Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Rahasia Sang Raja Asia

Tim sepak bola Iran menjuarai Asian Games untuk keempat kalinya. Roda kompetisi yang mendorongnya.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDUNG membayangi tim sepak bola Iran saat memasuki lapangan menghadapi Jepang dalam pertandingan final pekan lalu. Di perhelatan puncak Asian Games XIV di Busan itu, mereka bagaikan dipereteli kekuatannya. Dua pemain pilarnya, Alireza Vahedinikbakht dan Eman Mobali, absen gara-gara terkena dua kartu kuning. Yang lebih memukul lagi, sang kapten, Ali Daei, harus pulang ke negaranya karena ayahnya meninggal. Hasilnya? Di luar dugaan, Iran masih menunjukkan tajinya. Anak asuhan Branco Ivancovic ini bisa membekuk Jepang dengan skor 2-1. Dua gol itu diciptakan oleh Javad Kazemeyan dan Mohsen Bayatiniya sebagai hadiah buah Ali Daei yang berkabung. Dari Iran, Ali menyambutnya dengan gembira. "Ini pertandingan paling manis. Kami mampu mengatasi Jepang sekaligus Korea Selatan," kata pemain 33 tahun ini. Sebelumnya, Iran memang mengalahkan Korea Selatan di partai semifinal. Kemenangan itu membawa Iran menjadi negara pertama yang meraih empat kali gelar juara sepak bola di Asian Games. Wajar jika mereka menyebut diri sebagai "raja sepak bola Asia" meski prestasi mereka di Piala Dunia tidak terlalu moncer. Jika dibandingkan dengan tim Asia lainnya seperti Korea Selatan, Jepang, dan Arab Saudi, yang pernah lolos ke babak kedua, prestasi Iran di ajang itu kurang mencorong. Sejauh ini baru dua kali Iran lolos ke Piala Dunia. Mereka tampil pertama kali pada ajang itu pada 1978 di Argentina. Saat itu Iran mengalami dua kali kekalahan dan seri sekali. Dua puluh tahun kemudian, generasi kedua yang merasakan persaingan panas di Piala Dunia. Sejarah pun ditoreh. Kesebelasan ini mampu mempermalukan Amerika Serikat, kendati gagal melaju ke babak kedua setelah dibabat Yugoslavia dan Jerman. Bukan dalam sekejap negara itu membangun kekuatan sepak bolanya. Tim sepak bola pertama Iran telah dibentuk oleh Sardar Khan bersaudara, yang sedang menuntut ilmu di Belgia, pada 1919. Hanya, baru pada 1960 kompetisi liga sepak bola di negara itu mulai diputar. Menjelang Piala Dunia 1974, Iran sempat mati-matian mempersiapkan diri, tapi sia-sia. Mereka gagal tampil di perhelatan ini. Belajar dari kegagalan ini, akhirnya disiapkannya program pembinaan yang terarah dan kompetisi yang teratur. Hasilnya segera kelihatan pada tahun-tahun berikutnya. Pemain berbakat seperti Hassan Rowshan, Ali Parvin, dan Barzgari muncul. Negara ini juga mampu mendominasi sepak bola Asia dengan menjadi juara Piala Asia tiga kali berturut-turut dari 1968 hingga 1976. Dan puncaknya, mereka lolos ke babak final Piala Dunia Argentina. Sayang, beberapa bulan setelah Piala Dunia 1978, revolusi meletik di Iran. Kekacauan politik ini mengakibatkan pembinaan sepak bola di sana terganggu. Bahkan pada 1979 Liga Iran dihentikan sama sekali. Baru dua tahun kemudian roda liga diputar lagi dengan nama baru: Liga Qods. Hanya, liga baru ini dinilai kurang efektif karena cuma memilih tim dari tiap-tiap provinsi untuk bertarung di tingkat nasional. Iran lalu menggelar liga yang serius dan kompetitif pada 1989 dengan nama Liga Azadegan. Berputarnya kompetisi ini kembali menggairahkan sepak bola di sana. Apalagi negara ini memang dikenal sebagai gudang pemain berbakat. Jangan heran jika belakangan muncul pemain cemerlang seperti Ali Daei dan Mehdi Mahdavikia, yang kini bermain di Liga Jerman. Selain itu ada juga Dahrioush Yazdani dan Mehrdad Minavand, yang berlaga di Belgia; lalu Ali Samereh dan Rahman Rezaei, yang bertanding di Liga Italia. Mengkilapnya bintang-bintang Iran tak lepas dari menjamurnya klub-klub sepak bola di sana. Bahkan Ali Daei pun mula-mula cukup bermain di klub Taxi Rani, sebuah klub divisi dua di Teheran. Karena bakatnya yang menonjol, pemuda yang saat itu masih kuliah di Universitas Teheran itu langsung dimasukkan ke tim nasional. Setelah masuk ke tim nasional, barulah dia dilirik oleh klub divisi utama Persepolis di Teheran. Kondisi politik Iran yang belakangan relatif baik mendorong roda kompetisi sepak bola di negeri ini berputar lancar sampai sekarang. Regenerasi pun berjalan mulus. Terbukti, setelah usia Ali Daei mulai uzur untuk ukuran pemain sepak bola, segera muncul generasi Javad dan Mohsen, yang jauh lebih muda. Pantas jika Ali Daei menyambut dengan sukacita gol pada final Asian Games yang dibuat oleh adik-adiknya. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus