MENGHADAPI musim paceklik tahun ini tersiar berita yang bisa
membelalakkan mata. Lebih 1.500 penduduk Kabupaten Gunung Kidul
digambarkan menderita Kemungkinan Kurang Makan (KKM) dan akan
lebih buruk lagi kalau bantuan terlambat datang.
Jumlah yang dikatakan menderita gejala pra-HO itu barangkali
memang tidak besar. Tapi munculnya istilah KKM itu terasa kurang
sedap di tengah mengalirnya laporan produksi pangan yang
melimpah.
Tak kurang dari Presiden Soeharto yang menaruh perhatian. Sabtu
lalu Presiden memanggil Kepala Bulog Bustanil Arifin dan
memerintahkan agar menyiapkan beras 15.000 ton. "Begitu ada
perintah supaya didrop kami sudah siap," ujar Bustanil.
Bagi Bustanil mengalirkan beras sebanyak itu tampaknya hanya
soal kecil. Sampai akhir November lalu cadangan beras yang ada
di gudang-gudang Bulog mencapai 2,8 juta ton -- rekor dalam
sejarah pembentukan stock pangan nasional. Dua juta ton di
antaranya hasil pengadaan dalam negeri. Karena itu kalaupun ada
laporan kekurangan pangan di suau daerah akan dengan mudah
dapat diatasi.
Produksi beras dalam negeri memang meledak-ledak tiga tahun
terakhir ini. "Produksi beras kita sampai hari ini ternyata
mencapai 22,16 juta ton," ujar Menteri Pertanian Soedarsono
Hadisapoetro pada TEMPO Senin lalu. "Padahal produksi tahun 1981
ini menurut ramalan hanya 20 juta ton," tambahnya.
Ini berarti mengalami kenaikan sebanyak 9,5%. Lebih kecil memang
bila dibandingkan dengan kenaikan tahun sebelumnya yang mencapai
13,2%, tapi sangat menggembirakan karena tercapai sudah apa yang
disebut swasembada pangan. Setidaknya swasembada di atas kertas
berdasarkan perhitungan konsumsi beras nasional sekitar 20 juta
ton.
Bulog yang dibentuk antara lain untuk berfungsi sebagai
"hansip"-nya harga beras di pasaran jadi repot dibuatnya.
Instansi yang bertanggungjawab langsung pada Presiden itu
terpaksa menyewa gudang-gudang swasta untuk menampung beras yang
dijual petani, mengingat gudang Bulog sendiri hanya mampu
menyimpan beras 1,9 juta ton. Dan Bulog tidak mungkin menolak
penjualan gabah oleh petani sesuai dengan tugas yang dibebankan
pemerintah padanya.
Di Jember, Jawa Timur, misalnya Bulog menyewa dua buah gudang
tembakau milik PT Gunung Makmur. Di Balong Bendo, Sidoarjo,
bekas gudang tekstil PT Ratatex sekarang penuh juga dengan gabah
Bulog. Demikian juga gudang-gudang kecil milik KUD di beberapa
tempat.
Sewa gudang itu ternyata cukup mahal pula: Rp 10/hari/ton.
Secara gampang, itu berarti Bulog harus membayar Rp 9 juta
setiap hari untuk menyimpan 900 ribu ton beras. Itulah sebabnya
Bulog sudah berketetapan hati untuk membangun gudang baru yang
mampu menampung stock sampai 5 juta ton suatu jumlah yang
dianggap aman untuk cadangan nasional. Sebuah sumber menyebutkan
bahwa pemerintah sudah menyediakan dana Rp 800 milyar untuk
membangun gudang baru berikut tempat pengeringannya. "Tinggal
mencari lokasi yang tampaknya tidak mudah," ujar sumber tadi.
Dengan datangnya musim hujan yang tepat pada waktunya saat ini
ramalan bahwa ledakan produksi beras masih akan terjadi lagi
tampaknya tidak mustahil. "Kalau bisa naik dengan 4,5% lagi saja
sudah cukuplah," ujar seorang pejabat di Bulog dengan nada
rendah. Adakah impor beras akan berakhr tahun depan?
Wallahualam. Yang jelas pemerintah memang sudah menurunkan
jumlah impor beras secara drastis. Tahun 1979 impor itu masih
mencapai 1,9 juta ton, tapi tahun lalu tinggal 1,3 juta ton.
Tahun ini impor diperkirakan tidak lebih dari 500 ribu ton. Ini
sedikit di bawah impor beras untuk 1971. (lihat grafik ).
Pemerintah tampaknya memang tidak tergopoh-gopoh untuk begitu
saja menyetop kran impor. Terjadinya krisis beras yang terburuk
dalam sejarah Orde Baru tahun 1972 banyak dinilai karena
pemerintah terlalu cepat mengurangi impor beras. Waktu itu,
biarpun produksi cukup menggembirakan tapi penumpukan stock baru
mencapai 525 ribu ton. Begitu terjadi kemarau panjang jumlah itu
tidak cukup berarti.
Maka lahirlah berbagai kelompok mahasiswa dengan nama-nama yang
serem. Di Jakarta lahir Komando Penyelamat Perut Rakyat setelah
harga beras membubung sampai empat kali lipat dalam waktu hanya
setengah tahun. Di Yogya ada Gerakan Anti Lapar dan di Bandung
keluar keputusan aneh dari walikota (waktu itu) Otje Djundjunan:
setiap penduduk yang menyimpan beras lebih dari 100 kg harus
memiliki izin.
Dan yang tak mungkin terlupakan adalah terjadinya ular-ularan
panjang yang mengingatkan orang akan zaman pendudukan Jepang
dulu. Orang antre beras di mana-mana.
Krisis itu akhirnya memang bisa diatasi dengan jalan memperbesar
impor beras. Tapi angka impor itu ternyata terus membengkak dari
tahun ke tahun hingga pernah mencapai 1,9 juta ton seperti
terjadi tahun 1979. Sejarah impor beras kita yang dimulai tahun
1847 (dari Saigon, kini Kota Ho Chi Minh) tampaknya mencapai
puncak kejayaannya, 250 tahun kemudian. Indonesiapun dikenal
sebaqai pengimpor beras terbesar di dunia ini antaran produksi
beras dalam negeri tidak cepat menanjak. Tahun 1977 memang
kelihatan agak menggembirakan tapi tiba-tiba datanglah serangan
hama wereng. "Lebih satu juta hektar sawah yang ludes waktu
itu," ujar Bustanil.
Tingkat impor beras itu memang sangat merisaukan dan jadi salah
satu isu terpenting menjelang Pemilu 1977. Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo merasa khawatir impor beras Indonesia akan
mencapai 5 juta ton pada 1985.
Kekhawatiran itu kini tidak lagi merisaukan, mudah-mudahan.
Produksi padi ternyata melewati target. Toh beberapa ahli
pertanian menilai pemerintah harus tetap berjaga-jaga.
"Sementara ini yang terjadi baru peningkatan produksi, bukan
merupakan trend, apalagi sesuatu yang permanen," ujar Dr. Ahmad
Tunggal Birowo, Ketua Perhepi. Senada dengan Birowo adalah Prof.
Mubiarto, guru besar dari UGM. "Peningkatan produksi sebesar ini
jangan diharap terjadi terus. Paling banter hanya berlangsung 5
tahun. Nanti akan mencapai titik optimal," ujarnya.
Keterangan yang lebih terperinci diuraikan oleh Prof. Leon A.
Mears, dalam bukunya yang terbaru, terbitan Gajah Mada
University Press, 1981. Mendalami masalah pertanian di Indonesia
sejak sebelum Orde Baru, lama mengajar di akultas Ekonomi UI,
ahli pertanian yang berasal dari Universitas Stanford, AS, itu
mengingatkan begini " . . . bahwa harapan untuk bisa
berswasembada beras masih sulit, sekalipun produksi mencatat
kenaikan sebesar 10% selama 1981.
Mears, yang dikenal sebagai ahli marketing beras itu, dan
kemudian menjadi konsultan Bulog, mencatat pertumbuhan konsumsi
beras di Indonesia ratarata mencapai 5% setahun sejak 1968.
Sedang pertumbuhan produksi beras setahun rata-rata dalam
periode yang sama mencapai 4%. Untuk bisa memenuhi kebutuhan
sendiri, maka kenaikan produksi beras di Indonesia, menurut
profesor yang jangkung itu, harus berkisar antara 6,6 sampai
6,8% setahun, mulai 1980 sampai akhir Repelita III di tahun
1983.
POLA tanam yang dianut petani sendiri sebenarnya memang sudah
bisa mendukung peningkatan produksi pangan. Tapi ketergantungan
terhadap baik-buruknya musim masih besar pula. Selama tiga tahun
terakhir ini iklim sangat menggembirakan.
Di luar faktor musim itU para ahli mencatat secara khusus jasa
petani dalam kenaikan produksi yang menyolok dalam dua tahun
ini. Program intensifikasi misalnya diterima petani lebih cepat
dari yang diperkirakan. "Sekarang sudah 67% tanaman padi digarap
secara intensifikasi," kata A.T. Birowo. Bahkan seperti
dikatakan Gubernur Ja-Tim Soenandar Prijosoedarmo, dalam musim
tanam akan datang ini seluruh sawah di Ja-Tim sudah digarap
dengan sistem Intensifikasi Khusus.
Sistem yang terbaru dalam penanaman padi ini--sebelum itu ada
Bimas dan Inmas -- rupanya lebih memikat para petani. Antara
lain karena pemerintah memberikan premi Rp 3/kg bagi petani yang
bersedia menanam padi dengan sistem Insus. Birowo maupun
Mubiarto sepakat Insus ini merupakan sistem yang terbaik sampai
saat ini. "Dengan penggarapan secara berkelompok bisa lebih
efisien. Daripada petani yang hanya punya sawah 0,3 ha itu
menggarap tanahnya sendiri-sendiri," ujar Birowo. "Ini termasuk
salah satu pemecahan akibat semakin sempitnya luas garapan
petani," kata Gubernur Soenandar. Di segi lain dengan sistem
Insus ini pemberantasan terhadap hama bisa efektif karena
dilakukan secara serentak. Kini tinggal 0,2% padi yang diganggu
hama wereng hijau. Sedang yang beberapa tahun lalu dlkenal sadis
adalah wereng cokelat.
Intensifikasi tampaknya memang masih diharapkan sebagai faktor
tcrpenting dalam peningkatan produksi. Ini mengingat sulitnya
melakukan perluasan areal sawah terutama di Iyar Jawa. Di
beberapa daerah subur memang sudah dicapai angka produksi sampai
6 ton/ha tapi kalau diambil rata-rata secara nasional baru
mencapai 3 ton/ha. "Masih bisa kita lipatduakan. Di Korea,
misalnya, bisa 4 ton/ha dan di Jepang 6 ton/ha," ujar Prof. Dr.
Ahmad Memet Satari, 47 tahun, Staf Ahli Menmud Urusan Produksi
Pangan. "Padahal apalah tanah di Korea itu. Dangkal dan
berbatu," ujarnya.
Salah satu unsur terpenting dalam intensifikasi sudah barang
tentu tersedianya pupuk dalam jumlah yang cukup. Saat ini
pemakaian pupuk oleh petani memang sudah mendekati syarat ideal
yang diharapkan Departemen Pertanian: 2 kuintal urea tiap
hektar. Tahun 1971 misalnya rata-rata penggunaan pupuk urea per
hektar baru 140 kg.
Karena itu banyak yang mengkhawatirkan bila rencana pemerintah
untuk secara perlahan-lahan menghapuskan subsidi pangan itu
dimulai dari penghapusan subsidi pupuk, seperti yang
diisyaratkan Bustanil pekan lalu. Harga jual pupuk pada petani
saat ini hanya Rp 70/kg, jauh di bawah harga di pasaran bebas
yang berkisar antara Rp 120 sampai Rp 125/kg.
Dengan selisih harga sebesar itu seorang petani yang punya satu
hektar sawah, misalnya, akan mendapat subsidi pupuk sekitar Rp
14.000--cukup berarti untuk menekan biaya produksi. Subsidi
pupuk itu masih dianggap begitu penting mengingat harga dasar
gabah yang ditetapkan pemerintah saat ini belum sebanding dengan
harga kebutuhan lainnya. "Subsidi pupuk harus kita pertahankan,"
tegas Prof. Mubiarto, guru besar FE UGM.
Ahli ekonomi pertanian yang baru saja populer dengan konsep
ekonomi Pancasila itu bahkan mengusulkan agar subsidi pupuk itu
diperbesar. "Toh sektor industri juga menerima subsidi yang
jumlahnya mungkin justru lebih besar," ujarnya. Misalnya dalam
bentuk keringanan bea masuk berbagai mesin dalam rangka PMA
maupun PMDN. "Penghapusan subsidi pupuk bisa berakibat
menurunnya penggunaan pupuk oleh petani yang mengakibatkan
merosotnya jumlah produksi," tukas Mubiarto pula. Dalam APBN
1980/1981 subsidi pupuk tercatat Rp 212,5 milyar. Dan dalam
RAPBN 1981/1982 menjadi hampir Rp 314 milyar, naik sebanyak 48
persen.
"Bisa saja subsidi pupuk dihapuskan dengan imbalan harga dasar
gabah dinaikkan," ujar Prof. Dr. Moeljadi Banoewidjojo, guru
besar Fak. Pertanian Universitas Brawijaya Malang yang juga
salah seorang staf ahli Bimas. "Hanya susahnya setiap harga
dasar padi dinaikkan harga barang-barang lainnya ikut naik.
Dengan demikian kenaikan pendapatan petanl yang diharapkan tidak
tercapai," katanya pula. "Beginilah ciri-ciri ekonomi beras yang
merupakan ciri ekonomi Indonesia."
Memang masih ada alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani
tanpa harus menaikkan harga dasar maupun memperbesar subsidi
pupuk. Yakni dengan memberikan premi seperti yang diberikan
pada petani Insus sekarang ini."Tapi premi Rp 3/kg sekarang ini
hampir tidak ada artinya. Tidak pantas untuk dijadikan isu
nasional," ujar Mubiarto. "Apalagi lantaran persyaratan
administraslnya yang panjang premi itu baru bisa direalisasikan
beberapa bulan kemudian."
Seorang petani Insus dengan sawah 0,5 ha, misalnya, paling
banter hanya memperoleh premi sekitar Rp 5.000. Ini berari
lebih kecil dibandingkan kalau harus membeli pupuk yang tidak
disubsidi. Mengingat pentingnya program Insus ini sebuah sumber
TEMPO menyebutkan tidak berlebihan kalau premi itu justru
dinaikkan menjadi Rp 10/ kg. Ini dilihat dari kenyataan bahwa
dari pengadaan pangan dalam negeri itu ternyata Bulog juga
memungut keuntungan. "Belum lagi dilihat dari penghematan devisa
yang bisa dibilang sebagai subsidi Yang diberikan petani kepada
pemerintah," kata sumber tersebut.
Seorang pejabat di Bulog mengakui bahwa dari pengadaan pangan
dalam negeri bisa diperoleh keuntungan. "Dari pembelian di Jawa
Timur saja (hampir satu jua ton) Bulog bisa untung Rp 1,5
milyar dan dari Jawa Barat surplus sekitar Rp 1 milyar," ujar
pejabat tadi. "Tapi harus diingat bahwa untuk operasi pasar di
daerah-daerah yang minus seperti Irian dan Kalimantan, Bulog
rugi."
Dari sinilah rupanya mengapa Bulog berani memberikan selisih
harga yang cukup besar untuk keuntungan KUD. Saat ini Bulog
harus membeli beras dari KUD Rp 195/kg tapi kalau membeli dari
swasta non-KUD hanya Rp 191,5/ kg. Kalau dalam bentuk gabah
Bulog harus membayar pada KUD Rp 128/kg sedang dari non-KUD Rp
123,5/kg.
Sayangnya selisih harga yang begitu besar masih belum bisa
diraih KUD seluruhnya. Di atas kertas pengadaan pangan dalam
negeri yang sekarang (sekitar 2 juta ton itu) 99% berasal dari
KUD. Bukan rahasia, sekitar 50% di antaranya berupa beras
swasta. Beras itu distempel dulu oleh KUD sehingga harga KUD-lah
yang harus dibayar oleh Bulo.. Seorang pengurus KUD di Prambon,
Ja-Tim, mengakui hanya dengan meminjamkan stempelnya seperti itu
KUD mendapat bagian Rp 2,5. Ini berarti si swasta ikut menikmati
"selisih harga" milik KUD itu sebesar Rp 1,5/kg. "Sama-sama
untunglah," ujar pengurus KUD tadi.
Tapi secara berangsur KUD sendiri akan ditingkatkan hingga punya
fasilitas yang cukup, terutama untuk penjemuran dan
penggilingan. Tahun ini mulai dibangun 1.235 GLK (Gudang, Lantai
dan Kios) di seluruh Indonesia dengan biaya Rp 30 juta/GLK.
"Dengan sarana ini kemampuan KUD bisa lebih meningkat lagi,"
ujar H.L. Gaol, Ketua Direksi proyek GLK. Gudang-gudang kecil di
KUD ini juga sekaligus berfungsi sebagai cadangan, kalau saja
produksi beras bakal memecahkan rekor lagi di tahuntahun
mendatang.
Bermacam-macam upaya telah dicoba oleh pemerintah sejak tahun
1967 untuk menjaga agar kebutuhan perut rakyat Indonesia itu
terpenuhi. Selain menganjurkan agar orang mengurangi makan nasi,
pemerintah bahkan pernah menyetujui rencana pembuatan beras
sintetis --alias beras Tekad, campuran ketela, kacang dan
kedelai -- oleh PI Mantrust. Tapi belum lagi sempat m
masyarakatkan produksinya, sudah datang pula perintah baru
distop saja.
Kini hasil produksi padi boleh dibilang menimbulkan rasa aman.
"Kalau harus disimak andil siapa yang terbesar maka harus dibagi
sama antara tersedianya pengairan yang cukup, pupuk yang
melimpah, bibit unggul yang tahan wereng dan sistem yang semakin
terpadu," ujar Mubiarto.
Semua itu, seperti kata seorang anak buah Menko Ekuin, akan
semakin mantap bila sistem bagi-hasil di pedesaan bisa
dilaksanakan. Undang-undangnya sudah ada, yakni UU Pokok Agraria
1960, yang mengharuskan pembagian fifty-fifty antara petani
pemilik yang tak mengolah sawahnya sendiri dengan penyewa
(pemaroh). Pembagian itu pun seharusnya sudah dipotong semua
biaya.
Sulitnya, dalam praktek, pemilik sawah itu berada dalam posisi
yang jauh lebih kuat. "Pemaroh meskipun hanya diberi sepertiga
dari hasil sawah, yang menurut saja, karena tak ada pilihan
yang lain," kata seorang pejabat pertanian. Kalau yang diterima
oleh para penyewa tanah itu sudah banyak berkurang, apalagi yang
diterima oleh para buruh-tani. Barisan yang terakhir ini
kabarnya masih hidup secara pas-pasan di tengah rekor produksi
padi sekarang. (lihat box).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini