Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Mempelajari Kitab Kematian akhirnya membuat saya belajar untuk hidup.”
Ini ucapan Simon Hardiman kepada Zarah Amala, protagonis Dee—nama pena Dewi Lestari—dalam Partikel, novelnya yang terbaru. Semula Zarah merasa sudah berdiri di ujung pencariannya saat menginjak tanah Glastonbury, Inggris. Tapi setelah pertemuannya dengan berbagai tokoh unik, seperti Simon Hardiman dan Hawkeye, serta perkenalannya dengan ”zat asing” bernama Ibogo, Zarah malah terlempar kembali ke Bukit Luhur, ketika segalanya dimulai.
Zarah Amala adalah tokoh Dee yang terbaru, setelah kita mengikuti perjalanan seri Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (2001); Supernova: Akar (2002); dan Supernova: Petir (2004). Tak kurang dari delapan tahun para pembaca setia Dee—yang diringkus oleh kemampuan Dee bernarasi—harus menanti perjalanan berikut seri Supernova ini. Tentu saja di antara delapan tahun itu lahir Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2006), Perahu Kertas (2009), Madre (2011). Tapi Dee, tidak bisa tidak, identik dengan Supernova.
Zarah berarti unsur terhalus dalam setiap benda. Zarah adalah partikel dari buku ini dan dari kehidupan ayahnya yang eksentrik, Firas. Kisah ini diceritakan dalam satu bab panjang dari sudut pandang Zarah dewasa yang mengenang masa kecilnya bersama adiknya, Hara, yang dibesarkan dengan cara yang tak lazim oleh Firas, seorang ilmuwan, ahli botani yang sangat obsesif terhadap jamur, terhadap Bukit Jambul di pinggiran Bogor yang menurut dia pusat segala makhluk hidup yang perlu dipelajari. Bukit itu, menurut Zarah, seolah-olah memiliki ”kekuatan yang menariknya seperti gravitasi” hingga sang ayah bisa menghilang berhari-hari untuk kembali seperti orang linglung yang merepet soal temuan jamur jenis baru yang langka. Keanehan sang ayah tak berhenti di situ. Zarah tak boleh melalui pendidikan formal, karena sekolah biasa malah membodohkan muridnya. Sehari-hari ayahnya mendidik Zarah dengan berbagai ilmu dan metode yang nyeleneh, tapi toh membangun sosok Zarah yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu.
Soal pendidikan dan visi hidup inilah yang selalu menjadi pangkal keributan antara Firas dan istrinya, Aisyah, putri Abah dan Umi, sosok tetua yang sangat dihormati di Kampung Batu Luhur. Pada babak awal ini, Dee menjalin drama keluarga yang berhasil meringkus segenap perhatian pembaca. Firas yang eksentrik, Aisyah yang prototipe putri keluarga religius, dan Zarah seorang anak yang memuja ayahnya bak dewa, yang mengintilnya mempelajari alam sembari menenteng tas yang terbuat dari belacu untuk diisi kerempulan kertas yang ditulisi rumus-rumus atau catatan. Pertengkaran antara Firas dan Aisyah memuncak karena Aisyah berkeras agar Zarah bersekolah seperti anak-anak ”normal” lain dan memiliki sebuah standar pencapaian akademis bernama rapor. Firas yang nyentrik menyerahkan sebuah buku lecek berisi tulisan tangan, diagram, dan sketsa sebagai tanda pencapaian Zarah. Ini adegan paling lucu sekaligus mengandung kepedihan. Zarah, yang menyaksikan pertengkaran orang tuanya ”seperti menonton pertandingan pingpong”, mulai menyadari di masa yang akan datang perbedaan yang mendalam antara ayahnya dan keluarga ibunya akan mencapai titik kulminasi.
Babak selanjutnya adalah sebuah masa berkabung. Zarah mengalami kehilangan yang bertubi-tubi: kehilangan adik bungsunya yang tewas saat lahir dan sang ayah, yang menghilang begitu saja tanpa sisa, entah dilahap binatang jadi-jadian, seperti yang selalu dikatakan orang Desa Batu Luhur, atau memang dia tega meninggalkan keluarganya. Jejak ayahnya berupa jurnal yang berjilid-jilid itu kemudian hangus dimakan api. Zarah runtuh dan hancur berkeping-keping. Separuh jiwanya terbawa bersama ayah yang sangat dicintainya itu. Peristiwa itulah yang melahirkan titik tekad Zarah: dia harus mencari ayahnya, mencari dirinya hingga ke pelosok dunia.
Novel ini menunjukkan kematangan Dee dalam bernarasi. Supernova pertama menampilkan seorang penulis berbakat yang mabuk kepayang pada teori sains, sementara pada sekuel Petir dan Akar, Dee sudah mulai nyaman dan berhasil meramu sains dan drama kehidupan dengan bahasa yang lincah dan cerkas. Pada Partikel, Dee tampil bersinar. Ritme drama dijaga dengan baik, setiap kenaikan emosi para tokohnya dituturkan dengan perhitungan yang matang. Sikap lingkungan Zarah—di sekolah dan di rumah—yang gemar memberinya label (dari ateis, animisme, hingga PKI) karena ”beragama” adalah sesuatu yang paling penting dalam hidup di negeri ini, membuat Zarah menjadi makhluk asing.
Melalui sebuah kamera, Zarah akhirnya menemukan habitatnya. Bekerja di antara para aktivis lingkungan di Tanjung Puting, di bawah pimpinan Inga Domynikas—yang tentu saja merupakan versi fiktif dari tokoh Dr Birute Galdikas—Zarah menemukan ”Bukit Jambul” untuk dirinya. Dia mulai mengulik, menemani, meneliti, dan merangkul seluruh partikel hutan melalui kamera ditemani Sarah, anak orang utan yang senantiasa menggelantung padanya. Di Tanjung Puting inilah Zarah mulai menemukan kendaraan yang bisa membantunya mencari jejak ayahnya, dan jejak ketidaktahuan yang selalu saja mengganggu.
Kameranya kemudian membawa Zarah ke London, ke berbagai negara di Afrika, hingga ke Bolivia di selatan Amerika Serikat—di mana novel ini memulai dirinya—tapi dia masih juga tak menemukan jejak ayahnya. Di antara kisah-kisah sukses karier Zarah sebagai fotografer, kita juga menyaksikan jungkir balik kisah cinta Zarah dewasa. Di sini ada kekhawatiran kita—yang sudah kadung jatuh cinta pada sosok Zarah—bahwa Dee akan terjun pada plot klise: cinta segitiga dan tetek-bengeknya. Ternyata tidak. Dee sudah merencanakan sebuah belokan plot yang tak terduga di London. Kita menghela napas lega. Dan kita melanjutkan pencarian Zarah ke Glastonbury, Inggris, untuk menemui tokoh tak lazim, seperti Simon Hardiman dan Hawkeye, serta zat Ibogo, yang kemudian akhirnya justru membawa Zarah ke sebuah pengalaman yang tak terduga.
Dee sudah menjadi seorang narator ulung yang kita cintai. Penuturan yang memikat; ketepatan dia memilih momen untuk melucu atau mengoyak hati—tak jarang keduanya bisa terjadi pada satu adegan—belum tertandingi penulis Indonesia mana pun yang pernah saya baca. Bahkan sains dan segala penjelasan tentang jamur bisa menyerap sebagai bagian cerita, tanpa gaya Wikipedia (yang agaknya menjadi trend novel masa kini yang dianut novelis lain), tanpa khotbah (yang ini juga sedang digemari banget), dan tanpa menggurui. ”SARA itu apa, PMP itu apa, PKI itu apa” adalah lontaran polos Zarah remaja setiap kali orang di sekelilingnya kelojotan mendengar ucapan-ucapan Zarah yang ”terlalu ilmiah dan rasional” hingga dianggap tak peduli pada agama dan keimanan. Tak mungkin kita tak jatuh hati pada tokoh Zarah. Dee berhasil membuat kita menjadi bagian dari dunianya.
Tentu ada sekelumit masalah dengan tata bahasa yang agak mengganggu. Ada beberapa kata seusai sebuah dialog yang tak boleh digunakan, misalnya tegasnya, terangnya, tandasnya, dan jelasnya, yang masih digunakan Dee. Misalnya, ”I don't like gnome,” tandas Mimi (halaman 151).
Tapi kekuatan Dee bercerita yang membuat buku ini sebagai buku yang paling sulit dilepas dari pegangan tahun 2012—sejauh ini, karena kita masih menginjak bulan Mei—membuat pernak-pernik tata bahasa itu terlupakan.
Bagi mereka yang belum membaca seri Supernova, buku ini masih bisa dinikmati kecuali pada bab-bab akhir ketika Dee mulai memasukkan tokoh Elektra dan Bodhi sebagai penutup. Bab akhir ini menjadi sebuah tanda tanya, karena Dee belum mengaitkannya dengan perjalanan Zarah. Kita, para pembaca fanatik Supernova, masih akan menanti perjalanan Dee berikutnya yang belum selesai.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo