SEPULUH tahun silam Yan Soebijanto mengalami guncangan hebat.
Tangan kirinya terbakar petasan karya sendiri, sehingga harus
dipotong. Akibat kejadian itu ia jadi murung dan sedih. "Kalau
ada teman datang, saya sembunyi dalam kamar," kata Yan mengenang
masa lalu.
Kini Yan, 27 tahun, sudah tak merasa rendah diri lagi. Ia bahkan
jadi atlet top. Pada Abilympic, pesta olahraga untuk orang
cacat, di Osaka, akhir Oktober, ia berhasil mengantungi dua
medali emas untuk lari 400 m (53,02 detik) dan lompat jauh (5,96
m). Rekor nasional, atlet sempurna untuk kedua nomor adalah 47,8
detik dan 7,46 m. "Kalau saja diperbolehkan panitia mengikuti
lebih dari dua nomor, saya yakin bisa dapat medali emas lebih
banyak," katanya.
Yan dalam dunia olahraga cacat memang disegani lawan. Tahun 1974
ketika mengikuti ISOD Games di London, ia meraih medali perak
untuk lompat tinggi. Pada Fespic Games II di Australia, 1977,
Yan membawa pulang dua medali emas untuk lari 100 m dan lompat
tinggi. Dalam olympiade cacat 1980 di Belanda, ia mendapat
medali emas untuk bowling rumput. "Sejak kecil saya sudah senang
olahraga," kata Yan.
Di Mojokerto, tempat kelahiran Yan, orang memang sudah
mengenalnya sebagai atlet berbakat. Waktu di bangku SMP ia sudah
menjadi juara loncat tinggi dengan loncatan 171 cm. Yan bersama
Purwono (kini kiper PSSI) pun merupakan tulang punggung
kesebelasan sepakbola di kampungnya sampai datang saat naas
menimpa dirinya.
Tahun 1973 Yan dikirim Dinas Sosial Kodya Mojokerto ke
Rehabilitasi Center (RC) di Solo. Ia tinggal di sana, sambil
belajar jahit-menjahit, selama 1« tahun. Waktu di RC Yan juga
aktif di bidang olahraga. Dan, "kepercayaan pada diri saya pun
tumbuh kembali," kata Yan.
Yan kini hidup dari kepandaiannya menjahit. Hasil jahitannya
banyak disukai orang. Walau pesanan orang banyak, Yan tetap tak
lupa berolahraga. Untuk mempertahankan kondisi fisiknya, Yan
sering minum jamu tradisional Air Mancur atau jamu ramuan
kakeknya. Ia merencanakan menikah selepas mengikuti olympiade
orang cacat di LosAngeles, 1984.
Yang juga berprestasi dari Abilympic adalah Safri Tanjung, 29
tahun. Ia, kaki kanannya buntung di atas lutut, merebut dua
medali emas untuk lari 100 m dan lempar lembing tepat. "Tapi itu
bukan prestasi terbaik saya," katanya.
Safri Tanjung, kelahiran Sumatera Barat, cacat karena tertabrak
kereta api di tahun 1969. Ia diamputasi di Rumah Sakit Gatot
Subroto Jakarta, empat tahun setelah kejadian. Dalam perawatan
perawat di RS itulah mulai berolahraga. Ia menggemari tenis meja
dan atletik.
Tahun 1977 Safri mengikuti seleksi nasional olahraga cacat.
Cabang yang diikutinya: tenis meja, lari, renang, loncat tinggi,
lempar lembing, dan lempar cakram. Prestasinya menonjol sekali
sehingga ia dikirim ke Fespic Games II di Australia. Dari empat
cabang olahraga yang diikutinya, Safri meraih satu medali emas
untuk lempar lembing tepat, dua medali perak untuk tenis meja
dan renang 100 m gaya dada dan satu medali perunggu untuk
lempar cakram.
Safri yang tak mnder dengan keadaan fisiknya, merasa masih saja
diperlakukan sebagai warga kelas dua. Buktinya? "Kalau kami
datang dari luar negeri, disambut pun tidak," katanya. Ia
mengaku merasa iri terhadap pengelueluan atlet normal oleh KONI
maupun masyarakat.
Prestasi menonjol atlet Indonesia dalam Abilympic adalah berkat
pembinaan Yayasan Pembina Olahraga Penderita Cacat (YPOC).
"Dalam membina atlet YPOC, saya tak mengenal titik. Selalu
dengan koma," kata Ketua Umum YPOC Paeran Manurung. Artinya:
sekalipun dengan merangkak, program pembinaan harus jalan.
"Kalau kami punya dana cukup, akan lebih banyak lagi orang cacat
di daerah yang bisa dijangkau," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini