Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKTRIS Titi Sjuman galau. Pagi-pagi saat terbangun dari tidur, pada akhir April lalu, telinga kirinya bengkak dan memerah. Begitu juga wajahnya. Kulit muka terasa tebal, panas, dan gatal. Bibir kaku dan dagu bentol-bentol seperti ada lemak putih. Kata dokter, perempuan 32 tahun ini menderita alergi sushi yang dia makan sebelum tidur. ”Br kali ini ngerasain alergi krn makan sushi. Telinga bengkak n muka merah2 n bengkak jg. Bengeepp ini judulnya!” begitu Titi menumpahkan kegalauannya lewat Twitter.
Obat incidal sudah diminum, tapi tak mempan. Dokter kemudian memberi obat yang lebih keras. Cuma sehari obat itu diminum, alerginya berangsur-angsur membaik. ”Besoknya, kuping mulai kempes, begitu juga dagu,” kata Titi kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu. Tapi obat yang keras itu punya dampak yang cukup kuat. Bintang film Mereka Bilang, Saya Monyet! ini, ”Seharian keliyengan ky ga napak gini.”
Sebenarnya, obat bukan satu-satunya yang bisa mengatasi alergi. Bagi alergi hebat seperti yang diderita Albaren Simbolon, ada cara yang lebih aman. Simbolon punya 22 alergi, termasuk kopi, susu, cokelat, dan ikan laut. Alergi susu dan makanan yang mengandung susu ditandai dengan munculnya benjol-benjol di tubuh. Sedangkan alergi kopi mulai diketahui sejak Albaren duduk di kelas VI sekolah dasar. Setelah minum kopi, tubuhnya sempoyongan, bahkan pingsan.
Menaklukkan 22 alergi dengan obat tentu saja merepotkan, meski tak mustahil. Selain butuh obat yang lebih banyak, waktu yang dibutuhkan tentu panjang. Albaren pun mencoba terapi lain. Namanya bio-communication atau bioresonansi. Lantaran kondisinya sangat parah, termasuk mengalami stres berat, ia sempat menjalani terapi hingga 10 kali di Klinik Harapan Indah, Bekasi. Sebelum diterapi, Albaren berpikir tak akan lama bertahan hidup. ”Sekarang, puji Tuhan, saya bebas minum kopi dan semua makanan yang sebelumnya membuat saya alergi,” kata Albaren yang hadir dalam seminar ”Atasi Alergi tanpa Obat” di RS Royal Progress, dua pekan lalu.
Di Royal Progress terapi ini baru dibuka April lalu. Dibukanya klinik ini menambah daftar rumah sakit di Tanah Air yang memanfaatkan alat terapi bioresonansi. Sebelum ini, praktek serupa sudah dibuka di RS Omni Pulomas Jakarta, RS Bella Bekasi, RS Gleni Internasional, dan RS Materna (keduanya di Medan). Sedangkan dokter yang membuka klinik serupa ada puluhan dan tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Menurut dokter Ali Senjaya, pembicara dalam seminar itu dan dokter di Klinik Harapan Indah, keberhasilan terapi alergi dengan bioresonansi mencapai 85-97 persen. Hal itu telah dibuktikan lewat sejumlah uji klinis. Salah satunya adalah penelitian di Pediatrics Department of the Central Hospital di Xi'an, Cina. Ada 1.639 pasien penderita beragam alergi, seperti eksem, asma, dan alergi rinitis (radang selaput lendir hidung), menjadi responden penelitian. Sebelumnya, para responden ini tak bisa gagal ditangani dengan pengobatan. Hasilnya memang beragam, tapi total jenderal efektivitas terapi bioresonansi mencapai 91 persen.
”Terapi dengan metode bioresonansi juga memiliki sejumlah kelebihan, antara lain tidak sakit karena tidak disuntik atau dilukai,” kata Ali, yang juga menjabat Kepala Riset dan Pengembangan Jaringan Bio-E Indonesia—wadah para terapis bioresonansi di Tanah Air. Kelebihan lain, terapi bisa dilakukan untuk semua umur, termasuk bayi hingga manusia lanjut usia; hasil pemeriksaan cepat dan instan; tanpa efek samping karena tidak ada yang dimasukkan ke dalam tubuh; serta jumlah alergen yang diperiksa lebih banyak, yakni lebih dari 100 macam alergen.
Deteksi dan terapi alergi dengan alat bioresonansi telah dikembangkan di Jerman sejak 1987. Kini alat yang ditemukan oleh ilmuwan Hans Brugemann dari Jerman yang kemudian dipopulerkan oleh dokter Peter Schumacher itu sudah diterapkan di lebih dari 50 negara, termasuk Indonesia.
Konsep dasar alat ini mengacu pada pendekatan teori biofisika, yakni setiap materi, termasuk tubuh manusia, memancarkan energi. Energi yang dipancarkan berbentuk gelombang spesifik laiknya gelombang radio dalam frekuensi tertentu. Dalam keadaan normal, sel-sel di dalam tubuh memancarkan gelombang tersebut secara teratur dan seimbang sehingga komunikasi antarsel dapat berjalan dengan baik.
Gelombang itulah yang ditangkap oleh alat bernama biotensor. Fungsi alat ini seperti menguping pembicaraan di radio komunikasi. Paskan gelombang dan dengarkan. Untuk menangkap gelombang itu, ada sebuah ”antena” berbentuk logam bulat seperti parabola dengan diameter sekitar tiga sentimeter yang didekatkan ke tubuh pasien.
Tapi, karena sel-sel itu tidak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, diperlukan cara lain. Sementara ujung alat yang satu didekatkan ke pasien, ujung yang lain didekatkan ke botol-botol mini—lebih kecil sedikit dari jari kelingking. Isinya adalah puluhan alergen (penyebab alergi) yang memiliki frekuensi gelombang berbeda-beda. Jika ”antena” menangkap gelombang alergi tertentu di tubuh pasien, biotensor akan mengangguk-angguk di botol alergen yang bergelombang sama.
Jika pasien menderita alergi terhadap telur, misalnya, biotensor akan mengangguk-angguk saat pendeteksi didekatkan ke botol alergen telur. Itu berarti alat ini menemukan dua frekuensi yang sama. Sebaliknya, jika pasien tidak menderita alergi, biotensor akan menggeleng. Saat Tempo mencobanya di klinik bioresonansi RS Royal Progress, bulatan di ujung biotensor di tangan terapis dokter Panudju Djojoprajitno selalu menggeleng karena tak ditemukan satu pun alergen. ”Hasil yang bagus,” katanya.
Validitas dan sensitivitas alat ini sudah diteliti oleh Djoko Sindhusakti, dokter telinga, hidung, dan tenggorokan asal Solo, dan dinyatakan sama dengan hasil prick test, standar emas untuk mengetes alergi pada tubuh manusia.
Nah, jika alergi sudah ditemukan, kini giliran penyembuhan. Prinsipnya hampir sama, tapi dibalik. Kini mesin yang akan mengirim gelombang agar frekuensi yang sakit dapat terhapus. Untuk memancarkan gelombang ke dalam tubuh, pasien diminta menggenggam logam bulat atau empat persegi panjang yang dihubungkan dengan mesin.
”Alat ini sudah diinstal lebih dari 400 macam ‘obat' berupa frekuensi untuk membantu kesehatan pasien, termasuk menangani alergi,” kata Ali, terapis bersertifikat Bicom, Jerman. Sekali terapi dibutuhkan waktu 15-30 menit. Untuk alergi yang ringan, cukup dengan 2-3 kali terapi. Bagi alergi berat, bisa sampai lima kali atau lebih, seperti dijalani Albaren Simbolon. ”Aku akan coba kalau suatu saat merasa perlu,” kata Titi Sjuman penasaran.
Dengan bioresonansi, Profesor Delfitri Munir, dokter spesialis THT yang juga terapis bioresonansi di RS Gleni Internasional dan RS Materna, optimistis penggunaan obat alergi di Medan akan terus menurun. Ia percaya efektivitas alat ini setelah alergi dan eksem berdiameter tujuh sentimeter di punggung kaki kanan putri pertamanya membaik beberapa saat menjelang pernikahannya. Padahal koleganya sesama dokter sudah angkat tangan. ”Awalnya saya juga tak percaya,” kata Delfitri.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo