ELLYAS Pical sudah jadi pengusaha. Kini, tak hanya bayaran dari promotor yang ditunggunya. Tapi ada perolehan lain yang ia raih: 30% dari keuntungan bersih penyelenggaraan pertarungannya melawan Lee Dong Chun, 3 Desember ini. Kalau target keuntungan Promotor Anton Sihotang -- 10% dari proposal sebesar Rp 280 juta -- tercapai, Pical akan mendapat tambahan lebih dari Rp 9 juta. Tambahan hasil -- selain bayarannya sebagai petinju sebesar Rp 100 juta -- itu diperoleh Pical karena ia ikut menyetor modal. Pical memanfaatkan uang muka bayarannya Rp 30 juta -- 30% dari nilai kontraknya -- yang mestinya ia terima sesaat setelah kontrak pertandingan ditandatangani, untuk ikut sebagai pemegang saham. Inilah babak baru dunia tinju pro Indonesia: petinju sekaligus penyedia dana pertarungannya sendiri. Usaha semacam ini, bisa jadi, dilakukan karena makin sulitnya mencari investor yang mau -- dan mampu mementaskan adu tinju pro. Toh ada dampak positif yang ingin dicapai. Paling tidak, kata Dali Sofari, diharapkan ada rasa memiliki dari si petinju yang ikut membiayai pertarungannya sendiri. Manajer Ellyas Pical ini tegas-tegas menampik kekhawatiran sebagian orang akan adanya udang di balik batu dari langkah yang dirancangnya itu. "Elly cukup mengerti, kok. Dia tak merasa jadi sapi perah," kata Dali pada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Bagi Anton Sihotang, inilah langkah nyata memberikan penghargaan untuk sang juara dunia. "Selama ini 'kan kita hanya menyanjungnya saja," ujar Dirut PT Sahaton Karya, perusahaan jasa angkutan, ini. Namun, tak seluruhnya kalangan tinju pro setuju dengan langkah itu. "Itu nggak lazim, dan membebani petinju. Dengan begitu, petinju jadi businessman, padahal dia juga olahragawan," ucap Boy Bolang. Boy memang agak kaget dengan proposal Anton yang cuma Rp 280 juta untuk membuat partai tingkat kejuaraan dunia itu. Padahal, ia dulu rata-rata menghabiskan tak kurang dari Rp 350 juta. "Jangan-jangan itu hanya dalih untuk menghindari 300 uang muka yang seharusnya segera dibayar," tuturnya sembari tertawa. Karena itu, kata Boy lagi, fungsi KTI sebagai badan pengawas di sini jadi penting. KTI sendiri -- setelah berbagai sorotan tajam dalam diskusi Tinju Pro yang diselenggarakan TEMPO -- agaknya berhati-hati kali ini. Dihubungi TEMPO pekan lalu, Ketua Harian KTI M. Anwar menolak memberikan komentar soal keterlibatan Pical dalam pendanaan tadi. "Itu hak Elly sendiri," ujar Anwar. Wajar kalau Anwar berpesan demikian. Sebab, kalau promotor rugi, Elly pun akan ikut rugi. Kalau itu terjadi, bisa-bisa akan mematahkan semangat jutawan muda yang baru pertama kali mencoba bisnis sebagai penyedia dana ini. Namun, Anton Sihotang berani menjamin. "Tak akan rugi. Kalaupun rugi, Elly tak akan ikut menanggungnya. Dia hanya ikut menikmati keuntungan." Promotor ini lalu merinci kemungkinan untung itu. Dua hari menjelang pertandingan, karcis sudah 60% terjual. "Itu sudah break even," kata Anton senang. Artinya, sudah terkumpul Rp 360 juta. Ditambah pendapatan dari iklan Rp 20 juta, promotor ini memang boleh berharap menangguk untung yang tidak sedikit. Anton mengaku banyak belajar. Terutama dari Boy Bolang. Dari pengalaman itu, ia berhasil mengirit biaya. Antara lain dengan cara menukar iklan dengan tiket perusahaan penerbangan Singapore Airlines untuk mendatangkan wasit dan Jun dari IBF. Pos lain yang ditekan Anton adalah biaya perjalanan ke luar negeri, biaya teleks dan telepon serta -- tentu saja -- bayaran petinju. Untuk Pical, ia membayar Rp 100 juta dan sekitar Rp 11 juta untuk Lee. Ini jauh lebih murah dibandingkan bayaran Cesar Polanco yang Rp 125 juta dan Rp 30 juta untuk Pical, Juli lalu. Malah, dari dana yang Rp 280 juta itu, Anton menargetkan pengeluaran total tak lebih dari Rp 200 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini