"Sebiji gigi dulu setalen, kini Rp 10.000," kata Baba Bebe, generasi kedua pemilik sebuah tokoh emas. Puluhan tahun membunuh di Senen, Pak tua ini belum tahu mau ke mana. Mula-mula cuma 15 toko emas, setelah RI merdeka menjadi 40-an tokoh. Itulah zaman emas Senen, ketika 1 gram emas cuma Rp 2,20. Ia buruh setrika. Sebagian 366 keluarga membutuhkannya. "Apa betul-betul saya akan kehilangan langganan?" tanyanya. Dulu mereka buka toko sampai pukul 8 malam, aman. Kini bukan saja rawan, tapi jual gigi sudah susah -- tutur anak-cucu Tjhen Ma Nauw. Tukang tato, telah puluhan tahun, tempat memodernisasi peralatannya. Dulu, anak-anak yang tak sembuh diobati tabib, lalu di- "kwe pang", diganti namanya dengan nama yang aneh: Si Talen, Si Dolar, Si Ringgit. Tak jelas kapan munculnya pedagang emas kaki lima, mungkin setelah toko emas Senen pudar keemasannya. Sudah tentu antara toko dan kaki lima terjadi persingan -- ada juga yang lalu bekerja sama. Di kaki lima itulah mereka melayani orang-orang yang segan masuk toko. Bila Senen jadi "modern" nanti, masihkah kaki lima tersedia untuk mereka? Jenis perdagangan yang baru: kardus dan kertas bekas. Dulu sering ada barongsari, pengamen lenong setiap kali datang ke gang-gang Lio Cin, atau Wang Seng, atau gang Balok. Sekarang cuma di malam hari, lorong Segi Tiga Semen diramaikan oleh gambang kromong sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini