Prancis dan Piala Dunia 1986 Meksiko. Mereka dapat julukan tim Dinamit. Tapi di Jerman, tim Dinamit malah tak meledak sama sekali. Dalam tiga pertandingan di penyisihan grup I, Denmark berturut-turut kalah dari Spanyol, Jer-Bar, dan Italia. "Sudah saatnya kami membentuk tim yang lebih baru dan lebih segar," tutur pelatih Denmark, Sepp Piontek. Tak cuma Denmark yang berprestasi buruk. Di grup II, Inggris juga mengalami nasib serupa. Tak sekali pun menang dalam tiga pertandingan lawan Irlandia, Belanda, dan Uni Soviet. Padahal, negeri yang mengklaim sebagai tempat lahirnya sepak bolamodern itu semula difavoritkan banyak pengamat bola - termasuk Beckenbauer bakal jadi juara di turnamen ini. Tapi Inggris malah rontok duluan. Kekalahan ini memang mengagetkan. Tim yang didukung oleh dua Robson: Pelatih Bobby Robson, 55 tahun, dan Kapten Bryan Robson, 31 tahun, (tak ada hubungan saudara di antara mereka) itu, dibungkam Irlandia dengan skor 1-0. Inilah kemenangan historis buat Irlandia yang dalam 39 tahun terakhir tak pernah menang melawan saudara tuanya itu. Setelah Irlandia, giliran Belanda menyikat Robson dkk. dengan skor 3-1 lewat pertal rungan seru - bahkan disebut-sebut sebagai salah satu partai terbaik untuk tahun ini. "Kami sial, mau apa lagi? Tapi saya tidak malu atas kegagalan ini," tutur Pelatih Robson. Sewaktu melawan Belanda pada Rabu petang pekan lalu di Rheinstadion Dusseldorf, dua peluang emas Inggris lewat tendangan Gary Lineker dan Glenn Hoddle pupus karena membentur tiang gawang yang dikawal Van Breukelen. Di luar lapangan juga berlangsung partai seru, ribuan suporter Inggris berbaku hantam dengan pendukung Belanda. Sekitar 2.500 polisi antihuru-hara dikerahkan menghalau perang di Dusseldorf itu. Seperti biasanya, yang memulai adalah pendukung Inggris yang tak puas melihat kekalahan tim kesayangannya. Kaca-kaca etalase pertokoan dan mobil di sekitar stadion dirusakkan. "Padahal, waktu Perang Dunia II pun kaca-kaca ini tetap utuh," kata seorang pemilik toko. Lebih dari 200 pengacau - yang sebagian besar warga Inggris ditahan polisi setempat. Nilai kerusakan ditaksir sekitar Rp 1,8 milyar. Menteri Olah Raga Inggris, Colin Moynihan, yang ikut menyaksikan partai Belanda vs. Inggris sampai merasa malu melihat ulah pendukung Inggris. Seusai pertandingan ia melaporkan peristiwa itu kepada PM Margaret Thatcher. "Ulah mereka membuat nalu bangsa dan negara Inggris," kata Thatcher. Menteri Dalam Negeri Inggris, Douglas Hurd, kemudian menelepon rekannya di Jerman Barat, Menteri Hans Neusel, untuk meminta maaf atas peristiwa memalukan di Dusseldorf itu. Hurd malah minta agar pemerintah Jer-Bar tidak segan-segan menghukum warga nggris jika bersalah. Pemerintah Jer-Bar memang akhirnya bertindak tegas. Sejak turnamen ini dimulai pada 10Juni lalu, diperkirakan sudah hampir 1.000 suporter liar yang ditahan. Sebagian besar suporter asal Inggris. Melihat ulah suporternya yang masih ugal-ugalan itu, besar kemungkinan Inggris mencabut permohonannya untuk kembali mengikuti kompetisi klub sepak bola Eropa yang diadakan oleh Persatuan Sepak Bola Eropa (UEFA). Klub-klub Inggris memang sudah tiga tahun ini menjalani skorsing: dikucilkan dari berbagai turnamen di Eropa setelah insiden berdarah di stadion Heysel, Brussel, Belgia, pada Mei 1985. Pemerintahan Thatcher, seusai Piala Eropa 1988, malah berkeinginan agar tim nasional Inggris juga berbuat serupa, menarik diri dari semua turnamen internasional termasuk Piala Dunia 1990 di Italia nanti. Inggris memang sial sekaligus konyol. Terlebih lagi setelah Uni Soviet melengkapi kekalahan Robson dkk. dengan skor 3-1 dalam pertandingan terakhir, Sabtu pekan lalu, di Waldstadion, Frankfurt. Uni Soviet muncul sebagai juara grup II. Tim Beruang Merah ini semula dipandang sebelah mata oleh banyak pengamat sepak bola. Tapi dalam pertandingan pertama di stadion Mungersdorf, Koeln, 12 Juni lalu, secara mengejutkan Belanda disikat pasukan Soviet dengan skor 1-0. Yang menarik, 8 dari 11 pemain inti Uni Soviet berasal dari klub Dinamo Kiev termasuk manajer Valeri Lobanovsky, 49 tahun. Itu sebabnya, Lobanovsky tak terlalu pusing mengatur anak buahnya. Lagi pula, berkat semangat glasnost, pemain Soviet tak lagi harus mendengar instruksi dogmatis. Citra sepak bola dari negeri komunis yang pola bermainnya sederhana - cuma mengandalkan kekuatan fisik dan kerja sama antarblok yang polos - kini tak lagi terlihat. Di bawah Lobanovsky, pasukan Beruang Merah kini sudah lebih bebas memperagakan improvisasi di atas lapangan hijau. Pergerakan individu lebih hidup. Di belakang Soviet, Belanda juga maju mewakili grup II ke babak semifinal. Tim Belanda ini kembali bangkit dan seakan menjadi reinkarnasi total football yang sudah terkubur di akhir tahun 1970-an. Peletak dasar pola permainan itu adalah Rinus Michel, 60 tahun, yang kini kembali dapat kesempatan untuk membuktikan bahwa total football memang masih ampuh. "Ini kesempatan saya yang terakhir. Usai turnamen ini saya pensiun." tutur Rinus. Tapi Belanda masih harus menghadapi satu ujian berat untuk sampai ke tujuannya. Selasa pekan ini, di Volkparkstadion, Hamburg, mereka akan berlaga melawan Jer-Bar untuk merebut tiket ke grand final. Tentunya kesebelasan asuhan Beckenbauer ini tak mau begitu saja dikalahkan. Apalagi Voeller dkk. sudah diiming-imingi bonus Rp 75 juta setiap orang, kalau lolos ke final. Pemain Italia juga dapat rangsangan serupa. Setiap anggota pasukan Azurri bakal mengantungi bonus sekitar Rp 70 juta kalau menang dari Soviet dalam partai semifinal lainnya yang dimainkan keesokan harinya di Neckarstadion, Stuttgart. Sedangkan grand final dijadwalkan Sabtu petang pekan ini di Olimpiastadion, Munich. Untung ketiga partai itu disiarkan langsung TVRI yang terpaksa menggedor kocek sponsor KSOB sebesar Rp 120 juta untuk membeli hak siaran dan sewa satelit. Siapa yang bakal juara nanti? Pasar taruhan di Eropa memberi angin untuk tuan rumah Jerman Barat. Sedangkan di Jakarta, pasar taruhan condong pada dua tim yang imbang dijagokan, yaitu Jerman Barat dan Italia. Silakan mereka-reka. Rudy Novrianto (Frankfurt) dan Ahmed K. Soeriawidjaja (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus