Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Mengekstrak Suara Rakyat, Mendengar Suara Tuhan

Percakapan di media sosial tentang para calon Gubernur DKI Jakarta sedang dikuping dua peranti lunak khusus. Karena suara rakyat ibarat suara Tuhan.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN perlu kuping ini.

Ahad dua pekan lalu, Yose Rizal, 34 tahun, memperlihatkan laman Politicawave di Galaxy Note-nya. Itulah kuping untuk presiden, sehingga bisa mendengar suara rakyat dari sumber pertama via sejumlah media sosial di Internet.

”Di social media, suara rakyat ada setiap hari, ada setiap saat,” ujar Yose. ”Mimpi saya adalah pemerintah hingga politikus bisa mendengarkan suara rakyat ini.”

Kuping digitalnya kini sedang dijajal dalam skala yang lebih kecil: menyirap obrol­an publik di Internet soal kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Media sosial yang dipantau di antaranya Twitter, Facebook, forum online, blog, portal online, dan YouTube.

Politicawave bukan satu-satunya penguping digital pada pemilihan DKI-1 dan DKI-2. Telinga lainnya berlabel SX Indeks. Politicawave buatan Mediawave, SX Indeks milik Kelompok Salingsilang.

Bayangkan prospek software semacam ini di masa datang. Di Indonesia ada tak kurang dari 500-an provinsi, kabupaten, dan kota. Paling tidak, per lima tahun, telinga ini bisa digunakan di 500-an pemilihan kepala daerah dan bisa lebih banyak jika pemenang harus ditentukan pada putaran kedua. Ada pula pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah dalam jumlah yang sama.

Roby Muhamad, pakar jejaring sosial dan motor Proyek Dunia Kecil (Small World), mengatakan penggunaan social media monitoring untuk kepentingan politik merupakan perjalanan alamiah dari teknologi media sosial. ”Kalau media sosial hanya untuk bercakap-cakap, lalu apa artinya?” kata pengajar di Universitas Indonesia itu.

Ia menilai media sosial akhirnya bakal memberi ilmu sosial kesempatan untuk melakukan pengamatan perilaku. Hasilnya pun menjadi lebih obyektif. Model yang sama berlaku di ilmu alam. Saat meneliti elektron, maka yang dilakukan adalah mengamati perilaku elektron, demikian juga dengan penelitian virus. ”Perilaku virus diamati, bukan diwawancarai,” kata Roby.

Yose mengungkapkan Politicawave dibuat setelah ia dan kawan-kawannya kehabisan kesabaran setiap kali mendengarkan obrolan tentang media sosial dan politik. ”Pasti yang disodorin studi kasus Obama,” kata lulusan Planologi Institut Teknologi Bandung ini. Padahal jumlah pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia berada di peringkat lima besar dunia. Mereka telah biasa menjadikan jejaring sosial di Internet itu sebagai ”meja diskusi” politik.

Hanya, di media sosial bisa ada sangat banyak suara, tergantung topiknya. Nah, Politcawave membuat suara rakyat itu menjadi terstruktur sehingga mudah dibaca. ”Apa saja pembicaraannya, topiknya apa,” katanya.

Program ini bahkan bisa menangkap sentimen dari percakapan itu, menghitung elektabilitas kandidat, hingga menguji efektivitas kampanye. Adapun incumbent bisa mengukur apakah pekerjaan yang dilakukannya direspons masyarakat. Prinsipnya, semakin banyak yang bicara positif, kian banyak yang suka. ”Kalau negatif berarti ada yang harus diperbaiki,” kata Yose.

Yose yakin suara di media sosial itu merepresentasikan suara rakyat di dunia nyata. Ia mencontohkan, saat Jakarta mengalami pemadaman listrik, linimasa penuh dengan sumpah serapah, demikian pula ketika banjir. ”Jadi sudah tidak ada bedanya social media dengan dunia nyata.”

Toh, ia mengatakan Politicawave tidak dalam posisi memproyeksikan siapa yang bakal memenangi pemilihan Gubernur DKI Jakarta. ”Hanya, kalau merujuk pada Amerika Serikat, tiga dari setiap empat pemilihan gubernur dan senat, yang terpilih adalah yang konsisten dengan yang banyak dibicarakan di Facebook dan social media,” ujarnya.

Yose mengatakan, sebelum membuat Politicawave, timnya di Mediawave telah memiliki program serupa untuk memonitor brand. ”Ini hanya perluasan dari kegunaan media sosial.”

Telkomsel termasuk perusahaan yang menggunakan layanan Mediawave. ”Kami sudah menggunakan perusahaan asing, tapi setelah melihat platformnya, kami memilih menggunakan Mediawave,” kata Head of Digital Media Telkomsel Rizky Muhammad. Rizky mengatakan, melalui platform social media monitoring yang dikembangkan Mediawave, Telkomsel menguji sentimen brand yang dimiliki Telkomsel, seperti Kartu Halo, Simpati, Kartu As, dan Telkomsel Flash.

Toh, program social media monitoring untuk memantau brand dan untuk publik bukan tanpa perbedaan. ”Karakteristiknya berbeda,” katanya. Misalnya, karena monitor brand sifatnya ”business to business”, traffic tidak menjadi masalah. Adapun data Politicawave ditampilkan langsung ke situs web, sehingga bisa saja traffic tiba-tiba melonjak tinggi. Manajemen traffic menjadi soal vital. Adapun cara mengeruk dan mendulang data, menurut Yose, nyaris sama.

Mula-mula sistem menangkap percakapan yang berkaitan dengan pilkada DKI di media sosial. Ada enam sumber suara, termasuk Facebook, tapi sebagian besar dipasok Twitter karena media ini paling aktif. Percakapan itu kemudian diindeks. Hasilnya ditampilkan menjadi data untuk tujuh indikator: Net Sentiment (NS), Net Brand Reputation (NBR), Brand Talkable Favoura­bility (BTF), Earned Media Share of Voice by Sentiment (EMSS), Social Influence Marketing (SIM), Buzz (BZ), dan Unique User (UU).

SX Indeks, yang diluncurkan oleh Salingsilang pada awal April lalu, sejatinya juga merupakan layanan untuk mengukur brand di media sosial. Namun Salingsilang juga meriset topik-topik pembicaraan di luar layanan komersial. ”Termasuk percakapan tentang pemilihan Gubernur DKI Jakarta,” ujar Managing Editor Salingsilang.com Enda Nasution.

Berbeda dengan Politicawave yang langsung menampilkan data dan grafik, SX Indeks menampilkan hasil analisis semata, untuk kemudian dipublikasikan di Salingsilang.com. Risetnya tidak dilakukan secara terus-menerus.

Yose mengatakan ada kesukaran khusus membuat social media monitoring berbasis bahasa Indonesia. Tidak seperti bahasa Inggris, yang mempunyai tata bahasa yang ketat, ujar dia, bahasa Indonesia bisa digunakan dalam banyak variasi tanpa harus mengubah artinya. Apalagi di Twitter, ”Siapa sih yang ngomong EYD di Twitter?” kata Yose.

Penggunaan bahasa alay, singkatan kata, dan ruang 140 karakter tentu saja menjadi pertimbangan. ”Perlu satu setengah tahun untuk mengembangkan perpustakaan bahasa buat menangkap percakapan orang Indonesia di media sosial,” ujar Yose.

Mediawave juga perlu membentuk satu tim khusus yang mempelajari secara terus-menerus perkembangan bahasa Indonesia di media sosial itu. Tim ini di antaranya bertugas mengamati sejumlah kalimat dan frasa dalam beberapa variasi. Ini penting karena tak sedikit tweet yang selintas positif bagi Fauzi Bowo tapi setelah ditelusuri ternyata negatif.

Kicauan itu, misalnya, ”Mari mendukung Fauzi Bowo menjadi mantan gubernur”. ”Kata ‘mendukung' terdengar positif, tapi ternyata mendukung untuk jadi mantan gubernur,” ujarnya.

Yose menyatakan tingkat akurasi social media monitoring berbasis bahasa Inggris bisa mencapai 86 persen. ”Di Politicawave, yang berbahasa Indonesia, kami berusaha 80 persen,” katanya.

Akibat peliknya bahasa Indonesia, tidak sedikit pemain social media monitoring dari luar negeri enggan masuk ke Indonesia. Yose mengaku, sebelum mendirikan Mediawave, ia sempat mengajak perusahaan luar. ”Tapi mereka enggak mau karena bahasa Indonesia ribet,” katanya.

Untunglah ada Mediawave dan Salingsilang. Soalnya, menurut Roby Muhamad, pemantau media sosial membuat media sosial menjadi alat riset baru bagi ilmu sosial, yang selama ini hanya mengandalkan survei dan focus group discussion. Dengan pemantau ini, penelitian ilmu sosial bisa mengandalkan pengamatan, seperti yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmu alam. Ini poin krusial karena, ujar Roby, ”Dalam survei, ada kemungkinan orang tidak menjawab, lupa, atau berbohong.” Padahal suara rakyat ibarat suara Tuhan.

Iqbal Muhtarom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus