Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang semua orang tahu, busung lapar masih ada di beberapa tempat di Indonesia. Sebagian merasa terkejut dan gundah. Pemberitaan media, terutama melalui televisi, memang cukup dramatis. Jangan salah, adanya busung lapar bukanlah disebabkan oleh siaran yang bertubi-tubi. Tetapi sebaliknya, karena ternyata ada dan menimbulkan korban nyawa, peristiwa itu diberitakan luas. Penyebab sebenarnya ialah kekurangan gizi akibat kemiskinan ekstrem dan salah urus. Ini yang harus ditanggulangi satu demi satu, kalau tak bisa sekaligus.
Kematian akibat busung lapar yang tercatat di seluruh negeri pada paruh pertama tahun ini ada 49 korban, semuanya anak di bawah lima tahun (balita). Walau kematian terbanyak terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, di beberapa provinsi lain juga ditemukan ribuan anak balita dengan gizi buruk. Dilihat dari kekerapan dan penyebaran kejadian, masalahnya tergolong bisa diatasi dengan bantuan darurat langsung serta penanggulangan klinis pada masing-masing kasus. Salah satu cara untuk menghentikan bertambahnya korban saat ini ialah dengan segera bertindak, tanpa terlalu banyak cincong.
Yang harus dilakukan ialah tidak larut mempersoalkan yang tidak terlalu perlu. Misalnya soal statistik, benar-tidaknya angka yang disajikan. Menteri Kesehatan mengatakan bahwa angka busung lapar tahun lalu di satu provinsi, yaitu 1.500, jauh lebih tinggi dari yang sekarang, 300. Jadi bukan baru timbul sekarang, itu pesannya. Ada juga pendapat bahwa angka kematian 47 anak balita dalam setengah tahun terbilang porsi sangat kecil dibanding seluruh kematian anak balita yang ratusan ribu jumlahnya setiap tahun. Infant mortality ratetingkat kematian bayi di bawah 1 tahun per 1.000 kelahiran hidupdi Indonesia adalah yang terburuk dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Lalu klasifikasi kekurangan gizi, dari definisi gizi buruk, apa yang disebut busung lapar, sampai perbedaan kwashiorkor dan marasmus, sibuk dipermasalahkan. Apakah gizi buruk yang menimbulkan komplikasi sehingga mengakibatkan kematian, atau gizi buruk adalah akibat sekunder dari penyakit lain yang mengganggu pencernaan. Ada pula yang mengingatkan bahwa busung lapar ternyata bukan karena kelangkaan persediaan pangan di pasar; yang terjadi ialah hilangnya daya beli beberapa keluarga amat miskin di suatu lingkungan. Apa pun sudut pandang yang dikemukakan, fakta yang tak tersangkal ialah ada hal yang harus ditanggulangi dengan konkret, segera.
Yang juga kurang perlu ialah mempersoalkan peranan pers bebas dan menyalahkan otonomi daerah. Bisa jadi berita dibesarkan media hingga keluar dari proporsi, sampai mendekati sensasional, tapi justru arus informasi bebas ini yang memberikan peringatan dini sehingga semua sadar dan terdorong bertindak. Gejala menyalahkan otonomi daerah sebagai penyebab kesehatan masyarakat terbengkalai juga tak sepenuhnya benar, dan memancing debat politik yang tak produktif. Sebuah survei Universitas Gadjah Mada dan Bank Dunia menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat lebih dari 60 persen pada perbaikan dalam pelayanan kesehatan sejak adanya otonomi daerah.
Penyebab kesengsaraanyang timpang iniadalah kemiskinan ekstrem. Solusi akhirnya tentu di bidang ekonomi: peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja. Untuk jangka pendek, salah urus harus diperbaiki: giatkan kembali pos pelayanan terpadu (posyandu), bangkitkan lagi keluarga berencana, alokasikan anggaran secukupnya untuk subsidi kesejahteraan bagi golongan paling lemah. Pasti bisa, dengan kerja sama pusat dan daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo