Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ngatiran, Katimun Dan Seonggok Gabah

Untuk menaikkan pendapatan petani, sebaiknya bukan harga beras yang dinaikkan karena rakyat akan gelisah. Sebaiknya harga lain saja yang diturunkan, demikianlah harapan Katimun dan petani lainnya.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PACEKLIK, sebuah kata yang mendirikan bulu roma itu, diramalkan tidak datang lagi tahuri ini. Ngatiran, petani yang memiliki sawah 0,5 ha di Pandaan, Ja-Tim, masih punya simpanan 4 kuintal gabah di senthong-nya. Menghadapi musim tanam seperti saat ini para petani biasanya sudah tidak punya apa-apa lagi--kecuali seonggok gabah untuk bibit. Bulan-bulan berikutnya lebih parah lagi karena harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan. "Menginjak bulan Maret berarti mengkeret dan bulan April berarti sudah brindil," ujar Katimun dari Desa Sukosewu (Blitar). Maksudnya: badan sudah mulai kurus dan harta benda habis terjual. Masa penantian datangnya panen memang terasa lama. "Sekarang, dengan adanya padi unggul ini bulan Maret justru sudah panen," ujar Katimun. Tiga bulan berikutnya sudah ada panen lagi hingga jarak antarmusim panen itu dekat sekali. Karena itulah fluktuasi harga beras tidak begitu berarti. "Perbedaan harga antarmusim itu dulu m0capai 60%" ujar Mubiarto, guru besar dari UGM. "Kini tinggal sekitar 10%." Dari sini pula bermula mengapa lumbung desa tidak lagi populer di kalangan petani. "Sudah tiga tahun ini tidak ada yang mau pinjam padi lumbung," ujar seorang kepala desa di Magetan. Untuk menghilangkan jarak yang kelewat panjang itu ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Tahun 1969 sebenarnya sudah diperkenakan bibit padi jenis unggul bernama PB-5 tapi tidak segera mendapat tempat di hati petani. "Rasa berasnya seperti batu. Keras dan hambar," ujar Ngatiran. Wabah wereng yang melanda Indonesia tahun 1977 kemudian tercatat sebagai masa peralihan total pada penggunaan bibit padi VU IW--meskipun di sana-sini dengan jalan paksaan. Di Klaten, misalnya, berhektar-hektar padi rojolele yang siap panen dibabat petugas dari kabupaten karena dianggap melanggar perintah bupati. Upaya menemukan bibit unggul yang sekaligus enak rasanya akhirnya memang berhasil dalam wujud IR-36. Jenis inilah yang sekarang paling disukai para petani. "Hampir 90% tanaman padi saat ini berupa IR-36," ujar Moeljadi Banoewidjojo, guru besar di Fak. Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Moeljadi melihat kenyataan ini sebagai titik rawan. "Begitu ada wereng yang punya kekuatan menyerang IR-36 keadaan akan sangat fatal," ujarnya. "Perlu jenis padi yang agak heterogen." "Cara cocok tanam sekarang ini memang sudah lain sama sekali," ujar Abdul Rozak dari Rawagempol, Cimalaya (Karawang). Dengan sistem yang baru ini, seperti diakui Rozak, pendapatan petani memang naik. "Tapi kebutuhan hidup juga naik. Untuk bisa membeli sebungkus rokok Gudang Garam ini diperlukan menjual gabah, 2 kg," ujarnya. Tapi Rozak tidak setuju kalau harga dasar gabah dinaikkan dengan alasan untuk menaikkan pendapatan petani. "Kenyataannya kalau harga beras naik rakyat gelisah," ujar petani teladan yang pernah diwawancarai Presiden Soeharto. "Kalau bisa ya harga-harga yang lain saja yang diturunkan." Katimun yang dari Sukosewu juga berpendapat sama. "Membantu petani dengan jalan menaikkan harga dasar bisa dilakukan kalau produksi tiap-tiap petani sudah melebihi keperluan untuk dimakan senduri," katanya. "Kita ini sampai sekarang kan masih saja hidup untuk makan. Bukan makan unluk hidup," ujar petani yang jadi ketua kelompok tani termaju di Kabupaten Blitar. Hidup untuk makan, menurut Katimun berarti seluruh hasil kerjanya hanya cukup untuk makan. "Kalau masih bisa menjual beras sedikit-sedikit itu karena di luar musim tanam mencari penghasilan sampingan," katanya. Kartowiyono, seorang petani di Magetan yang bertetangga dengan Ngatiran tadi, mengaku bekerja sebagai kuli bangunan di saat musim tanam sudah lewat. Tiap hari ia bisa mempaoleh penghasilan Rp 1.000. Sedang pemeliharaan sawah yang 0,5 ha cukup dilakukan oleh istrinya. Kalau terjadi peningkatan pendapatan petani sebagian besar ternyata dari meningkatnya produksi, bukan karena selisih harga yang besar antara ongkos produksi dan harga jual. "Harga pupuk diakui murah, tapi ongkos buruh tani besar sekali," ujar Katimun. Seorang petani, menurut Katimun baru bisa hidup pas-pasan kalau memiliki sedikitnya satu hektar sawah. Setelah menunjukkan hitungan yang njelimet dari sawah satu hektar itu ternyata hanya diperoleh penghasilan Rp 75.000/bulan. Rozak yang di Karawang tadi juga menganggap hasil dari pertanian jauh kalah dibanding dengan usaha lain. Dari tanahnya yang 4 hektar Rozak menghitung secara teliti yang akhirnya diperoleh kesimpulan: sawah seluas itu hanya memberi penghasilan Rp 200 ribu/bulan. "Karena itu saya tidak heran kalau ada orang yang menjual sawahnya untuk dibelikan Colt," katanya. Perhitungan yang dibuat Rozak itu masih belum mencakup kalau terjadi bencana mendadak seperti serangan wereng atau tikus. Di Indonesia belum ada asuransi yang menjamin tanaman pangan seperti di banyak negara lain--meskipun kalau ada juga belum tentu bisa diterima petani. Nasib petani dari desa-desa di Kecamatan Undaan, Kudus (Ja-Teng), lebih jelek lagi. Mereka ini, seperti diceritakan Subakir pada TEMPo hanya bisa menanam padi sekali setahun. Itu pun harus pintar-pintar menghitung datangnya hujan. Ada 546 ha sawah yang posisinya serba sulit: kalau musim hujan terendam berbulan-bulan sedang musim kemarau kekeringan. "Kami baru berani tanam padi kalau air sudah surut. Tapi tidak jarang sebelum padi menguning sudah keburu kekeringan," ujar Subakir. Padahal jumlah petani yang memiliki tanah di atas 2 ha itu kini sudah tergolong langka. Rata-rata pemilikan sawah di Jawa hanya sekitar 0,3 ha. Karena itu tidak heran kalau banyak petani yang kemudian lebih senang menyewakan tanahnya yang sempit itu daripada menggarap sendiri. Jumlah mereka ini ternyata cukup besar sekitar 25%. Mereka ini kemudian memilih kerja serabutan sebagai buruh. Buruh tani meski jumlahnya mcncapai sekitar 30% dari "keluarga besar" petani ternyata punya tarif yang cukup tinggi. Bahkan kalau dibandingkah dengan harga beras maka perbandingan tertinggi terjadi sekarang ini. Dengan upah mencangkul Rp 2.000/ setengah hari, bisa untuk membeli beras 10 kg, seperti diceritakan Gumun, 34 tahun, tetangga Katimun. Tapi harap maklum, kaum buruh tani itu hanya mendapat pekerjaan tiga bulan sekali. "Ya hidup pun jadi pas-pasan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus