Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASAFA Powell bersorak kegirangan. Di lintasan Stadion Olympic, Athena, Yunani, ia mampu berlari secepat angin sehingga paling dulu menginjak garis finish. Lelaki 22 tahun ini meninggalkan para pesaingnya, termasuk pelari Abdul Zakari dari Ghana dan rekan senegaranya, Michael Frater. Sejenak kemudian, matanya terpaku pada papan penunjuk waktu yang terpampang di pinggir lapangan. Tercatat waktu tempuhnya: 9,77 detik. Senyum melebar di bibirnya. Tapi dia memilih menunggu, bisa saja catatan resmi panitia berbeda.
Detik demi detik dirasakan berlalu sangat lama. Jantung Asafa baru berhenti berdebar-debar setelah panitia mengumumkan catatan waktu resmi. Mengetahui angkanya tak berbeda, pelari asal Jamaika itu segera melampiaskan kegembiraan. Kepalan tangannya beberapa kali meninju angkasa.
Selasa pekan lalu itu, dalam kejuaraan atletik Super Grand Prix Tsiklitiria 2005, Asafa berhasil mengukir prestasi yang luar biasa. Dia merontokkan rekor nomor lari 100 meter pria yang sebelumnya dipegang oleh pelari Tim Montgomery, yakni 9,78 detik. "Saya sangat bahagia. Saya tahu saya bisa melakukannya dan inilah buktinya," katanya.
Hatinya semakin berbunga-bunga karena pemecahan rekor dilakukan di Athena. Setahun lalu di tempat sama, Asafa menjadi pelari favorit Olimpiade, tapi akhirnya terpuruk di posisi kelima. "Tak ada yang bisa menebus kegagalan di Olimpiade. Tapi hasil ini menunjukkan kepada dunia apa yang bisa saya lakukan," ujarnya. Asafa juga senang bisa memecahkan rekor di tempat yang sama dengan Maurice Greene, yang merupakan idolanya. "Tak ternilai artinya."
Greene, yang berasal dari Amerika, memecahkan rekor di Athena pada 1999. Saat itu ia berhasil mencetak waktu 9,79 detik atau lebih cepat 0,05 detik dari rekor pelari Kanada, Donovan Bailey (1996). Asafa mengagumi Greene sejak pelari ini berhasil meraih medali emas di Olimpiade Sydney 2000. Sang idola selalu menjadi inspirasi hidupnya.
Asafa adalah pelari non-Amerika keempat yang berhasil memecahkan rekor lari 100 meter sejak tahun 1912. Tiga atlet sebelumnya adalah pelari Kanada Donovan Bailey (1996) dan Percy Williams (1930), serta pelari Jerman Armin Hary (1960). Pelari Ben Johnson (Kanada) sebenarnya juga sempat memecahkan rekor pada Olimpiade 1988, tapi rekor dan medali emasnya dibatalkan karena terbukti memakai doping.
Dalam sejarah atletik, hanya sedikit pelari 100 meter yang mampu mengukir waktu tempuh di bawah 10 detik. Dan Asafa Powell merupakan atlet kesembilan yang sanggup melakukannya. Rekor di bawah sepuluh detik pun baru dibukukan pada 1968. Saat itu pelari Amerika, Jim Hines, mampu meraih waktu tempuh 9,95 detik.
Sejak itu, pemecahan rekor terus terjadi hingga tiga tahun lalu Montgomery berhasil berlari dalam waktu 9,98 detik di Prancis. Kini dia tengah diselidiki karena diduga menggunakan doping. Bila dugaan itu terbukti, rekor yang dipegang Montgomery akan dicabut. Tapi hal ini tak akan merepotkan dunia atletik karena sekarang catatan itu telah diruntuhkan oleh Asafa.
Serius menekuni karier sebagai pelari sejak lima tahun lalu, keberhasilan Asafa sebenarnya diramalkan banyak pengamat. Apalagi, dalam tiga tahun terakhir, ia mengalami kemajuan yang luar biasa. Pada 2002 Asafa memiliki waktu tempuh tercepat 10,12 detik. Tahun berikutnya menjadi 10,02 detik. Dan tahun lalu ia melesat lebih cepat, waktu tempuhnya jadi 9,87 detik. Dilihat dari tren ini, dia tinggal menunggu waktu saja untuk memecahkan rekor dunia.
Toh, perjalanan ke arah itu tidaklah mudah. Tak hanya terpukul oleh kegagalannya pada Olimpiade tahun lalu, sebelumnya Asafa juga merasakan pengalaman pahit pada Kejuaraan Dunia 2003 di Prancis. Saat itu ia didiskualifikasi karena salah start di babak perempat final.
Pelari Amerika Jon Drummond, yang bernasib sama, sempat melakukan aksi protes dengan tetap bertahan di lintasan selama 15 menit. Akibatnya, ia diskors oleh Federasi Atletik Amatir Internasional (IAAF). Reaksi Asafa saat itu berbeda, ia tidak protes. "Saya sangat kecewa. Tapi saya tahu harus berpikir tenang dan dewasa. Memang begitulah cara saya dibesarkan," katanya.
Lahir di Linstead, Jamaika, Asafa tumbuh di dalam keluarga religius. Kedua orang tuanya, Cislyn dan William Powell, adalah pastor di sebuah gereja di kota itu. Sejak belia, dia sudah akrab dengan atletik. Satu dari lima saudaranya, Donovan, adalah pelari yang pernah masuk semifinal Kejuaraan Dunia 1999 nomor 100 meter.
Kendati begitu, saat kecil Asafa terkesan kurang tertarik menekuni atletik. Prestasinya kurang menonjol. Salah seorang gurunya di Charlemount High School, Elaine Fraser, melihat Asafa memiliki bakat menonjol tapi tak pernah mempedulikannya. Saudaranya, Donovan, pun sempat sebal melihat dia tak pernah bersungguh-sungguh berlatih. Ia malah menyarankan agar Asafa berhenti saja menekuni atletik.
Untunglah, Asafa kemudian bertemu dengan pelatih Jamaika, Stephen Francis. Sang pelatih amat pandai memberikan nasihat dan motivasi lewat berbagai tayangan video tentang para pelari besar dunia. Pelan-pelan Asafa menjadi tertarik menerjuni dunia atletik. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa di University of Technology di negaranya, dia giat berlatih dan secara teratur mengikuti berbagai kejuaraan.
Prestasi demi prestasi akhirnya ia rengkuh. Dia sebenarnya juga menekuni nomor lari 60 meter dan 200 meter, tapi kehebatan tampak pada nomor bergengsi 100 meter. Tak hanya kejuaraan nasional di Jamaika, berbagai trek dunia juga bisa ia taklukkan. Sejak tahun lalu dia berhasil menembus catatan waktu di bawah 10 detik. Tahun ini dia juga memiliki catatan waktu yang cukup bagus di berbagai kejuaraan dunia. Pada Jamaica International Invitation, yang digelar awal Mei, ia berhasil berlari dalam waktu 9,85 detik. Kemudian pada kejuaraan internasional di Chek, 9 Juni lalu, Asafa meraih gelar juara dengan catatan waktu 9,84 detik. Dan akhirnya di Athena dia mampu memecah rekor dunia.
Walau sudah menjelma jadi superstar, Asafa mengaku dirinya tak berubah. "Saya tetap Asafa yang sederhana dan pemalu, seorang penganut Kristen yang taat dan selalu berusaha menjauhkan diri dari masalah," katanya.
Sehari-hari dia menghabiskan waktunya untuk kuliah dan berlatih. Di akhir minggu, Asafa memilih pulang kampung dan pergi ke gereja, mendengarkan. Satu lagi hal yang disukainya, bermain gitar dan drum. "Terus terang, hanya saya mahasiswa yang masih rajin pergi ke gereja," kata penggemar lagu gospel Lord Walk Beside Me ini.
Padahal, prestasi yang diraih telah melimpahinya dengan kekayaan. Di kampusnya dan kota kelahirannya, Asafa selalu terlihat menonjol karena mobil bagus yang dikendarainya. Gadis-gadis pun berebut mendekatinya. "Untungnya saya tahu bagaimana mengatakan tidak," kata lelaki yang mengaku sudah punya pacar ini.
Dalam lintasan lari 100 meter pada berbagai kejuaraan dunia, kini Asafa otomatis akan selalu menjadi unggulan pertama. Begitu pula dalam kejuaraan dunia yang berlangsung di Helsinki, Agustus nanti. Jauh hari, pers sudah menodongnya: mampukah mencapai waktu 9,6 detik? Asafa menjawab sambil tersenyum, "Saya tak tahu apakah itu bisa dilakukan. Tapi saya merasa masih bisa meningkatkan kemampuan saya." Lagi pula, katanya lagi, "Kita tak pernah tahu seberapa cepat seorang manusia bisa berlari."
Nurdin Saleh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo