Sudah sepekan berlalu. Ledakan bom larut malam Minggu 12 Oktober di Jalan Legian, Kuta, belum terendus siapa yang melakukan dan apa motifnya. Dari jumlah korban, kebangsaannya, kehancuran yang diakibatkannya, efek politiknya, malapetaka ini sudah menjadi peristiwa kelas dunia. Mungkin yang kedua setelah tragedi 11 September di New York tahun lalu. Malang besar merundung Indonesia, tapi Bali memikul beban sengsara yang paling berat. Namun, kita tak boleh berlama-lama berkubang dalam kesedihan dan kebingungan. Jalan keluar segera dari tekanan penderitaan ini harus bisa ditemukan.
Melacak siapa pelaku peledakan bom itu sepatutnya menjadi taruhan pemerintah. Kali ini kepolisian memang harus sungguh-sungguh bekerja, tak bisa dengan hasil yang mengambang seperti dalam kasus peledakan bom di beberapa tempat di Jakarta. Bagi Bali, jika kasus ini tidak segera tuntas, sulit diharapkan ada kepercayaan pada tingkat keamanan di pulau itu. Jika kepercayaan belum pulih, sudah dapat dipastikan industri pariwisata di Bali akan ikut mati, menggeliat pun tak lagi bisa.
Berbagai analisis tentang pelaku pengeboman sudah dilontarkan banyak pihak. Ada yang menuduh Al-Qaidah berada di balik ledakan ini. Lalu ada analisis lain, seperti Gerakan Aceh Merdeka ataupun kelompok Islam radikal lain di dalam negeri. Ada pula spekulasi gampangan yang justru menuduh perbuatan ini konspirasi Amerika Serikat. Bahkan dari balik pintu ada yang melemparkan sangkaannya ke TNI. Semua tanpa dasar fakta. Sejauh ini polisi belum menuding ke arah mana pun, meski sudah memeriksa 57 orang sampai pekan lalu.
Bahwa ada jaringan teroris yang terorganisasi rapi, tampaknya mulai dipercaya banyak pihak. Begitu pula, pernyataan bahwa jaringan teroris sudah memasuki kawasan Asia Tenggara semakin sulit untuk tidak dipercayai. Serangan bom di Zamboanga, Filipina Selatan, yang menewaskan lima orang dan mengakibatkan puluhan luka-luka, Kamis pekan lalu, semakin membuat orang cenderung menduga bahwa ledakan di Legian itu tak berdiri sendiri, tapi ada kaitannya secara internasional.
Namun, sebaiknya kita biarkan kepolisian dan badan intelijen bekerja keras tanpa diusik analisis dan pernyataan yang mengacaukan. Yang perlu sekarang adalah bagaimana trauma kekerasan di Bali segera bisa menguap. Aparat kepolisian harus bisa menciptakan sistem keamanan yang menjanjikan ketenangan di Bali, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga adat setempat.
Pintu-pintu masuk ke Pulau Bali, yang selama ini sangat longgar—konon, termasuk di Bandara Ngurah Rai, orang bisa seenaknya masuk tanpa pengenal atau tiket—harus diperketat. Adalah kenyataan bahwa di Pelabuhan Gilimanuk, setelah beberapa hari diadakan razia KTP, ratusan orang terjaring dan dilarang masuk Bali karena tidak punya kartu identitas. Ini pertanda bahwa Bali selama ini begitu mudah dimasuki "pendatang gelap".
Sementara itu, untuk memberi dukungan moral dan membunuh rasa takut yang kini menghantui para wisatawan, kita harus mendorong sebanyak-banyaknya "pendatang terang" berkunjung ke Bali. Pembatalan semua konferensi dan kegiatan seni budaya ataupun olahraga di Bali setelah ledakan bom ini patut disayangkan. Kalau ketakutan itu terus-menerus dipelihara, sama saja artinya dengan memberi kemenangan kepada teroris. Kita tak boleh kalah, dan kita harus bersatu untuk menang dalam pertarungan ini. Meski sekarang ini siapa teroris itu belum bisa diketahui, kita tak boleh bertekuk lutut dalam ketakutan.
Konferensi internasional yang sudah dirancang di Bali, berbagai seminar yang sudah dijadwalkan, kegiatan kebudayaan, turnamen tenis dan golf yang sudah diagendakan sebaiknya tetap dilangsungkan. Bahkan sedapat mungkin sidang negara-negara donor yang tergabung dalam CGI, yang ditunda sampai tahun depan, dipindahkan dari Yogyakarta ke Bali. Dengan mobilisasi semacam ini, kita menolong Bali untuk meyakinkan bahwa ia masih aman dikunjungi.
Ada langkah terpadu yang disusun oleh komponen kepariwisataan di Bali, yakni akan dibuat paket murah wisata menuju Bali dalam waktu dekat ini, karena pemerintah pusat memberikan keringanan pajak bagi pengusaha pariwisata di Bali. Paket murah yang kabarnya sampai lebih dari 50 persen dari harga normal ini juga ditujukan kepada wisatawan domestik, yang diharapkan mengisi "kekosongan" turis asing dalam menyambut tahun baru yang akan datang.
Kalau ini dapat terwujud, tentu dampaknya besar untuk menghilangkan faktor psikologis yang mencap Bali sebagai pulau yang tidak aman lagi. Dengan demikian pemulihan perekonomian Bali, yang telah dihancurkan oleh bom Legian, semakin cepat bisa dilakukan. Kalau upaya ini tidak dilakukan dan kepariwisataan di Bali tidak segera bisa pulih, ongkos sosial yang dipikul tentu lebih berat.
Akibatnya beruntun. Pengangguran tak bisa dielakkan, para pekerja di sektor pariwisata akan kembali ke desa-desa, yang pada gilirannya bisa menimbulkan dampak sosial. Perekonomian di Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Jutaan orang Bali yang bergerak di bidang kerajinan rakyat dan pertanian yang menyuplai kebutuhan hotel akan kehilangan penghasilan.
Menggerakkan solidaritas untuk membangkitkan optimisme pada Bali memang tidak mudah. Tapi ini adalah jalan keluar paling sederhana yang terpikirkan, yang bisa dilakukan masyarakat Indonesia di luar Bali bagi Bali sendiri. Di satu pihak ia berguna untuk memperlihatkan adanya kesetiakawanan antarnusa, di lain pihak untuk membuktikan bahwa masyarakat—lebih dulu dari aparat keamanan—bisa mematahkan tujuan serangan teror di Legian itu.
Mari kita ke Bali lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini