Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA Muhammad Ali naik ring, bukan berarti dia nekat hendak bermain tinju lagi. Di MCI Center, Washington, Ahad dua pekan lalu, ia hanya ingin memeluk erat putrinya, Laila Ali, yang baru menang dalam sebuah pertandingan. Legenda tinju kelas berat dunia ini sungguh bangga atas prestasi Laila. Tak habis-habisnya dia menebar senyum dari atas ring.
Laila Ali baru saja memukul KO (knock out) petinju Erin Toughill pada ronde ketiga. Karena kemenangan ini, ia meraih sabuk juara kelas menengah super versi World Boxing Council (WBC), sebuah badan tinju dunia yang amat disegani.
Baru belakangan ini WBC merangkul tinju putri ke dalam wadahnya. Sabuk juara yang disabet perempuan 28 tahun itu adalah gelar kedua untuk petinju putri versi WBC. Sebelumnya, petinju Meksiko, Jaqueline Mouett Nava, meraih gelar juara kelas bantam super pada akhir Mei lalu. Dia mengalahkan petinju Kolombia, Paola Gonzalez.
Kehebatan Laila tidak diragukan lagi. Sudah bertanding sebanyak 21 kali, tak sekali pun dia kalah. Bahkan 18 di antaranya dia menang KO. Laila meraih gelar pertama kali pada 1999 dengan mengandaskan April Fowler pada detik ke-31 ronde pertama. Dia kemudian mengoleksi gelar juara dunia kelas menengah super dalam berbagai versi, di antaranya versi World International Boxing Association (WIBA), International Boxing Association (IBA), dan International Woman Boxing Federation (IBWF).
Lahir pada 30 Desember 1977, Laila kecil tumbuh saat ayahnya, Muhammad Ali, sedang berada di puncak kejayaan sebagai petinju profesional. Dia sering menyaksikan sepak terjang ayahnya di atas ring. Tentu saja, Laila sangat bangga menyandang nama besar petinju yang telah menjadi legenda itu.
Hubungan Laila dengan sang ayah sebenarnya berjalan kurang manis. Anak kedua dari sembilan bersaudara ini lahir di kawasan elite di Miami Beach, Florida, Amerika Serikat. Ibunya, Veronica Porsche Anderson, adalah satu dari tiga istri Muhammad Ali. Di tengah keluarga besarnya inilah Laila kecil sering merasa kesepian. Hampir tiada waktu bagi ayahnya untuk sekadar bercanda dan berbagi cerita dengannya.
Sang putri semakin terpukul ketika ibunya bercerai dengan Muhammad Ali pada 1980-an. Bersama ibu dan saudaranya, ia lalu pindah ke Malibu, California. Kehidupan pribadi Laila pun bertambah suram. Dia keluar dari sekolah dan bergabung dengan sebuah geng remaja. Bahkan pada 1993 dia pernah dipenjara selama tiga bulan karena mencuri di sebuah toko. Selesai menjalani hukuman, Laila berusaha memperbaiki diri dengan menuntaskan sekolahnya yang sempat terhenti. Dia kemudian membuka salon kecantikan di Los Angeles. Di sela-sela kesibukannya, Laila sering berlatih tinju, tapi tujuannya hanya untuk menjaga kebugaran, bukan untuk persiapan pertandingan.
Orientasinya mulai berubah setelah dia menyaksikan pertarungan petinju wanita, Christy Martin, melawan Sumya Anani di televisi pada 1998. Saat itulah dia menjadi sadar bahwa sebenarnya perempuan juga bisa menjadi petinju profesional. "Saya bertekad melakukan apa yang mereka lakukan," kata Laila suatu ketika.
Debut pertama Laila melawan April Fowler mendapat tentangan dari Muhammad Ali. Sesuai dengan agama yang diyakininya, sang ayah menganggap perempuan tidak pantas naik ring. "Tubuh wanita tidak boleh terbuka di depan publik. Sungguh buruk dia kurang mengenal Islam," kata Ali.
Laila tidak mengindahkan keberatan ayahnya. Dia terus berlatih dan bertanding. Satu per satu lawannya tumbang, nama Laila pun makin meroket. Orang kemudian membanding-bandingkannya dengan putri petinju besar George Foreman, Freeda Foreman, atau putri Joe Frazier, Jackie Frazier-Lyde, yang lebih dulu terjun ke tinju profesional.
Akhirnya dia berkesempatan bertanding melawan Jackie Frazier pada 8 Juni 2001 di New York. Inilah pertarungan terbesar tinju profesional wanita. Orang menganggap pertarungan ini sebagai sekuel perseteruan antara Joe Frazier dan Muhammad Ali. Dalam pertandingan ini, Laila menang. Ali sendiri enggan menyaksikannya. Dia memilih berada di Detroit, menonton balapan mobil Nascar.
Kerasnya hati Ali baru mencair ketika Laila bertarung melawan Christy Martin di Mississippi Coast Coliseum, dua tahun lalu. Tak hanya mampu merontokkan lawan, kali ini dia juga sanggup melumerkan hati sang ayah. ''Meski saya tak setuju, saya tetap mendukungnya. Saya bangga dengannya," kata Ali.
Dua pekan lalu, kebanggaan itu menggelembung lagi ketika Laila mengusung sabuk gelar juara versi WBC.
Suseno (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo