Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jalan Tengah bagi Warsito

Tim Kementerian Kesehatan merilis hasil review: alat terapi kanker Warsito belum terbukti aman digunakan. Penelitian harus dilakukan dengan benar.

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERETAN kursi panjang terdiam kosong. Rumah toko C-Care Riset Kanker di Alam Sutera, Tangerang, Banten, sepi. Tak ada lagi puluhan orang yang biasanya duduk antre di sana. Warsito Purwo Taruno, sang pemilik tempat, duduk bersama sepasang laki-laki dan perempuan. "Ini pasien lama saya," kata Warsito, 5 April lalu.

Mati suri. Itulah kondisi Klinik Warsito sejak Kementerian Kesehatan mengimbau agar kliniknya tidak beroperasi, November 2015. Doktor teknik elektro lulusan Universitas Shizuoka, Jepang, ini tak boleh menerima pasien baru dan hanya melayani pasien lama. Sejak Januari lalu, 100-an pegawainya telah diberhentikan.

Indira Abidin, dari PT Fortune Indonesia, menyayangkan keputusan pemerintah melarang Klinik Warsito melayani pasien baru. Toh, harus diakui bahwa infrastruktur kita hanya mampu menampung 15 persen penyandang kanker. Artinya, 85 persen pasien-sekitar 300 ribu-tidak bisa ditangani rumah sakit. "Mbok ya direlain pasien datang ke pengobatan lain," ujar Indira, yang merasakan manfaat terapi Warsito.

Rela atau tidak rela agaknya bukan itu soalnya. Menurut Evalina Suzanna dari Perhimpunan Onkologi Indonesia, ada ratusan pasien Warsito yang datang ke rumah sakit dalam kondisi memburuk. Mantan pasien Warsito yang ditangani di RS Dharmais biasanya permukaan kulitnya hangus terkena panas listrik. "Sel-sel kankernya tidak mati, malah menyebar luas," katanya. "Inilah yang harus diteliti." Pemerintah, Evalina menambahkan, harus bisa menjamin keamanan terapi pengobatan, apalagi yang menggunakan terminologi medis seperti klinik.

Demi menjernihkan kontroversi, Desember tahun lalu, Kementerian Kesehatan membentuk Tim Review Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) dan Electrical Capacitive Cancer Therapy (ECCT), dua alat ciptaan Warsito. Alat ECCT adalah jaket listrik pembunuh sel kanker. Lalu ECVT pemindai empat dimensi yang sanggup memantau keberadaan sel kanker.

Anggota Tim Review cukup komprehensif. Barisan ahli datang dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga, Perhimpunan Onkologi Indonesia, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Berbagai aspek dievaluasi. Hasilnya, ECCT dan ECVT belum terbukti aman dan bermanfaat. "Kalau tetap digunakan bisa berakibat buruk pada pasien," ujar Siswanto, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan.

Kanker adalah sel enigmatik, penuh teka-teki. Keganasan, variasi mutasi, juga kecepatannya berlipat ganda, belum sepenuhnya dipahami. Pasien berkejaran dengan waktu. Jika tak segera ditangani dengan tepat, kanker bakal menyebar secara sistemik terbawa aliran darah ke sekujur tubuh. Itu sebabnya semua alat terapi harus teruji secara klinis dengan benar. "Tak bisa main-main," katanya.

Alat ciptaan Warsito memang inovasi yang layak diacungi jempol. Warsito pun mendapat berbagai penghargaan, antara lain Tokoh Tempo 2006 dan B.J. Habibie Award pada 2015. Namun, untuk bisa diterapkan pada manusia, "Tetap harus mengikuti prosedur," ujar Siswanto. ECCT wajib menjalani uji praklinis dan, jika terbukti positif bagi penyembuhan kanker, penelitian boleh berlanjut ke tahap uji klinis pada pasien manusia.

Pemerintah kemudian menganjurkan ribuan pasien lama Warsito kembali ke pengobatan medis. Delapan rumah sakit siap menampung, yakni RS Hasan Sadikin, RS Dr Karyadi, RS Cipto Mangunkusumo, RS Sanglah,RS Persahabatan, RS Sardjito, RS Dr Soetomo, dan RS Kanker Dharmais. "Namun, jika pasien tetap ingin menggunakan ECCT, kami juga tidak bisa melarang," kata Siswanto.

Warsito pun tidak menentang keputusan Tim Review. Dia meminta pasiennya mengembalikan alat jaket listrik yang ia pinjamkan dan kembali pada terapi medis. Tapi, hingga awal April lalu, hanya seperempat dari 3.000 pasien yang mengembalikan jaket ECCT. "Sudah kami telepon satu per satu, hanya seperempat yang mau," ujarnya.

Namun validitas data pasien ini pun menjadi pertanyaan. Kelengkapan data pasien ini pula yang dituding membuat kontroversi makin keruh. Siswanto menyebutkan berulang kali pemerintah meminta data 3.000 pasien Warsito, tapi hanya ratusan data yang diserahkan. Itu pun hanya berupa daftar nama dan alamat. Tak ada riwayat perjalanan penyakit, tahapan biopsi, roentgen, atau serial tes darah, yang layak disebut rekam medis. Akibatnya, Kementerian kesulitan menguji validitas protokol pengobatan ala Warsito.

Warsito bukannya tak pernah menguji alat temuannya. Penelitian pertama, 2010, uji laboratorium membuktikan bahwa ECCT menyusutkan sel kanker. PT Edwar Technology, perusahaan milik Warsito, pun menghubungi pemerintah untuk meminta arahan. Permintaan ini disambut Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, yang menerbitkan surat "Persetujuan Etik", Maret 2012, yang berisi kesepakatan uji protokol terapi ECCT pada pasien yang menjalani terapi. Selagi uji protokol berlangsung, Warsito tidak boleh menerima pasien baru. Sayangnya, uji protokol ini berhenti di tengah jalan. Salah satu sebabnya, menurut Siswanto, pihak Warsito tidak terbuka memberikan data pasien.

Merasa menemui jalan buntu, PT Edwar berinisiatif melakukan penelitian sendiri, uji praklinis sampai uji klinis, dari sel di laboratorium, diterapkan pada hewan, sampai diterapkan pada manusia. PT Edwar juga melakukan pelayanan-ini istilah Warsito-terhadap ribuan pasien kanker. Mereka inilah yang menjadi subyek penelitian. "Semua tahap penelitian kami lakukan bersamaan," katanya.

Tahap riset ini disorot Tim Review. Selain data rekam medis tak lengkap, "Penelitiannya berlompatan tidak sesuai dengan tahapan seharusnya," ucap Siswanto. Penerapan pada manusia, misalnya, harus bertahap. Dari grup kecil, lalu dievaluasi panel ahli, baru diterapkan pada grup yang lebih besar.

Ihwal penerapan pada manusia, dalam jumlah ribuan, Warsito punya penjelasan. Alat ECCT dan ECVT hanya berdaya rendah, 15 volt, yang tidak membahayakan. Karena yakin alat bervoltase rendah ini aman, PT Edwar pun percaya diri menerapkan pada manusia. "Tinggal mengurus izin edar," kata Warsito.

Para ahli berbeda pendapat soal ini. Alat ECCT memang benar bervoltase rendah dan karenanya tidak berbahaya. Namun, menurut Edi Setiawan Tehuteru, dokter ahli kanker di RS Dharmais, penggunaan jaket Warsito ini telah membuat banyak pasien memiliki harapan semu. Seperti diketahui, sejauh ini terapi medis yang menjadi andalan dunia kedokteran adalah operasi bedah dan kemoterapi. "Siapa sih yang enggak jeri badannya dioperasi lalu digempur kemoterapi sampai rambut rontok? Lebih enak pakai jaket, kan?" ujar Edi. Padahal jaket itu belum terbukti efektif membunuh kanker. Harapan semu yang dibawa jaket itu boleh jadi harus ditebus dengan harga mahal: kanker menyebar luas secara cepat dan jiwa pasien pun melayang.

Terlepas dari berbagai kelemahan, inovasi Warsito tetap layak didorong dan diapresiasi. Menurut Siswanto, Kementerian Kesehatan serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sepakat meneliti alat ciptaan Warsito. Proposal penelitian sedang digodok dan semua tahap pengujian akan dimulai dari awal. Warsito pun tak keberatan. "Ya, mau bagaimana lagi?" katanya. Sebuah jalan tengah yang layak ditempuh.

Nur Alfiyah, Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus