Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruangan pribadinya di klub-klub yang dia latih—Milton Keynes Dons, West Bromwich Albion, dan kini Chelsea—selalu terdapat macchina, mesin pencampur kopi espresso. Lahir dan tumbuh remaja di Swiss lantas lama tinggal di Inggris, selera lidah Roberto Di Matteo tetap Italia, tanah leluhurnya. Dia juga jago memasak pizza, menu utama di dua restoran miliknya di London.
Begitu pula di lapangan. Catenaccio khas Italia, bertahan ketat dan sekadar sesekali melakukan serangan balik, menjadi sistem favorit pria 41 tahun ini. Paling tidak, begitulah cara Chelsea menyingkirkan Barcelona pada semifinal Liga Champions. Tak pernah menguasai bola lebih dari 22 persen keseluruhan waktu dalam dua kali pertemuan, Chelsea menang dengan agregat 3-2.
Orang-orang penganut paham sepak bola menyerang—bermain indah dengan mendominasi perebutan bola—jelas mengolok-olok Chelsea. ”Mereka tak berniat bermain sepak bola,” kata mantan kiper Manchester United asal Belanda, Edwin van der Sar. Tentu saja skuad Chelsea tak hirau oleh suara-suara semacam itu. ”Yang penting kami ke final. Anda tak mungkin disukai semua orang,” kata striker berpengalaman, Didier Drogba.
Memarkir bus di depan gawang. Begitu orang-orang yang tak suka menyebut cara Chelsea bermain. Antifootball atau negative football nama lainnya. Majalah Argentina, El Grafico, memperkenalkan idiom antifootball untuk menyindir cara bermain klub negaranya, Estudiantes, saat menang 1-0 di kandang sendiri dan meraih hasil imbang 1-1 di kandang lawan kala berhadapan dengan Manchester United pada Piala Interkontinental 1968.
”Memarkir bus” sesungguhnya telah dimainkan dengan lebih sempurna oleh Inter Milan sebelum dilakukan Estudiantes. Tiga kali meraih trofi Seri A Italia serta gelar Liga Champions 1963/1964 dan 1964/1965 menjadi buktinya. Pelatih asal Argentina, Helenio Herrera, membuat istilah catenaccio menjadi populer dan mengilhami gaya tim-tim Italia sampai dekade-dekade sesudahnya.
Popularitas catenaccio meredup seiring dengan datangnya totaalvoetbal, yang dibawa Ajax Amsterdam dan tim nasional Belanda pada 1970-an. Tiga kali meraih trofi Liga Champions secara berturut-turut, 1971-1973, dilakukan Ajax dengan mengandalkan pola bermain umpan-umpan pendek, menyerang bersama, bertahan bersama, dan banyak melakukan overlapping antarpemain.
Barcelona adalah anak kandung totaalvoetbal alias total football yang dibawa pelatih Rinus Michels dari Ajax. Johan Cruyff kian meneguhkan tradisi Belanda di Camp Nou, baik sebagai pemain maupun saat menjadi pelatih, dan lantas dipertajam oleh Frank Rijkaard, pelatih yang juga asal Belanda. Penyempurnanya bernama Josep ”Pep” Guardiola, pelatih yang baru berusia 37 tahun ketika menggantikan Rijkaard pada 2008.
Dipuji sebagai seni, menghasilkan banyak gelar secara prestasi. Klub berjulukan La Blaugrana itu meraih lima trofi dari delapan musim terakhir Liga Spanyol dan tiga dari tujuh musim terakhir Liga Champions. Di tingkat yang lebih tinggi, pemain dan gaya main Barcelona bertiwikrama ke tim nasional Spanyol untuk menggondol Piala Eropa 2008 serta Piala Dunia 2010.
Oleh banyak pengamat, tiki-taka dianggap sebagai puncak termutakhir dari perkembangan gaya permainan si kulit bundar. Beragam teori dibuat, beragam cara telah dicoba dilakukan banyak pelatih. Intinya, bagaimana cara menaklukkan Barcelona? Bayangkan, di segala kompetisi musim ini, tim kebanggaan suku Catalonia itu mencetak empat gol atau lebih dalam 15 dari 28 laga kandang, termasuk ada yang tujuh, delapan, dan sembilan gol
Di Matteo menemukan jawabannya pada catenaccio, meski tanpa posisi ala Herrera. Pada laga pertama semifinal di kandang sendiri, Stadion Stamford Bridge, pertengahan April lalu, The Blues hanya menempatkan Drogba di depan dan memasang lima gelandang. Menumpuk pemain di tengah, Chelsea membuat kreativitas Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Lionel Messi, dan kawan-kawan buntu. Lewat serangan balik, Drogba mencetak gol tunggal kemenangan.
Pada laga kedua di kandang Barcelona, Camp Nou, akhir April lalu, Chelsea menerapkan pola yang sama, 4-3-2-1. Gara-gara kartu merah yang diterima sang kapten, John Terry, klub dari barat London itu kemudian memainkan pola 5-4-0—Drogba seperti menjadi bek kanan.
Hebatnya, hanya dengan 18 persen penguasaan bola dan cuma membikin tujuh peluang—bandingkan, 23 peluang milik Barcelona—Chelsea berhasil mencetak dua gol untuk menutup pertandingan dengan hasil seri 2-2. ”Tim terbaik tak selalu memenangi pertandingan,” kata pencetak gol terakhir Chelsea di Camp Nou, Fernando Torres.
Sukses mengatasi Barcelona, Di Matteo mencoba cara yang sama di berbagai kesempatan dan membuat pelatih Arsenal, Arsene Wenger, menggerutu setelah timnya ditahan Chelsea tanpa gol di kandang sendiri pada Liga Primer Inggris. Liverpool juga jengkel. Lebih banyak menguasai pertandingan, The Reds dibekap Chelsea 1-2 pada final Piala FA, awal Mei lalu.
Sepak bola adalah soal mencetak gol. Siapa yang membenamkan bola di gawang lawan lebih banyak, dia yang menang. Begitu pula yang dialami Barcelona saat menjamu Real Madrid di La Liga Spanyol, akhir April lalu. Menguasai 72 persen waktu laga, La Blaugrana harus menyerah 1-2 . Pada akhir kompetisi, Madrid mengangkat trofi La Liga, mengakhiri dominasi Barcelona yang tiga kali juara berturut-turut.
Jose Mourinho adalah pelatih di balik sukses Madrid. Ini kemenangan pertama tim yang dia asuh di kandang Barcelona. Dari 18 kali melawan Barcelona dengan tim-tim yang dia latih—Chelsea, Inter Milan, dan Madrid—pria asal Portugal itu hanya mencatat rekor dua kali kemenangan, sembilan lainnya kalah dan tujuh seri. ”Orang-orang yang meyakini bahwa hanya boleh ada satu tipe (cara bermain) sepak bola di bumi adalah orang-orang yang tahu sepak bola sekadar lewat Google,” kata Mourinho.
Diego Simeone menganut paham yang sama. Dengan tegas, pelatih Atletico Madrid ini mengistilahkan falsafah sepak bolanya sebagai ”la pelota a la mierda”, yang terjemahan bebasnya berarti ”persetan dengan (penguasaan) bola”.
Hanya menguasai 40 persen waktu permainan, Atletico di bawah arahan Simeone menundukkan Athletic Bilbao 3-0 pada final Liga Europa di Bukares, Rumania, Rabu dua pekan lalu. Sebelum pelatih asal Argentina ini datang, Atletico dihajar Bilbao 0-2 di Liga Spanyol, Oktober tahun lalu.
Pelatih Bilbao, Marcelo Bielsa, hanya bisa terpekur setelah final di Bukares. Pelatih berusia 56 tahun ini sangat fanatik pada sepak bola menyerang berpola superoffensive 3-3-1-3. Rumornya, dia kandidat kuat menggantikan Guardiola, yang mundur dari Barcelona pada akhir musim ini. ”Mereka mencetak tiga gol dari delapan peluang, kami memiliki sembilan peluang dan tak satu pun yang berbuah gol,” kata pelatih asal Argentina itu.
Mereka—Di Matteo, Mourinho, dan Simeone—membuat lapangan hijau lebih berwarna, tak sekadar tiki-taka atau totaalvoetbal. Mereka juga membuat sepak bola kian pragmatis. Sekadar pelatih caretaker, Di Matteo sukses melapangkan jalan Chelsea ke partai puncak Liga Champions, Sabtu pekan lalu (saat tulisan ini dibuat, laga final belum berlangsung). ”Kita hidup di negara bebas, bukan?” Sebuah pertanyaan dari Di Matteo yang tak perlu jawaban.
Andy Marhaendra (Guardian, Soccernet, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo