Tak biasanya Ja'far Umar Thalib terlihat melenggang sendirian di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pekan lalu. Sebelumnya, paling tidak 30-40 orang anak buahnya mengawal terdakwa perkara penghasutan dan penghinaan presiden itu setiap kali bersidang. Kali ini ia hanya ditemani dua orang pengantar, itu pun sudah termasuk seorang pengacaranya. Walhasil, ruang sidang tak lagi dipenuhi pengunjung berbaju dan bersorban putih, karena hanya Ja'far dan seorang pengantarnya yang mengenakan pakaian khas Laskar Jihad itu.
Ruang sidang malah dipenuhi pers dalam dan luar negeri—ditambah aparat keamanan. Ada yang merasa bingung ke mana gerangan para laskar yang biasanya meramaikan sidang Ja'far. Padahal Ja'far kejeblos perkara karena urusan perjuangan Laskar Jihad di lapangan, yaitu ketika panglima kelompok bersenjata ini berceramah di depan warga muslim di Masjid Al-Fatah, Ambon, yang isinya menolak rekonsiliasi damai Malino I. Rekaman pidato Ja'far kemudian disiarkan berulang-ulang di Radio Suara Perjuangan Muslim Maluku.
Memang tak banyak yang tahu bahwa Laskar Jihad—organisasi yang dianggap berperan penting dalam konflik Ambon dan Poso—sudah tak ada lagi. Bubarnya organisasi militan ini baru diketahui ketika sekitar 4.000 anggota tiba-tiba memadati terminal atau pelabuhan laut di Ambon, Makassar, dan Surabaya untuk kembali ke kampung asal masing-masing. Banyak pertanyaan dan spekulasi muncul kenapa organisasi yang keras dan gigih itu tiba-tiba seperti kerupuk tersiram air.
Ja'far, kepada TEMPO, mengaku pembubaran itu tidak tiba-tiba. Pemikiran itu sudah lama muncul. Puncaknya, rencana itu lalu dibahas di Yogya, 3-7 Oktober 2002 lalu, dalam sidang para ustad anggota Dewan Pembina Forum Komunikasi Ahlus-Sunah Wal Jamaah (FKASWJ). Ada beberapa pertimbangan penting. Pertama, aktivitas laskar di seluruh Indonesia menunjukkan gejala pelanggaran akhlak dan prinsip ahlussunah oleh para anggota. Kedua, ada desakan politik praktis. "Kita didekati beberapa tokoh partai politik. Ini dikhawatirkan membelokkan misi dakwah kita," kata Ustad Ja'far.
Jamal Mangun, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah FKASWJ Sulawesi Selatan, menyebut sejumlah praktek yang mendorong pembubaran Laskar, seperti menjelek-jelekkan pemerintah, suka berdemonstrasi, dan terkesan sebagai pemberontak. "Kita tahu semua kegiatan sejenis itu dilarang dalam agama Islam," katanya. Bahkan Laskar juga menghentikan pembelaan kepada mantan komandan mereka, Ja'far Umar Thalib, yang tengah menghadapi proses hukum. "Kita tidak ingin terjebak membela orang yang bersalah," ia menjelaskan. Selain itu, laskar juga tidak mau mendapat mudarat. Sebab, selain tidak didukung pemerintah, mereka juga memiliki kelemahan dalam segi pendanaan.
Tambahan lagi, ada fatwa dari ulama Syekh Rabi' bin Hadi al-Makhdali dan Syekh Muhammad bin Hadi al-Makhdali di Mekah dan Madinah untuk membubarkan saja Laskar. "Akhirnya kita putuskan untuk membubarkan Laskar 7 Oktober kemarin," kata Ja'far. Predikat Panglima Laskar Jihad pun copot dari pundak pengasuh Pondok Ihyausunah di Dogolan, Kabupaten Sleman, ini. Meski begitu, FKASWJ sebagai organisasi dakwah tetap berjalan. Aktivitas kelaskaran bahkan diputuskan diganti dengan fokus dakwah. Para anggota Laskar diputuskan kembali ke daerah asal masing-masing dan mengurus kegiatan mereka yang terbengkalai. "Yang mahasiswa ya kembali ke kampus, yang berdagang ya berdagang kembali," ujar Ja'far.
Penarikan pulang anggota Laskar—yang dituding justru melanggengkan konflik di Ambon dan Poso—sudah lama dituntut oleh banyak pihak, terutama kelompok Kristen. Dalam Perjanjian Malino I dan Malino II, hal itu bahkan menjadi tuntutan utama. Tapi apakah kepulangan mereka bisa membawa kedamaian di daerah itu? Ja'far sendiri tak bisa menjawabnya. "Itu tanggung jawab aparat keamanan," kata Ja'far dengan berat. "Kalaupun ada mantan laskar yang memilih tinggal, jihad itu menjadi tanggung jawab pribadi," ujar Ja'far, yang mengaku kini hanya berstatus pengasuh pondok biasa.
Kemungkinan berkeliarannya para bekas laskar yang organisasinya dibubarkan itu membuat beberapa pihak, termasuk duta besar negara-negara Barat, merasa khawatir. Soalnya, kontrol dan pemantauan terhadap "mantan" anggota Laskar Jihad akan semakin sulit. Padahal, dari 10 ribu anggotanya yang tersebar di Indonesia, ada sekitar 2.000 orang yang terlatih—karena pengalaman bertempur—dalam pembuatan bom dan bisa menjadi "pasukan liar".
Kekhawatiran ini ditanggapi enteng oleh Ja'far. "Sudah kebiasaan kita dituduh sebagai teroris, kok," katanya sambil tertawa. Ustad Ja'far Umar Thalib memang wajar berwajah ceria. Dengan bubarnya Laskar Jihad, berarti ia tak lagi bertanggung jawab atas segala perilaku para bekas anak buahnya yang tersebar di berbagai lokasi itu.
Arif A. Kuswardono, TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini