Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Antara Impor Dan Swasembada

Produksi besar mengalami kenaikan, untuk menampung stock yang melimpah-Bulog menyewa gudang-gudang swasta dan pemerintah menurunkan jumlah impor beras. Pola tanam yang dianut petani peningkatan produksi. (eb)

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHADAPI musim paceklik tahun ini tersiar berita yang bisa membelalakkan mata. Lebih 1.500 penduduk Kabupaten Gunung Kidul digambarkan menderita Kemungkinan Kurang Makan (KKM) dan akan lebih buruk lagi kalau bantuan terlambat datang. Jumlah yang dikatakan menderita gejala pra-HO itu barangkali memang tidak besar. Tapi munculnya istilah KKM itu terasa kurang sedap di tengah mengalirnya laporan produksi pangan yang melimpah. Tak kurang dari Presiden Soeharto yang menaruh perhatian. Sabtu lalu Presiden memanggil Kepala Bulog Bustanil Arifin dan memerintahkan agar menyiapkan beras 15.000 ton. "Begitu ada perintah supaya didrop kami sudah siap," ujar Bustanil. Bagi Bustanil mengalirkan beras sebanyak itu tampaknya hanya soal kecil. Sampai akhir November lalu cadangan beras yang ada di gudang-gudang Bulog mencapai 2,8 juta ton -- rekor dalam sejarah pembentukan stock pangan nasional. Dua juta ton di antaranya hasil pengadaan dalam negeri. Karena itu kalaupun ada laporan kekurangan pangan di suau daerah akan dengan mudah dapat diatasi. Produksi beras dalam negeri memang meledak-ledak tiga tahun terakhir ini. "Produksi beras kita sampai hari ini ternyata mencapai 22,16 juta ton," ujar Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro pada TEMPO Senin lalu. "Padahal produksi tahun 1981 ini menurut ramalan hanya 20 juta ton," tambahnya. Ini berarti mengalami kenaikan sebanyak 9,5%. Lebih kecil memang bila dibandingkan dengan kenaikan tahun sebelumnya yang mencapai 13,2%, tapi sangat menggembirakan karena tercapai sudah apa yang disebut swasembada pangan. Setidaknya swasembada di atas kertas berdasarkan perhitungan konsumsi beras nasional sekitar 20 juta ton. Bulog yang dibentuk antara lain untuk berfungsi sebagai "hansip"-nya harga beras di pasaran jadi repot dibuatnya. Instansi yang bertanggungjawab langsung pada Presiden itu terpaksa menyewa gudang-gudang swasta untuk menampung beras yang dijual petani, mengingat gudang Bulog sendiri hanya mampu menyimpan beras 1,9 juta ton. Dan Bulog tidak mungkin menolak penjualan gabah oleh petani sesuai dengan tugas yang dibebankan pemerintah padanya. Di Jember, Jawa Timur, misalnya Bulog menyewa dua buah gudang tembakau milik PT Gunung Makmur. Di Balong Bendo, Sidoarjo, bekas gudang tekstil PT Ratatex sekarang penuh juga dengan gabah Bulog. Demikian juga gudang-gudang kecil milik KUD di beberapa tempat. Sewa gudang itu ternyata cukup mahal pula: Rp 10/hari/ton. Secara gampang, itu berarti Bulog harus membayar Rp 9 juta setiap hari untuk menyimpan 900 ribu ton beras. Itulah sebabnya Bulog sudah berketetapan hati untuk membangun gudang baru yang mampu menampung stock sampai 5 juta ton suatu jumlah yang dianggap aman untuk cadangan nasional. Sebuah sumber menyebutkan bahwa pemerintah sudah menyediakan dana Rp 800 milyar untuk membangun gudang baru berikut tempat pengeringannya. "Tinggal mencari lokasi yang tampaknya tidak mudah," ujar sumber tadi. Dengan datangnya musim hujan yang tepat pada waktunya saat ini ramalan bahwa ledakan produksi beras masih akan terjadi lagi tampaknya tidak mustahil. "Kalau bisa naik dengan 4,5% lagi saja sudah cukuplah," ujar seorang pejabat di Bulog dengan nada rendah. Adakah impor beras akan berakhr tahun depan? Wallahualam. Yang jelas pemerintah memang sudah menurunkan jumlah impor beras secara drastis. Tahun 1979 impor itu masih mencapai 1,9 juta ton, tapi tahun lalu tinggal 1,3 juta ton. Tahun ini impor diperkirakan tidak lebih dari 500 ribu ton. Ini sedikit di bawah impor beras untuk 1971. (lihat grafik ). Pemerintah tampaknya memang tidak tergopoh-gopoh untuk begitu saja menyetop kran impor. Terjadinya krisis beras yang terburuk dalam sejarah Orde Baru tahun 1972 banyak dinilai karena pemerintah terlalu cepat mengurangi impor beras. Waktu itu, biarpun produksi cukup menggembirakan tapi penumpukan stock baru mencapai 525 ribu ton. Begitu terjadi kemarau panjang jumlah itu tidak cukup berarti. Maka lahirlah berbagai kelompok mahasiswa dengan nama-nama yang serem. Di Jakarta lahir Komando Penyelamat Perut Rakyat setelah harga beras membubung sampai empat kali lipat dalam waktu hanya setengah tahun. Di Yogya ada Gerakan Anti Lapar dan di Bandung keluar keputusan aneh dari walikota (waktu itu) Otje Djundjunan: setiap penduduk yang menyimpan beras lebih dari 100 kg harus memiliki izin. Dan yang tak mungkin terlupakan adalah terjadinya ular-ularan panjang yang mengingatkan orang akan zaman pendudukan Jepang dulu. Orang antre beras di mana-mana. Krisis itu akhirnya memang bisa diatasi dengan jalan memperbesar impor beras. Tapi angka impor itu ternyata terus membengkak dari tahun ke tahun hingga pernah mencapai 1,9 juta ton seperti terjadi tahun 1979. Sejarah impor beras kita yang dimulai tahun 1847 (dari Saigon, kini Kota Ho Chi Minh) tampaknya mencapai puncak kejayaannya, 250 tahun kemudian. Indonesiapun dikenal sebaqai pengimpor beras terbesar di dunia ini antaran produksi beras dalam negeri tidak cepat menanjak. Tahun 1977 memang kelihatan agak menggembirakan tapi tiba-tiba datanglah serangan hama wereng. "Lebih satu juta hektar sawah yang ludes waktu itu," ujar Bustanil. Tingkat impor beras itu memang sangat merisaukan dan jadi salah satu isu terpenting menjelang Pemilu 1977. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo merasa khawatir impor beras Indonesia akan mencapai 5 juta ton pada 1985. Kekhawatiran itu kini tidak lagi merisaukan, mudah-mudahan. Produksi padi ternyata melewati target. Toh beberapa ahli pertanian menilai pemerintah harus tetap berjaga-jaga. "Sementara ini yang terjadi baru peningkatan produksi, bukan merupakan trend, apalagi sesuatu yang permanen," ujar Dr. Ahmad Tunggal Birowo, Ketua Perhepi. Senada dengan Birowo adalah Prof. Mubiarto, guru besar dari UGM. "Peningkatan produksi sebesar ini jangan diharap terjadi terus. Paling banter hanya berlangsung 5 tahun. Nanti akan mencapai titik optimal," ujarnya. Keterangan yang lebih terperinci diuraikan oleh Prof. Leon A. Mears, dalam bukunya yang terbaru, terbitan Gajah Mada University Press, 1981. Mendalami masalah pertanian di Indonesia sejak sebelum Orde Baru, lama mengajar di akultas Ekonomi UI, ahli pertanian yang berasal dari Universitas Stanford, AS, itu mengingatkan begini " . . . bahwa harapan untuk bisa berswasembada beras masih sulit, sekalipun produksi mencatat kenaikan sebesar 10% selama 1981. Mears, yang dikenal sebagai ahli marketing beras itu, dan kemudian menjadi konsultan Bulog, mencatat pertumbuhan konsumsi beras di Indonesia ratarata mencapai 5% setahun sejak 1968. Sedang pertumbuhan produksi beras setahun rata-rata dalam periode yang sama mencapai 4%. Untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri, maka kenaikan produksi beras di Indonesia, menurut profesor yang jangkung itu, harus berkisar antara 6,6 sampai 6,8% setahun, mulai 1980 sampai akhir Repelita III di tahun 1983. POLA tanam yang dianut petani sendiri sebenarnya memang sudah bisa mendukung peningkatan produksi pangan. Tapi ketergantungan terhadap baik-buruknya musim masih besar pula. Selama tiga tahun terakhir ini iklim sangat menggembirakan. Di luar faktor musim itU para ahli mencatat secara khusus jasa petani dalam kenaikan produksi yang menyolok dalam dua tahun ini. Program intensifikasi misalnya diterima petani lebih cepat dari yang diperkirakan. "Sekarang sudah 67% tanaman padi digarap secara intensifikasi," kata A.T. Birowo. Bahkan seperti dikatakan Gubernur Ja-Tim Soenandar Prijosoedarmo, dalam musim tanam akan datang ini seluruh sawah di Ja-Tim sudah digarap dengan sistem Intensifikasi Khusus. Sistem yang terbaru dalam penanaman padi ini--sebelum itu ada Bimas dan Inmas -- rupanya lebih memikat para petani. Antara lain karena pemerintah memberikan premi Rp 3/kg bagi petani yang bersedia menanam padi dengan sistem Insus. Birowo maupun Mubiarto sepakat Insus ini merupakan sistem yang terbaik sampai saat ini. "Dengan penggarapan secara berkelompok bisa lebih efisien. Daripada petani yang hanya punya sawah 0,3 ha itu menggarap tanahnya sendiri-sendiri," ujar Birowo. "Ini termasuk salah satu pemecahan akibat semakin sempitnya luas garapan petani," kata Gubernur Soenandar. Di segi lain dengan sistem Insus ini pemberantasan terhadap hama bisa efektif karena dilakukan secara serentak. Kini tinggal 0,2% padi yang diganggu hama wereng hijau. Sedang yang beberapa tahun lalu dlkenal sadis adalah wereng cokelat. Intensifikasi tampaknya memang masih diharapkan sebagai faktor tcrpenting dalam peningkatan produksi. Ini mengingat sulitnya melakukan perluasan areal sawah terutama di Iyar Jawa. Di beberapa daerah subur memang sudah dicapai angka produksi sampai 6 ton/ha tapi kalau diambil rata-rata secara nasional baru mencapai 3 ton/ha. "Masih bisa kita lipatduakan. Di Korea, misalnya, bisa 4 ton/ha dan di Jepang 6 ton/ha," ujar Prof. Dr. Ahmad Memet Satari, 47 tahun, Staf Ahli Menmud Urusan Produksi Pangan. "Padahal apalah tanah di Korea itu. Dangkal dan berbatu," ujarnya. Salah satu unsur terpenting dalam intensifikasi sudah barang tentu tersedianya pupuk dalam jumlah yang cukup. Saat ini pemakaian pupuk oleh petani memang sudah mendekati syarat ideal yang diharapkan Departemen Pertanian: 2 kuintal urea tiap hektar. Tahun 1971 misalnya rata-rata penggunaan pupuk urea per hektar baru 140 kg. Karena itu banyak yang mengkhawatirkan bila rencana pemerintah untuk secara perlahan-lahan menghapuskan subsidi pangan itu dimulai dari penghapusan subsidi pupuk, seperti yang diisyaratkan Bustanil pekan lalu. Harga jual pupuk pada petani saat ini hanya Rp 70/kg, jauh di bawah harga di pasaran bebas yang berkisar antara Rp 120 sampai Rp 125/kg. Dengan selisih harga sebesar itu seorang petani yang punya satu hektar sawah, misalnya, akan mendapat subsidi pupuk sekitar Rp 14.000--cukup berarti untuk menekan biaya produksi. Subsidi pupuk itu masih dianggap begitu penting mengingat harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah saat ini belum sebanding dengan harga kebutuhan lainnya. "Subsidi pupuk harus kita pertahankan," tegas Prof. Mubiarto, guru besar FE UGM. Ahli ekonomi pertanian yang baru saja populer dengan konsep ekonomi Pancasila itu bahkan mengusulkan agar subsidi pupuk itu diperbesar. "Toh sektor industri juga menerima subsidi yang jumlahnya mungkin justru lebih besar," ujarnya. Misalnya dalam bentuk keringanan bea masuk berbagai mesin dalam rangka PMA maupun PMDN. "Penghapusan subsidi pupuk bisa berakibat menurunnya penggunaan pupuk oleh petani yang mengakibatkan merosotnya jumlah produksi," tukas Mubiarto pula. Dalam APBN 1980/1981 subsidi pupuk tercatat Rp 212,5 milyar. Dan dalam RAPBN 1981/1982 menjadi hampir Rp 314 milyar, naik sebanyak 48 persen. "Bisa saja subsidi pupuk dihapuskan dengan imbalan harga dasar gabah dinaikkan," ujar Prof. Dr. Moeljadi Banoewidjojo, guru besar Fak. Pertanian Universitas Brawijaya Malang yang juga salah seorang staf ahli Bimas. "Hanya susahnya setiap harga dasar padi dinaikkan harga barang-barang lainnya ikut naik. Dengan demikian kenaikan pendapatan petanl yang diharapkan tidak tercapai," katanya pula. "Beginilah ciri-ciri ekonomi beras yang merupakan ciri ekonomi Indonesia." Memang masih ada alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani tanpa harus menaikkan harga dasar maupun memperbesar subsidi pupuk. Yakni dengan memberikan premi seperti yang diberikan pada petani Insus sekarang ini."Tapi premi Rp 3/kg sekarang ini hampir tidak ada artinya. Tidak pantas untuk dijadikan isu nasional," ujar Mubiarto. "Apalagi lantaran persyaratan administraslnya yang panjang premi itu baru bisa direalisasikan beberapa bulan kemudian." Seorang petani Insus dengan sawah 0,5 ha, misalnya, paling banter hanya memperoleh premi sekitar Rp 5.000. Ini berari lebih kecil dibandingkan kalau harus membeli pupuk yang tidak disubsidi. Mengingat pentingnya program Insus ini sebuah sumber TEMPO menyebutkan tidak berlebihan kalau premi itu justru dinaikkan menjadi Rp 10/ kg. Ini dilihat dari kenyataan bahwa dari pengadaan pangan dalam negeri itu ternyata Bulog juga memungut keuntungan. "Belum lagi dilihat dari penghematan devisa yang bisa dibilang sebagai subsidi Yang diberikan petani kepada pemerintah," kata sumber tersebut. Seorang pejabat di Bulog mengakui bahwa dari pengadaan pangan dalam negeri bisa diperoleh keuntungan. "Dari pembelian di Jawa Timur saja (hampir satu jua ton) Bulog bisa untung Rp 1,5 milyar dan dari Jawa Barat surplus sekitar Rp 1 milyar," ujar pejabat tadi. "Tapi harus diingat bahwa untuk operasi pasar di daerah-daerah yang minus seperti Irian dan Kalimantan, Bulog rugi." Dari sinilah rupanya mengapa Bulog berani memberikan selisih harga yang cukup besar untuk keuntungan KUD. Saat ini Bulog harus membeli beras dari KUD Rp 195/kg tapi kalau membeli dari swasta non-KUD hanya Rp 191,5/ kg. Kalau dalam bentuk gabah Bulog harus membayar pada KUD Rp 128/kg sedang dari non-KUD Rp 123,5/kg. Sayangnya selisih harga yang begitu besar masih belum bisa diraih KUD seluruhnya. Di atas kertas pengadaan pangan dalam negeri yang sekarang (sekitar 2 juta ton itu) 99% berasal dari KUD. Bukan rahasia, sekitar 50% di antaranya berupa beras swasta. Beras itu distempel dulu oleh KUD sehingga harga KUD-lah yang harus dibayar oleh Bulo.. Seorang pengurus KUD di Prambon, Ja-Tim, mengakui hanya dengan meminjamkan stempelnya seperti itu KUD mendapat bagian Rp 2,5. Ini berarti si swasta ikut menikmati "selisih harga" milik KUD itu sebesar Rp 1,5/kg. "Sama-sama untunglah," ujar pengurus KUD tadi. Tapi secara berangsur KUD sendiri akan ditingkatkan hingga punya fasilitas yang cukup, terutama untuk penjemuran dan penggilingan. Tahun ini mulai dibangun 1.235 GLK (Gudang, Lantai dan Kios) di seluruh Indonesia dengan biaya Rp 30 juta/GLK. "Dengan sarana ini kemampuan KUD bisa lebih meningkat lagi," ujar H.L. Gaol, Ketua Direksi proyek GLK. Gudang-gudang kecil di KUD ini juga sekaligus berfungsi sebagai cadangan, kalau saja produksi beras bakal memecahkan rekor lagi di tahuntahun mendatang. Bermacam-macam upaya telah dicoba oleh pemerintah sejak tahun 1967 untuk menjaga agar kebutuhan perut rakyat Indonesia itu terpenuhi. Selain menganjurkan agar orang mengurangi makan nasi, pemerintah bahkan pernah menyetujui rencana pembuatan beras sintetis --alias beras Tekad, campuran ketela, kacang dan kedelai -- oleh PI Mantrust. Tapi belum lagi sempat m masyarakatkan produksinya, sudah datang pula perintah baru distop saja. Kini hasil produksi padi boleh dibilang menimbulkan rasa aman. "Kalau harus disimak andil siapa yang terbesar maka harus dibagi sama antara tersedianya pengairan yang cukup, pupuk yang melimpah, bibit unggul yang tahan wereng dan sistem yang semakin terpadu," ujar Mubiarto. Semua itu, seperti kata seorang anak buah Menko Ekuin, akan semakin mantap bila sistem bagi-hasil di pedesaan bisa dilaksanakan. Undang-undangnya sudah ada, yakni UU Pokok Agraria 1960, yang mengharuskan pembagian fifty-fifty antara petani pemilik yang tak mengolah sawahnya sendiri dengan penyewa (pemaroh). Pembagian itu pun seharusnya sudah dipotong semua biaya. Sulitnya, dalam praktek, pemilik sawah itu berada dalam posisi yang jauh lebih kuat. "Pemaroh meskipun hanya diberi sepertiga dari hasil sawah, yang menurut saja, karena tak ada pilihan yang lain," kata seorang pejabat pertanian. Kalau yang diterima oleh para penyewa tanah itu sudah banyak berkurang, apalagi yang diterima oleh para buruh-tani. Barisan yang terakhir ini kabarnya masih hidup secara pas-pasan di tengah rekor produksi padi sekarang. (lihat box).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus