Arsitektur dan lingkungan yang akan hilang JAKARTA kembali berpesta. Lampu hias sepanjang jalan, pekan raya yang sudah beberapa kali diadakan, dan pesta di malam J hari jadi, 22 Juni. Bagi sebuah kota, usia 461 tahun menjadi catatan yang hilang dan yang datang. Dan siapa tahu, inilah terakhir kali Jakarta berulang tahun ketika yang disebut kawasan Segi Tiga Senen masih "asli". Itulah sebuah daerah perdagangan plus permukiman dari tempo dulu, seluas 6,7 hektar, berbentuk segi tiga, dengan kedua kaki merupakan salah satu urat nadi lalu lintas di Jakarta Pusat. Segi tiga itu memang tak akan lenyap, tapi diremajakan. Adalah Justinus Vinck yang membangun Pasar Senen 255 tahun lalu menjadi sepetak wilayah pusat perbelanjaan terua di Jakarta. Menjelang abad ke-21 kini, guratan sejarah itu masih tampak: pada arsitektur rumah-toko khas Cina yang kaya ornamen, atau sebuah kelenteng di situ. Tak ada yang abadi di dunia ini. Wajar sekali bila kemudian jejeran bangunan uzur itu kini tampak renta dikepung bangunan baru serba jangkung. Lingkungan pun tak lagi memenuhi syarat permukiman: saluran air, pembuangan sampah, jadi kacau. Untuk itulah, untuk sebuah peremajaan, PT Sarana Jaya memperhitungan, diperlukan sekitar Rp 90 milyar. Ini termasuk ganti rugi bagi para pemilik bangunan (Rp 24 milyar) dan biaya membangun perkantoran 13 tingkat serta hotel 10 lantai berbintang tiga (Rp 64 milyar). "Saya tidak mau menunda peremajaan ini. Insya Allah, tahun ini juga bisa terlaksana," kata Gubernur Wiyogo kepada TEMPO. Seperti diketahui, rencana ini tercetus hampir 30 tahun lalu sudah. Tak bisa tidak, sebuah masyarakat yang khas (sekitar 366 keluarga) dengan suasana lingkungan yang tersendiri pula, akan hilang. Zaman emas toko emas Senen yang terkenal sejak dulu di seanterr Pulau Jawa segera habis. Bakmi Babah Gondok yang khas juga harus pindah. Juga, profesi-profesi khas permukiman Cina tempo dulu, yang kini masih berupaya bernapas di tengah kesesakan asap bis kota dan truk-truk - tukang gigi, tukang tato. binatu, tukang foto, tukang obat cina, tabib, sinse, dan berbagai usaha lain di 133 toko bakal ikut hilang. Acara ngibing dan gemuruh pesta Liong di antara "rumah liliput" - rumah para urban yang menggantungkan hidup dari kegiatan di kompleks itu, yang nasibnya tak begitu cerah - tentu juga akan selesai. Tapi haruskah semua itu tak ada yang tinggal? Sebuah atau lebih bangunan khas yang kemudian dijadikan semacam Museum Segi Tiga Senen mungkin menarik. Dirgahayu Jakarta. Burhan Piliang, Linda Djalil, dan Rini P.W.I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini