INILAH sebuah kisah tentang seorang "guru", yang nasibnya bagaikan musim di Beijing. Di musim panas, di Beijing, matahari terik, suhu di siang hari bisa di atas 40 derajat Celsius. Sementara di tengah malam musim dingin, bila arus dingin dari Siberia datang bertiup, suhu menurun mendadak, kadang-kadang sampai 20 derajat Celsius di bawah nol. Tak terduganya perubahan suhu itu seperti mencerminkan tak tertebaknya percaturan politik di Negeri Naga Merah ini. Pintu yang dahulu tertutup erat-erat kini terbuka lebar-lebar, mengundang modal asing. Rumah-rumah beratap dengan pekarangan empat persegi, bentuk perumahan tradisional Kota Beijing, banyak yang telah dibongkar. Di bekasnya lalu berdiri gedung-gedung tinggi berbentuk timbunan kotak geretan api, kurang serasi dengan lingkungan keseluruhan. Perubahan-perubahan itu -- atau populer disebut perkembangan -- sungguh cepat berlangsung. Jalan-jalan utama telah dilebarkan berkali-kali. Jembatan-jembatan layang pun telah dibangun di beberapa persimpangan. Toh, kemacetan lalu lintas di pusat-pusat keramaian kota masih tak terhindarkan. Penduduk Kota Beijing tidak dapat tenang-tenang lagi melalui lintas zebra. Jembatan penyeberangan terpaksa dibangun di dekat Kebun Binatang, Xidan dan Chongwenmen, untuk pejalan kaki yang mau menyeberang jalan raya yang penuh taksi yang melaju cepat. Dari jembatan di awang-awang itu, tampaklah panorama perubahan kehidupan di Kota Beijing. Muda-mudi berambut panjang berjalan bergandengan tangan sembari berangkulan, bahkan terkadang berciuman. "Cis, cis, cis . . . ," terdengar suara cemoohan di belakang mereka dari mulut orang-orang tua yang tak senang melihatnya. Pakaian seragam berwarna gelap -- biru tua, hitam, dan abu-abu -- jarang kelihatan lagi. Merah, merah muda dan merah jingga, kuning, kuning muda dan kuning bernyala, putih, dan hitam, kini mewarnai suasana kota. Ya, boleh dikatakan Beijing sekarang sedang berada dalam musim pancawarna dan pancarobanya. Yang ditindas dulu bangkit kini -- termasuk Konfusius atau Konghucu. Sepuluh tahun yang lalu, ajaran "nabi" Konghucu tak ada yang luput dari kritik. Pernah ajaran ini dikritik habis, dihubung-hubungkan dengan nama Deng Xiaoping, Zhou Enlai, dan tokoh-tokoh yang dianggap kontrarevolusi. Sekarang, semuanya dinilai kembali. Pada Juni tahun lalu, di Kota Qufu, Provinsi Shandong, kampung halaman Konfusius, dibuka sebuah simposium yang diikuti 200 sarjana yang datang dari seluruh negeri. Macam-macam pendapat didiskusikan. Pertanyaan yang terasa penting, perlukah ajaran Konfusius dikritik. Kalau nama "nabi" itu beserta ajarannya dipulihkan, bagaimana menjelaskan pengembalian nama baik itu terhadap semboyan "Hancurkan Kelenteng Konfusius!" yang dicanangkan dalam Gerakan 4 Mei lalu? Semboyan yang telah memainkan peranan sejarah dalam revolusi Tiongkok. Bagaimana pula membedakan dua kali pengganyangan terhadap Konfusius -- pertama dalam Gerakan 4 Mei 1919, kedua dalam Revolusi Kebudayaan sekitar 10 tahun lalu? Soal ini sedang ramai diperbincangkan di kalangan sarjana ilmu sosial RRC. Sebagian sarjana sosial berpendapat, kritik terhadap Konfusius selama ini salah sama sekali. Termasuk semboyan dalam Gerakan 4 Mei itu. Sebab, ajaran Konfusius merupakan pusaka warisan yang sangat berharga di khazanah kebudayaan tradisional Cina. Konfusius dan ajarannya perlu diwarisi, bukan dicampakkan. Pendapat kedua tampaknya lebih teliti menimbang. Kata mereka, kelenteng Konfusius harus dihancurkan, karena itu didirikan oleh penguasa dari dinasti feodal. Jadi, merupakan lambang feodalisme. Tanpa menghancurkan kelenteng Konfusius, rakyat Cina tidak bisa bebas dari kekangan feodalisme, tak akan ada Gerakan 4 Mei yang berarti, tak akan ada revolusi baru, dan Cina baru. Karena itu, kalau Konfusianisme mau dipulihkan, unsur feodalnya harus dipisahkan dengan ajaran aslinya. Yang harus dikritik ialah unsur-unsur tambahan yang dimasukkan oleh raja-raja Tiongkok. Ajaran Konfusius itu sendiri memang tidak salah. Dengan penjelasan demikian, Gerakan 4 Mei dibenarkan, dan Revolusi Kebudayaan disalahkan. Kelompok sarjana, ketiga, pun berpendapat bahwa semboyan dalam Gerakan 4 Mei itu tak perlu disalahkan. Tapi, kritik terhadap sebagian ajaran Konfusius juga diperlukan. Kritik Revolusi Kebudayaan terhadap ajaran ini melenceng, karena dihubungkan dengan masalah politik yang tidak ada sangkut-pautnya. Kritik-kritik itu hanya dipakai oleh Komplotan Empat untuk merebut kekuasaan. Simposium di kampung halaman Konfusius itu, toh, akhirnya menerima bulat satu keputusan. Yakni mendirikan badan penelitian ajaran Konfusius. Maka, didirikanlah Yayasan Konfusius, yang berkantor pusat di Kota Qufu. Yayasan ini kini beranggotakan 600 orang, dan punya hubungan dengan sarjana-sarjana di luar RRC. Dampak simposium itu dalam masyarakat luas pun ada. Kemudian, berdiri yang disebut Lembaga Konfusius, yang bermarkas di Kelenteng Konfusius di Jalan Gouzijian, Beijing. Pada 11 Oktober tahun lalu diselenggarakan upacara perayaan ulang tahun ke 2.536 lahirnya sang "nabi". Para hadirin dalam upacara itu kebanyakan tokoh terkemuka dan sarjana kenamaan, sekitar 70 orang. Terpenting di antara hadirin adalah ahli sosiologi kawakan, Liang Shuming, yang sudah berusia 93 tahun. Dan seorang keturunan keluarga Konfusius yang bernama Kong Defan. Dalam upacara itu, Ketua Lembaga Konfusius, profesor filsafat Universitas Beijing, Zhang Dainian, angkat bicara. Ajaran Konfusius, katanya, kecuali dua bagian -- yakni yang merendahkan petani penaman padi dan sayur, dan yang merendahkan wanita semuanya layak diwariskan. Itu disimpulkannya setelah Zhang mengadakan riset mendalam. Sarjana itupun yakin bahwa pembenaran dan penelitian lebih lanjut ajaran Konfusius tentu akan mendorong maju peradaban RRC dan dunia. Pandangan yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Liang Shuming menarik perhatian banyak pengunjung upacara. Menurut Liang, ajaran Konfusius mempunyai keunggulan khusus jika dibandingkan dengan peradaban Barat. Ajaran Konfusius merupakan komponen penting, atau inti, peradaban tradisional Cina. Keunggulan peradaban Barat, kata Liang, ialah mengajar manusia melihat ke luar -- ke luar dari diri sendiri, ke luar dari bumi, untuk menguasai alam semesta. Ini memang penting dan hebat. Tetapi belum cukup, tetap bersifat berat sebelah. Ajaran Konfusius, katanya lebih lanjut mengajar kita melihat ke dalam menihk diri sendiri, menyelami batin, mengadakan mawas diri. Pokoknya, kemudian disepakati oleh para sarjana yang hadir, perlu mengadakan populerisasi ajaran Konfusius di kalangan massa rakyat buruh, tani, dan prajurit untuk memulihkan citra Konfusius yang telah dirusakkan oleh Komplotan Empat. Tahun ini, pada 29 September lalu, diselenggarakan lagi perayaan memperingati hari lahir Konfusius ke-2.537. Acaranya, antara lain, simposium dua hari di Kelenten Konfusius Beijing. Jumlah pengunjung simposium jauh melampaui dugaan. Salah satu pokok pembicaraan yang ramai diperdebatkan ialah anggapan bahwa penelitian tentang ajaran Konfusius itu akan sangat membantu pembangunan empat modernisasi RRC pada dewasa ini. Sejumlah sarjana berpendapat, menanjaknya kriminalitas dan gejala orang-orang muda tidak hormat kepada orang-orang tua sesudah Revolusi Kebudayaan merupakan ekor pencampakan ajaran Konfusius oleh Komplotan Empat. Maka, dianjurkan, ajaran Konfusius tentang balas budi kepada orangtua, khususnya, perlu dipulihkan. Jika ditimbang dari taraf perkembangan ekonomi RRC sekarang, anak-anak bukan saja harus menghormati orangtua mereka, tetapi juga mempunyai kewajiban menanggung ibu bapak mereka yang tak punya pendapatan atau pensiun. Ajaran xiao (balas budi kepada orangtua) Konfusius bukanlah sikap feodalistis. Malah ada yang mengatakan bahwa "dunia semesta milik umum" salah satu pokok Konfusianisme -- itu ide primitif sosialisme. Satu tema lain yang kini populer diperdebatkan, apakah Konfusius mempunyai gagasan supaya rakyat menjadi kaya -- sebagaimana yang dianjurkan oleh Deng Xiaoping, "Biarkan sejumlah kecil orang menjadi kaya lebih dulu, dan kemudian kita kaya bersama." Kebanyakan sarjana memberi jawaban positif. Buktinya, kata mereka, Konfusius pernah mengatakan, "Cukup makan, kuatlah tentara, dan rakyat setia kepada pemerintah". Maksudnya, jika produksi berkembang, pertahanan negara jadi kuat, dan rakyat tidak akan berontak. Begitu simposium usai, bermunculan tulisan di koran dan majalah tentang gagasan Konfusius membikin rakyat jadi kaya ini. Data-data dibeberkan, uraian dibentangkan panjang lebar yang, secara akademis, rasanya, meyakinkan. Tetapi, jika kepada rakyat biasa, umpamanya sopir taksi yang sehari suntuk sibuk memburu foreign exchange, ditanyakan soal itu, mereka cuma akan melongo. Kok, si Konfusius, yang pernah merendahkan kami, kaum buruh, sekarang disanjung-sanjung lagi? Benarkah ia mau membantu kami menjadi kaya? Mustahillah itu. Sebuah lelucon pernah tersebar di kampus Universitas Beijing. Dalam Revolusi Kebudayaan, atas petunjuk Jiang Qing, gembong Komplotan Empat, para dosen dan mahasiswa fakultas filsafat diberi tugas mengkritik tiap perkataan Lun Yu (kumpulan kutipan kata-kata Konfusius). Caranya, dengan membuat catatan kaki di bawah setiap perkataan Konfusius. Kalimat pertama Lun Yu itu, "Betapa girangnya hatiku bila bertemu kembali dengan sahabat yang datang dari tempat jauh ! " Apa salahnya isi kalimat ini? Ini 'kan pernyataan perasaan manusiawi belaka? Setiap orang akan merasa demikian. Bagaimana bisa dihubungkan dengan restorasi sistem lama? Setelah berpikir beberapa hari, satu kata pun belum juga ditulis sebagai catatan kaki kalimat ini. Maka, mahasiswa pergi bertanya kepada dosen-dosen pun bingung, tak tahu apa yang harus dikomentarkan. Akhirnya, sang guru dan mahasiswa sama-sama "berguru" kepada "Tim Propaganda Buruh dan Tentara". Jawab seorang buruh percetakan, anggota tim propaganda tersebut, begini. "Si Konfusius itu siang dan malam mengidam-idamkan restorasi sistem lama, 'kan?" tanya si buruh. "Ya," jawab mahasiswa. "Orang yang menjadi sahabat Konfusius tentu sependirian dengannya, bukan?" "Ya. " "Jadi, mereka bisa berunding bersama-sama merestorasikan sistem lama itu. Betul, tidak?" Itu bukan lelucon bikin-bikinan, tapi hal yang betul-betul terjadi di masa Revolusi Kebudayaan. Padahal, ajaran Konfusius telah banyak dipahami rakyat Cina, seperti "Di antara tiga orang yang berjalan bersama, tentu ada yang bisa menjadi guru saya" "Apa yang tidak disukai diri sendiri jangan dipaksakan kepada orang lain" "Kalau menghendaki bantuan orang lain, harus membantu orang lain lebih dulu" "Tujuan yang ingin kau capai boleh dicapai juga oleh orang lain dengan bantuanmu". Dan semua itu dikritik habis dengan semau-maunya, kritik yang tak masuk akal. Sekarang, justru ajaran Konfusius dihubung-hubungkan dengan empat modernisasi. Bisa dipahami bila banyak orang curiga, politik macam apa lagi kini di jalankan. * * * Pada suatu sore yang cerah, di Beijing. Angin d musim gugur mulai menusuk dingin. Di rumah sarjana yang bernama Guo Lanfang, ruangan terasa hangat. Sinar matahari menembus kaca jendelanya yang bersih. Kami duduk enak dan bercakap-cakap terus. "Apa hubungan ajaran Konfusius dengan empat modernisasi pembangunan kita sekarang?" Satu pertanyaan dlajukan, jawabannya panjan lebar. Menurut Guo, semua ajaran Konfusius dapa disimpulkan dalam empat karakter bahasa Cina yaitu: ren, de, li, dan yi. Ren, sebenarnya, terjemahan tepatnya dalam bahasa Indonesia sulit. Arti kata itu kira-kira lawan dari kekejaman. "Peri kemanusiaan", untuk sementara, dijadikan terjemahannya. Secara lahiriah, makna kata itu terbentuk dari coretan "dua" dan "manusia". Menurut Guo, itulah prinsip yang mendasari hubungan antara dua manusia atau lebih. Salah seorang mahasiswa Konfusius pernah bertanya kepada mahagurunya, "Apa arti sebenarnya ren itu?" Jawab Konfusius, singkat, "Kasih sayang pada manusia." Konfusius memang sangat cinta kepada manusia, lebih-lebih kepada manusia yang berpengetahuan. Selain menjajakan gagasan politiknya kepada raja-raja, Konfusius pun menaruh banyak perhatian pada pendidikan. Ia menerima 3.000 lebih mahasiswa, 72 di antaranya menjadi tokoh terkemuka pada zamannya, dan tidak sedikit yang menjabat menteri kerajaan pada zaman Perang Cina. Tanpa negarawan yang bijaksana, masyarakat tak mungkin terurus baik, hidup rakyat tidak aman, produksi tidak dapat dikembangkan. Bukankah itu sesuai dengan empat modernisasi RRC? Kasih sayang kepada manusia, cinta akan manusia, merupakan inti atau titik tolak ajaran Konfusius. Penelitian tentang ajarannya ini akan membantu RRC mendidik manusia yang berpengetahuan luas, dan berteknik tinggi, tutur Guo. Sementara itu, di luar, sinar matahari telah berubah sudut. De, berarti budi pekerti, susila, atau dengan istilah modern, moral. Untuk mendidik manusia, dua segi harus diperhatikan, yaitu budi pekerti dan pengetahuan. Daripada pengetahuan, rasanya, Konfusius lebih mementingkan moral. Ukuran moral bagi Konfusius ialah setia kepada raja dan menghormati orang tua. Ini moral pada zamannya, belum tentu cocok untuk sekarang. Tetapi, peradaban sekarang tidak bisa dipisahkan dengan peradaban zaman dahulu. Biarpun peradaban zaman feodal atau pada masyarakat kapitalis, berbahaya bila ditafsirkan secara membabi buta. Unsur-unsur yang baik harus diwarisi. Misalnya prinsip setia kepada raja pernah dikritik habis-habisan sebagai ideologi feodalisme. Menurut penjelasan Guo, belum tentu ajaran itu salah seratus persen. Zhuge Liang pada dinasti Tiga Kerajaan dan Yue Fei pada dinasti Song kedua-duanya tokoh sejarah yang dipuji-puji terus oleh rakyat Cina sebagai pahlawan nasional. Mereka berdua setia benar kepada raja mereka, lalu mengapa dicintai juga oleh rakyat? Karena dalam kesetiaan mereka kepada raja itu terdapat pula unsur setia kepada negara dan rakyatnya. Li, tata sopan santun, atau tata tertib. Konfusius sendiri ahli penata macam-macam upacara. Sejak masa mudanya, ia sudah tahu semua tata sopan santun di kalangan bangsawan. Ia mengajar mahasiswanya supaya berbuat sesuatu menurut adat setiap negara. Ajarannya yang termasyhur ialah "Tanpa kesopansantuan, tidak akan mendengar tanpa kesopansantunan, tidak akan melihat tanpa kesopansantunan, tidak akan berbicara dan tanpa kesopansantunan, tidak akan berbuat". Dan kata Konfusius lagi, "Raja, ya, raja menteri, ya, menteri ayah, ya, ayah anak, ya anak." Masing-masing harus memelihara kehormatannya dan memegang kedudukannya, tidak boleh dikacaubalaukan satu sama lainnya. Yi, rasanya, sukar juga mencari sebuah kata imbangan dalam bahasa Indonesia. Kira-kira, arti kata itu, kepercayaan kepada orang lain dan setia kepada sahabat. Semangat ini diperlukan sekali, kata Guo, dalam perniagaan dewasa ini -- baik dalam negeri maupun di luar negeri. Jika kita tidak menepati janji, usaha kita tentu akan gagal. Konfusius setia kepada kawan. Sekali berjanji mesti ditepati. Ini salah satu ajaran Konfusius yang penting, dan merupakan tradisi bangsa Cina pula. "Ambil misalnya adat yang dipegang oleh pendekar-pendekar. Jika berjumpa ketidakadilan, hunuslah pedang dari pinggangku. Untuk sahabat, mati pun aku rela," tutur Guo pula. Cara mewujudkan ren, de, li, dan yi itu adalah mengambil jalan tengah. Dulu, ilmu jalan tengah ini selalu dicap sebagai falsafah kapitulasionis, kompromi dengan musuh. Sekarang, di kalangan sarjana Konfusianisme, jalan tengah ditafsirkan sebagai cara berdamai, menolak ekstremitas, mengalah dengan tidak melepaskan prinsip pokok. Konon, cara menafsirkan ajaran Konfusius di Jepang, begitu mempengaruhi para sarjana RRC. Di Jepang, majikan memberi setiap anak buahnya sejilid Lun Yu Konfusius, agar mereka mempelajari dan mewujudkannya baik-baik dalam perdagangan. Guo, sarjana ahli Konfusianisme, yang menderita sakit jantung, baru pulang dari suatu simposium mengenai salah seorang ahli pikir bernama Guan Zi (Mahaguru Guan). Artikel dan reportase yang dibikinnya, tentang diskusi Konfusianisme pada tahun-tahun belakanan ini. tersebar di koran-koran dan majalah-majalah akademis. Konfusius, seorang ahli pikir yang terbesar dalam sejarah Cina, barangkali juga salah seorang budayawan terbesar dalam sejarah dunia. Ia dilahirkan pada 551 sebelum Masehi, lebih tua lima setengah abad dari Nabi Isa. Ia kira-kira sezaman dengan Sakyamuni, nenek moyang agama Budha di India. Di sini lebih dikenal dengan nama Konghucu. Ejaan bahasa Cina standar sekarang, Kong Fu Zi. Kong, nama keluarganya. Hu Cu (Fu Zi) berarti mahaguru. Nama aslinya, sebagai pemberian orangtuanya, adalah Kong Qiu. Qiu, itu berarti bukit dalam. Ada yang mengatakan, bentuk kepalanya yang mencuat ke atas pada bagian ubun-ubunnya itulah yang menyebabkan orantuanya memberikan nama itu. Cerita semacam ini tidak meyakinkan. Tentang nama itu, ada pula cerita lain. Ibu-bapaknya sudah kawin bertahun-tahun, tetapi masih belum dikaruniai seorang anak juga. Maka, sang ibu pada suatu hari pergi ke Bukit Niqiu dan bersembahyang di sana. Beberapa bulan kemudian, ibu itu hamil, dan melahirkan Konfusius. Karena itu, bayi tersebut diberi nama Qiu -- bunyi yang diambil dari Bukit Niqiu. Pada zaman purbakala, bangsawan Cina biasanya mempunyai dua nama. Demikian pula Konfusius. Qiu ialah nama resminya, sementara Zhongni nama aliasnya. Sebagai negarawan, karier Konfusius tidak begitu sukses. Ia merantau ke mana-mana untuk menjajakan gagasan politiknya. Tapi, cuma Raja Lu (dari Provinsi Shandong sekarang) yang tertarik padanya. Ia diberi jabatan perdana menteri, itu pun hanya dijabatnya 3 bulan saja, sebelum ia dipecat. Tapi, perantauan Konfusius ke 14 negara, menyebarkan ajarannya, memang berhasil. Hal ini hampir tak dibantah oleh siapa pun dalam sejarah Cina. Gelar yang dianugerahkan oleh raja-raja Cina kepada guru ini ialah "mahaguru yang tersuci dan terbijaksana". Gelar inilah yang tertulis di tugu nisan dalam semua kelenteng Konfusius, baik di Cina maupun di luar Cina. Salah satu kebijaksanaan yang populer diingat para orang tua di Cina yakni ketika Konfusius menjawab pertanyaan seorang muridnya tentang mati. "Guru, hidup sesudah mati itu, sebenarnya, bagaimana?" tanya si murid. Jawab sang mahaguru, "Kita ini belum benar-benar memahami soal hidup, bagaimana pula bisa memahami soal mati?" Bila ajaran sang mahaguru bisa disimpulkan menjadi empat kelompok besar, ada empat pula hal yang dilarangnya -- atau lebih tepat, hal yang kepada dirinya sendiri ia gariskan untuk dijauhi. Yakni ia tak bersedia melihat segala sesuatu sebagai yang benar satu-satunya. Ia pun tak ingin berlebih-lebihan dalam segala hal. Ia pantang bersikap keras kepala. Dan sikap mementingkan diri sendiri adalah pantangan keempatnya. Maka, Konfusius diceritakan tak pernah mengutuk siapa pun betapa jahatnya orang itu. Suatu hari, seorang menteri kerajaan bertanya kepadanya tentang cara mengatasi pencuri yang merajalela. "Bila kamu bebas dari rasa ingin memiliki, mereka tak akan mencuri, sekalipun engkau bayar mereka untuk perbuatan itu," jawabnya. Mungkin memang lebih populer ajaran Konfusius tentang moral hubungan perseorangan. Tak berarti, ajaran mahaguru ini tentang kenegaraan dilupakan orang. Bahkan, konon, di zaman rezim Mao, ketika di awal 1950-an Konfusianisme resmi dilarang, sulit "mencuci" pikiran orang dari Konfusianisme. Itu sebabnya, pemerintah lalu cari gampangnya. Bahkan Nyonya Sun Yat Sen, istri tokoh nasionalis Cina, kala berkuasa, menyatakan ajaran ini sebagai "Konfusianisme itu feodalistis dan otokratis dari awal sampai akhir. Karena itu, awaslah terhadap pengaruhnya dalam seni, kesusastraan, ilmu sosial, dan moral kita." Tapi apa sebenarnya yang ditakuti oleh para pemimpin revolusi, dan kemudian oleh rezim Mao? Suatu hari, seorang pejabat negara bertanya kepada Konfusius, rumusan apa yang bisa dipegang oleh seorang pejabat, hingga pemerintahannya bisa selamat. "Tak ada rumusan seperti itu," jawab mahaguru itu. "Tapi yang mendekati yang kau minta memang ada. Yaitu bahwa memang sulit menjadi pangeran atau menteri. Para pejabat yang menyadari makna 'memang sulit menjadi pangeran' itu akan memerintah berbekalkan rumusan yang benar. Kalau begitu, tanya pejabat itu lebih lanjut, adakah rumusan yang mengakibatkan negara ambruk? "Sama saja, tak ada pula rumusan seperti itu. Yang mendekati itu memang ada," katanya. "Yakni, kata orang, tak ada yang lebih menyenangkan seorang pangeran bila apa pun yang dikatakannya tak ditentang baik oleh menteri maupun rakyatnya." Lalu, Konfusius melanjutkan, bila saja memang pangeran itu selalu benar, tak jadi soal. Tapi, bila pangeran itu keliru, dan tak ada yang berani meluruskannya, itulah sumber kejatuhan sebuah negeri. Dan akhirnya tanya seorang pejabat yang lain. Bagaimana sebenarnya seni memerintah itu. "Memerintah adalah jalan lurus," jawabnya. "Bila pemerintahan berjalan lurus, siapakah yang berani mengambil jalan bengkok?" Konon, mahaguru ini didusunnya sehari-hari tampak sangat sederhana dan naif. Ia seperti tak percaya dirinya bisa mengajarkan sesuatu. Tapi bila ia diundang ke istana atau ke kelenteng-kelenteng, Konfusius menjadi fasih. Bahkan, orang mencatat, ia berbicara lemah-lembut dan ramah kepada pejabat-pejabat rendahan. Namun, berbicara dengan pejabat tinggi, sikapnya jadi formal, bicaranya sangat hati-hati. Suatu saat ia menjelaskan sikapnya itu. "Apakah aku berpendapat bahwa aku memiliki kebijaksanaan? Oh, sungguh jauh dari itu. Tetapi bila seorang petani datang kepadaku dengan persoalannya, aku akan mengatakan persoalannya tersebut dari segala segi setuntasnya." Dari sekadar contoh itu tampaknya lalu bisa dimengerti bila Konfusianisme muncul lagi. Sebab, sejumlah orang asing yang tinggal di Cina di masa rezim Mao pun masih melihat jejak-jejak ajaran itu dalam hidup sehari-hari. Konfusianisme, pertama-tama, memang ajaran moral dan falsafah sosial, baru kemudian merupakan teori kenegaraan. Karena itu, agaknya, Intsari ajaran ini sulit sama sekali dimatikan. Mungkin, ia bak akar yang telah merasuk dalam. Hingga bila pohon dan batang-batangnya dibasmi, bila turun hujan, akhirnya akarakar itu akan kembali menumbuhkan pohon-pohon. Bagaimana bisa dilupakan ajaran tentang bagaimana seseorang harus bersikap terhadap kekayaan dan pangkat, kemiskinan dan kejelataan seperti ini? "Kekayaan dan pangkat memang diinginkan setiap orang. Tapi bila itu hanya membawa pemiliknya menuju jalan kesengsaraan, lebih baik ditinggalkan saja. Kemiskinan dan kejelataan adalah hal-hal yang harus dijauhi. Namun, apabila itu tak membawa kamu ke jalan yang rusak, terimalah." Bahkan sebagian besar ajaran Konfusius tentang kenegaraan lebih bersifat ajaran moral. Seorang gubernur baru dari Chu-fu bertanya bagaimana harus memerintah dengan baik. Jawab Mahaguru, "Jangan engkau berhasrat memiliki sesuatu dengan cepat, jangan engaku mencari keuntungan walau sekecil apa pun." Yang pertama, katanya, menyebabkan orang "tak memahami persoalan sepenuhnya". Yang kedua, itulah halangan untuk "menyelesaikan pekerjaan setuntasnya". Sejumlah sarjana yang menekuni Konfusianisme melihat, selalu ada persamaan antara pemerintah yang bijaksana dan kebijaksanaan orang seorang. Demikianlah ajaran ini tersebar luas, "Kata-kata yang bijaksana tak akan begitu mengesankan orang dibandingkan dengan tindakan yang bijaksana. Pemerintah yang bijaksana tidaklah senyata sebuah peraturan yang bijaksana. Memang, pemerintah yang baik ditakuti rakyatnya. Tapi peraturan yang bijaksana tentulah membuat rakyat mencintai pembuatnya." Perbandingannya, "Pemerintah yang baik memperoleh kekayaan dari rakyatnya, peraturan yang bijaksana menyebabkan rakyat memberikan hatinya." Sebuah dialog menarik pernah berlangsung antara Raja Hui dan Meng-tzu, "orang bijaksana" kedua setelah Konfusius, yang melanjutkan ajaran-ajaran Mahaguru. "Adakah bedanya antara membunuh orang dengan pedang dan dengan kayu ?" tanya Meng-tzu. "Tidak," jawab Raja. "Maka, tak juga ada bedanya membunuh dengan pedang atau dengan peraturan negara," ujar Meng-tzu pula. Tentu, seperti sudah jamak diketahui, dari generasi ke generasi diceritakan bahwa Mahaguru sendiri sehari-hari konsekuen melaksanakan ajarannya. Ia, bila memasuki gerbang kota, selalu memberi hormat kepada siapa saja. Bila seseorang meninggal dan ternyata tak lagi memiliki sanak saudara, Konfusiuslah yang kemudian berkata, "Ini kewajibanku, menguburkannya." Memang, Mahaguru tak memperoleh ajarannya dari langit. Sekitar 50 tahun sebelum ia lahir, di Daratan Cina telah lahir seorang bijaksana lain. Dialah Lao-tzu, penegak ajaran Taoisme. Dan kemudian memang tampak, kedua kebijaksanaan itu banyak miripnya. Bila kemudian Taoisme surut, menurut buku The World's Great Religions terbitan Time Incorporated, ajaran Lao-tzu itu kemudian banyak bercampur mistik. Dari sebuah filosofi hidup, Tao lebih banyak bergeser menjadi semacam ramalam-ramalan nasib. Dan Konfusianisme, seperti telah disebutkan, memang kemudian tercampuri pula dengan feodalisme. Itu sebabnya, pertanyaan seberapa otentik Konfusianisme yang kini dibangkitkan lagi di Cina itu adalah pertanyaan yang bisa dipahami. Konfusius, seorang budayawan besar, telah meninggal dunia 2.000 tahun lebih, nasibnya masih terombang-ambing. Sebuah danau yang hingga kini belum diberi nama, di kampus Universitas Beijing, airnya tenang, hampir tak kelihatan beriak. Bayangan pagoda yang berdiri di pinggir danau samar-samar saja menjulang tinggi ke angkasa. Pohon-pohon wilow meliuk-liuk di riak yang lembut itu. Daunnya mulai hijau menguning. Seolah-olah ombak lembut air danau menanyakan apakah Konfusius, yang pernah dipergunakan oleh Komplotan Empat untuk menjatuhkan nama Deng Xiaoping, sekarang mau menebus dosanya membantu Deng membangun empat modernisasi RRC. Jawaban baik "ya" maupun "tidak" sama-sama membuktikan bahwa sebenarnya nama itu memang hidup di dasar masyarakat Cina -- dari masa ke masa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini