Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Salah di Klub, Repot di Pelatnas

Beberapa atlet pelatnas bulu tangkis tak punya kemampuan fisik memadai. Akibat salah pembinaan usia dini di klub.

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Salah di Klub, Repot di Pelatnas
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEBELUM tampil di putaran final Piala Uber di Kunshan, Cina, pekan lalu, tim putri Indonesia dirundung masalah. Salah satu pemain pilarnya, Nitya Krishinda Maheswari, batal tampil. Juara Asian Games 2014 ini tak bisa bergabung dengan tim lantaran dibekap cedera. Status kapten tim pun berpindah ke Greysia Polii, pasangan ganda Nitya. Posisi Nitya diisi Tiara Rosalia Indah.

Cedera adalah hal lumrah dalam dunia olahraga. Kelelahan biasanya menjadi penyebab utama. Itu pula yang dialami Nitya. Ia, bersama Greysia, harus berjibaku selama 2 jam 40 menit-hampir tiga kali waktu pertandingan normal-melawan pemain Jepang, Naoko Fukuman/Kurumi Yonao, di semifinal Kejuaraan Bulu Tangkis Asia pada akhir bulan lalu. Lantaran terlalu diforsir, cedera lutut Nitya kambuh.

Soal cedera pemain kini mendapat sorotan tajam dari Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI). Apalagi cedera itu umumnya diakibatkan oleh salah pembinaan pada usia dini di tingkat klub. Pola pelatihan yang tak seragam menjadi pemicu, selain standar pengetahuan para pelatih yang masih timpang dan perhatian klub yang minim.

"Masih ada beberapa atlet di pemusatan latihan nasional (pelatnas) yang secara fisik tak memadai," kata koordinator tim pelatih fisik pelatnas PP PBSI, Felix Ari Bayu Marta, Jumat dua pekan lalu. "Akibatnya, begitu mereka masuk pelatnas, kami harus membenahi fisiknya lebih dulu." Felix enggan menyebut siapa saja atlet itu dengan alasan etik.

Contoh kondisi fisik yang buruk terkait dengan daya tahan aerobik atau kemampuan dalam melakukan aktivitas secara terus-menerus tanpa lelah. Hal ini dipengaruhi oleh seberapa baik kemampuan jantung dan paru-paru memompa oksigen dan darah ke jaringan otot. Kemampuan ini biasa diukur dengan nilai VO2 Max-jumlah maksimal oksigen yang bisa diserap dan digunakan tubuh selama satu menit.

Menurut Felix, ada beberapa atlet yang ketika pertama kali masuk pelatnas belum memenuhi standar minimal VO2 Max yang ditetapkan, yaitu 55-60 mililiter per kilogram berat badan per menit. Felix menduga penyebab utamanya adalah program latihan yang kurang tepat ketika mereka masih berada di klub. Padahal justru pada saat itulah mereka berada di usia pembentukan optimal, yakni 9-18 tahun.

Dalam sistem pembinaan bulu tangkis di Indonesia, pemain berusia 9-18 tahun dilatih oleh klub di berbagai daerah. Selepas 18 tahun, mereka baru bisa masuk pelatnas. Saat berada di klub inilah pola pembinaan fisik sangat krusial karena akan menjadi modal dasar untuk mempersiapkan atlet pelatnas. Persoalannya, masih terdapat perbedaan pandangan antara PBSI dan pelatih klub soal porsi latihan.

Untuk mengetahui penyebabnya, Tempo mendatangi beberapa klub. Salah satunya Perkumpulan Bulu Tangkis Jaya Raya di Jakarta. Para pemain di klub ini bisa dibilang cukup beruntung. Sebab, setiap sektor diawasi satu pelatih khusus fisik berpendidikan formal minimal strata satu di bidang kepelatihan. Di sektor tunggal putra, misalnya, atlet berusia 13-18 tahun ditangani Novi Tri Darma, mantan pemain yang kini menjadi pelatih fisik.

Novi menjelaskan, untuk memperkuat daya tahan, misalnya, mereka menerapkan berbagai jenis latihan. "Contohnya lari 8 kilometer yang harus diselesaikan dalam 40 menit. Denyut nadi yang diharapkan dalam latihan itu adalah 160-170 kali per menit," ucapnya. Hanya, meski program itu dibuat oleh pelatih berpengalaman, tetap saja berbeda dengan yang diinginkan tim pelatih fisik pelatnas PP PBSI.

Menurut Felix, program latihan di klub semestinya menargetkan peningkatan VO2 Max. Apalagi para pemain muda itu masih berada pada tingkat usia yang memungkinkan untuk ditingkatkan nilai VO2 Max mereka. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan ukuran denyut nadi 140 kali per menit. "Latihan denyut nadi di atas itu malah akan mempertebal penampang jantung. Padahal tujuan kita adalah memperluas," ujarnya.

Klub Bulu Tangkis Suryanaga di Surabaya sebelas-dua belas. Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Suryanaga, Hadi Sugiyanto, mengatakan dia menggunakan rumus 220 kali denyut nadi per menit dikurangi usia atlet dalam latihan daya tahan. Dalam tiga bulan pertama latihan, mereka menargetkan 80 persen dari daya tahan yang diinginkan. Selanjutnya, atlet digenjot untuk mencapai 100 persen target. Dengan hitungan itu, denyut nadi dalam latihan bisa mencapai lebih dari 140 kali per menit.

Para pemain di kedua klub tersebut cukup beruntung. Di Papua, bahkan ada klub yang sama sekali tak menetapkan target denyut nadi. Ini terjadi di klub Bulu Tangkis Pratama di Nabire. Ayu Kurniawaty, 15 tahun, menjalani latihan fisik lari 10 kilometer dua pekan sekali, tanpa target waktu apalagi pengukuran denyut nadi. "Tidak ada yang memperhatikan. Mungkin karena ini kota kecil," kata Saryoto, ayah Ayu. Sayangnya, hal yang sama terjadi di daerah lain.

Perbedaan pembinaan seperti itulah yang dilihat PP PBSI sebagai masalah besar. "Makanya tahun ini kami mengadakan klinik kepelatihan di berbagai kota," ujar Kepala Bidang Pengembangan PP PBSI Basri Yusuf. Tujuannya, kata dia, agar klub punya pandangan yang sama soal latihan, sehingga program mereka berkesinambungan dengan PP PBSI.

Program tersebut dimulai dari Balikpapan pada akhir bulan lalu. Basri mengajak Rexy Mainaky, peraih medali emas Olimpiade Atlanta 1996 yang kini menjadi kepala bidang pembinaan dan prestasi PP PBSI, mengisi pelatihan. "Setelah pelatihan itu, kami mendapat umpan balik. Para pelatih bilang, 'Ternyata yang selama ini kami lakukan salah.'"

Sejak direkrut PP PBSI tiga tahun lalu, Basri mesti berkejaran dengan waktu. Tugasnya tak mudah. Ia harus mensosialisasi penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga serta membenahi sistem pembinaan di klub. Ini jelas pekerjaan berat dan hasilnya tak langsung kelihatan. "Tiga tahun ini adalah periode pembenahan, selanjutnya tinggal jalan," ucapnya.

PP PBSI mempercayakan kepada Basri untuk menyusun dan mensosialisasi kurikulum pembinaan usia 18 tahun ke bawah serta menyusun buku parameter fisik standar pelatnas. Basri berkeyakinan, dengan pembinaan dasar yang baik, kasus seperti yang dialami Nitya Krishinda Maheswari bisa dicegah.

Mulyo Handoyo, pelatih yang menelurkan legenda bulu tangkis Taufik Hidayat, sepakat bahwa latihan fisik yang benar memang harus dilakukan sejak dini. Pendapat lebih jauh diungkapkan Imelda Wiguna. Menurut pemain dunia pada 1970-an ini, apa yang bisa dilakukan PBSI tak hanya menstandardisasi program latihan di klub, tapi juga memperkuat klub kecil di daerah, misalnya dengan bantuan dana pembinaan.

"Ada beberapa klub kecil yang kami jadikan klub satelit-kami membantu biaya pembinaannya agar klub itu hidup. Lalu, saat sudah berusia 13 tahun, diharapkan bisa masuk ke pusdiklat kami," kata Ketua Harian Perkumpulan Bulu Tangkis Jaya Raya ini. Imelda berharap PBSI bisa melakukan hal serupa.

Gadi Makitan (Jakarta), Mohammad Syarrafah (Surabaya), Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus