SETELAH Panji Reso berhasil mencapai puncak kekuasaan dan mengangkat dirinya menjadi Panembahan, ia pun dibunuh. Ini akhir drama Rendra yang dipentaskan Agustus lalu di Istora Senayan, Jakarta. Namun, di luar panggung, ternyata ceritanya berlanjut. Rendra, yang memerankan Panembahan Reso itu, Kamis pekan lalu menyatakan akan menggugat dua media massa: harian sore Wawasan, yang terbit di Semarang dan Buana Minggu, koran mingguan terbitan Jakarta. Dalam suatu jumpa pers, Rendra dan sejumlah anak buahnya mengumumkan gugatan didampingi Adi Dharmawan, S.H., penasihat hukumnya. "Saya bisa menerima kritik yang kasar, kritik yang keras, yang sinis ataupun yang sarkartis. Semua saya anggap sebagai dorongan berpikir ke arah kemajuan. Tetapi saya akan melawan fitnah yang merusakkan suasana kreatif saya," begitu Rendra membacakan pernyataan terbuka yang diberi judul "Rendra Membantah Fitnah". Bermula dari berita Wawasan 2 Oktober. Di halaman pertama dimuat berita empat kolom, setelah pementasan Panembahan Reso, Rendra ingkar janji membayar honor anak buahnya. Berita ini, dilihat dari bentuk jadinya, merupakan hasil kerja jurnalistik yang cukup baik. Lihat saja. Sejumlah orang Bengkel dikutip namanya sebagai sumber berita. Edi Haryono, pelaksana proyek dalam pementasan Panembahan Reso, dikutip sebagai orang yang memberi informasi bagaimana kisruhnya Rendra mengelola uang. Proposal sudah dibuat secara detail, tetapi Rendra kemudian banyak mengeluarkan uang di luar rencana. Iskandar Jayalana Sabur, pelatih silat. PGB Bangau Putih, Bogor, yang pindah ke Depok untuk mempersiapkan pementasan itu, juga dikutip. "Saya tidak menyangka Rendra berbuat begitu mengecewakan," kata Iskandar, menurut berita itu. "Yang sudah, ya, biarlah berlalu. Tetapi selama tujuh turunan saya tak bakal bergabung lagi dengan Mas Willy." Bramantyo, anggota senior Bengkel, dikutip, "Pokoknya, lidah Mas Willy seperti jurus geseran. Sukar diikuti omongannya." Yang paling banyak dikutip adalah Oso Putro Kalimo (nama aslinya Edy Harioso). Oso inilah yang memberi keterangan bagaimana uang Rp 85 juta yang diterima Rendra dari impresario E. Kurnia Kartamuhari dibagikan secara tidak adil kepada anak Bengkelnya. Berita dari Semarang itu kemudian dikutip Buana Minggu terbitan 12 Oktober. Koran mingguan ini tidak mengembangkan berita Wawasan, tetapi memuatnya utuh. Wawasan, sebagai yang dikutip, tidak ditulisnya lengkap, cuma dicantumkan Ww pada akhir berita, sementara inisial asli di berita Wawasan yakni GJD dihilangkan. Kerja jurnalistik model Buana Minggu ini memang tidak etis, karena pembaca bisa saja menduga ada wartawan Buana Minggu berinisial Ww. Ketika berita ini dimuat, Rendra sedang di Eropa. Yang gusar justru anak buah Rendra yang tetap mangkal di Depok, markas Bengkel Teater sekarang. "Setelah saya mendengar berita di Wawasan itu, saya langsung mengirim surat ke sana meminta klipingnya. Sampai sekarang surat saya tak pernah dibalas," kata Edi Hariono. Akhirnya, memang, ada seorang anak Bengkel -- tak disebutkan namanya -- yang mengirimkan kliping berita itu ke Rendra di Belanda. "Mas Willy sangat kaget membaca berita dari tanah air itu," kata Ken Zuraida, istri Rendra, yang mengikuti suaminya ke Belanda, menuturkan, pekan lalu. Rendra pulang 17 November, langsung menemui anak buahnya di markas yang dikontrak empat tahun di Depok itu -- yang dalam berita seolah-olah rumah ini sudah kosong ditinggal penghuninya. Rendra tentu tak perlu mengusut lagi. Tak ada anggota Bengkel yang merasa diwawancarai wartawan Wawasan. Merasa difitnah, Rendra menghubungi Adi Dharmawan. Menurut Adi, gugatan ini lahir karena ada dua anggota Bengkel yang menulis surat bantahan ke Wawasan, tetapi tak dimuat. Sayang, tak disebutkannya siapa. Selain itu, semua nama yang dikutip Wawasan sebagai sumber berita, lewat pernyataan tertulis, menolak pernah diwawancarai kecuali Oso yang tidak berada di Jakarta. Ada lima orang yang sudah membuat pernyataan tertulis sendiri-sendiri. Lalu ada anggota Bengkel lainnya yang menandatangani pernyataan yang menyebutkan berita itu fitnah. "Kerugian moril ternyata menjadi beban yang tak bisa kami diamkan. Lingkaran persaudaraan kami terasa terganggu sama sekali," tulis pernyataan pendek ini. Akhir pekan lalu sudah 29 anggota Bengkel mendukung pernyataan ini. Benarkah Wawasan mengabaikan hak jawab? Menurut Pemimpin Redaksi Wawasan, Soetjipto, pihaknya belum pernah menerima bantahan dari orang-orang yang namanya dikutip sebagai sumber berita itu. Rendra juga belum mengirimkan bantahan. "Etiknya, Rendra menggunakan hak jawab dulu, dan kami pun akan rnemuatnya," kata Soetjipto. Berita itu diterimanya dari korespondennya di luar Semarang, "yang tahu persis tentang Bengkel". Soetjipto merahasiakan nama dan alamat korespondennya itu. "Saya masih yakin kalau materi berita itu benar," kata Soetjipto. Sambil menyebutkan bahwa dia tak berniat menghancurkan Rendra, pihak Wawasan ingin kasus ini diselesaikan secara musyawarah. "Tapi kalau langsung ke penyelesaian hukum, kami pun menghargai hak Rendra untuk menempuh upaya hukum," kata Soetjipto. Sementara itu, Winoto Parartho, salah seorang penanggung jawab Buana Minggu, mengakui, Wawasan dikutip begitu saja karena Rendra tak ada di tanah air. Akan halnya berita itu dianggap fitnah, "Betul-betul kami tak menduga seperti itu." Buana Minggu pun sampai akhir pekan lalu belum menerima bantahan dari pihak Rendra. Dan Winoto sudah meminta stafnya untuk menghubungi Rendra dan penasihat hukumnya, untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Hasilnya akan dimuat dalam Buana Minggu edisi mendatang. "Soalnya kami tak diundang ketika jumpa pers itu," kata Winoto. Bagaimana kalau kedua penerbitan itu menempuh cara damai? "Itu tergantung Rendra," kata Adi Dharmawan. Sedang Rendra berkata, "Kalau penerbitan itu minta maaf, saya sangat menghargai. Itu namanya integritas. Kalau keliru mengaku keliru. Saya bersimpati sekali." Putu Setia Laporan Moebanoe M. & Musthaf H (Jakarta), Yusro M.S. (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini