Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gergasi di Pusat Dunia

Di Chongqing, kemajuan ekonomi, keindahan alam, dan sejarah masa silam berkait-kelindan. Porak-poranda pada masa perang.

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kota ini saya hanyalah liliput: seorang pendatang di antara pencakar langit, jembatan raksasa, beton, dan gunung-gemunung.

Orang-orang berjalan di antara gerimis, kabut, dan angin musim semi. Jalan bebas hambatan bersilangan satu sama lain, tempat ribuan mobil menyemut pada jam sibuk. Kereta api melintas di sisi Sungai Jialing yang hijau airnya. Dua jalan raksasa saling susun di tepi lain bengawan itu.

Saya berdiri di perempatan Jalan Huanghuayunda, di pusat Kota Chongqing, Cina Barat Daya. Liu Jiamin, 59 tahun, penerjemah yang menemani saya hari itu, bergegas menuju Volkswagen Touran, yang membawa kami berkeliling. Saya berjalan lambat di belakangnya. Makanan yang saya santap di restoran, tak jauh dari tempat saya berdiri, memenuhi setiap sudut lambung. Siang itu saya tak lincah bergerak.

Sepintas, kota ini mirip New York, Amerika Serikat. Yang membedakan adalah lanskapnya yang berbukit, naik-turun. Berada di lembah, saya menyaksikan pencakar langit yang didirikan di atas bukit-congkak seperti gergasi. Gedung-gedung modern berpadu dengan bangunan bergaya Ba-Yu-rumah tradisional dengan ujung atap lentik melengkung, disusun menyerupai menara. Dari ketinggian, saya menyaksikan kota, jalan silang sengkarut di antara lembah dan sungai lebar.

Chongqing adalah gergasi dalam pengertian sesungguhnya. Ini kota praja (municipality) terbesar di Cina. Luasnya 82.400 kilometer persegi, kira-kira 2,5 kali Provinsi Jawa Barat. Bersama Beijing, Shanghai, dan Tianjin, Chongqing dikelola oleh pemerintah pusat. Keempatnya merupakan kota industri yang diandalkan pemerintah Cina.

Meski luas terhampar, tak semua wilayah Chongqing area urban. Kawasan metropolitan hanya 5.500 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 18 juta jiwa. Sedikit lebih kecil dari Jakarta tapi dengan jumlah penduduk hampir dua kali lipat. Itu sebabnya gedung permukiman berdesak-desakan dengan perkantoran, hotel, dan pusat belanja. Apartemen kumuh menjulang sama tinggi dengan gedung kantor mewah. "Beberapa bangunan lama dibongkar karena sudah tua," kata Jiamin sambil menunjuk seonggok reruntuhan.

Chongqing adalah kota tempat bertemunya dua sungai besar dan empat gunung menjulang. Jialing dan Yangtze, dua sungai raksasa yang menjadikan kota terbelah dalam beberapa bagian. Empat gunung-Daba di utara, Wu di timur, Wuling di tenggara, dan Dalou di selatan-menjadikan Chongqing didera hujan malam hari terutama pada akhir musim semi dan awal musim panas.

Di titik pertemuan Jialing dan Yangtze, kedua sungai berbeda warna: Jialing hijau lumut dan Yangtze cokelat. Menurut Jiamin, cokelat Yangtze disebabkan oleh endapan lumpur sungai yang terbentuk oleh Bendungan Tiga Ngarai (Three Gorges), nun 630 kilometer di sebelah timur.

Sisi kedua sungai menyimpan sejarah panjang.

Sore itu Jiamin membawa saya menyusuri pasar purba di kawasan Ciqikou. Awalnya pasar ini jalan masuk ke pelabuhan kecil di sisi Sungai Jialing. Pelabuhannya lama tak berfungsi, tapi pasar berupa jalan sempit itu tetap hidup hingga kini.

Usianya diperkirakan 1.000 tahun. Dulu di tempat itu terdapat banyak perajin porselen. Sekarang kiri-kanan jalan selebar tak lebih dari 10 meter itu dipenuhi pedagang makanan dan pelbagai pernak-pernik. Pada akhir pekan, pasar itu dipenuhi turis.

Menurut Jiamin, lantai batu yang kami jejaki tak berubah hingga kini. Juga beberapa bangunan. Ia menunjuk sebuah dinding tua toko suvenir yang temboknya terkelupas. Di balik plester itu terlihat anyaman bambu seperti geribik. Ia meyakini tembok bambu itu peninggalan masa lalu.

Beraneka ragam makanan dijajakan di pasar tersebut. Di satu sudut dijual jiaohuaji, bahasa Mandarin untuk ayam pengemis (beggar's chicken).

Makanan ini lahir dari pelbagai versi legenda masa silam. Salah satunya adalah cerita tentang pengemis lapar pada zaman dinasti Qing yang mencuri ayam milik penduduk desa. Pemilik ayam mengejar pencuri hingga ke tepi sungai. Untuk menghilangkan barang bukti, pencuri itu menyembunyikan ayam di endapan lumpur. Karena didera lapar, setelah petani pergi, sang pencuri membakar ayam berlapis lumpur dalam kobaran api.

Kaisar yang mengetahui kejadian tersebut mencicip ayam yang telah masak. Terkesan oleh gurihnya, ia kemudian memasukkan jiaohuaji ke daftar menu kerajaan. Pada masa sekarang, ayam diberi bumbu, dibungkus daun teratai dan kertas sebelum dilumuri lumpur dan dibakar.

Minggu sore itu Ciqikou sesak oleh pengunjung. Ratusan orang, mungkin lebih dari seribu, menyemut di pasar itu. Para penjual berteriak menjajakan makanan. Di beberapa sudut, pengunjung berkerumun menonton makanan dibuat. Didirikan sekitar 998-1004, pada masa dinasti Song, sebuah sajak lama pernah mendeskripsikan pasar itu: "tempat seribu orang saling menyapa pada siang hari... 10.000 lampu berkelip pada malamnya.…"

* * * *

PADA saat perang anti-Jepang (1937-1945), Chongqing menjadi pusat pemerintahan Chiang Kai-shek, pemimpin nasionalis Republik Cina. Kota ini dipilih karena dianggap cukup aman dari serangan Jepang. Lokasinya yang relatif jauh dari Tokyo dan alamnya yang bergunung-gunung menyembunyikan penduduk dari serangan. "Cuaca Chongqing yang berkabut juga menyulitkan Jepang," kata Jiamin.

Namun Chongqing tak bisa terhindar dari bombardemen musuh. Kota porak-poranda. Penduduk yang selamat umumnya menyuruk di bunker bawah tanah. Saat ini beberapa rumah persembunyian dialihfungsikan menjadi restoran.

Ditabalkan menjadi kota pahlawan, tak ada sisa perang di Chongqing. Kota raksasa itu telah bersalin rupa menjadi metropolitan yang sibuk. Ratusan pabrik tumbuh menyusul tekad Cina menjadi raksasa ekonomi dunia pada pemerintahan Deng Xiaoping.

Saat ini Chongqing merupakan pusat industri laptop dunia. Di sini diproduksi setidaknya sepertiga suplai laptop sejagat. Saban tahun 65 juta laptop diproduksi. "Semua merek. Hewlett-Packard, Acer, dan lain-lain," kata Jiamin.

Chongqing juga merupakan pusat produksi sepeda motor Cina. Empat puluh persen dari total produksi motor Tiongkok dibikin di sini. Dari 36 pabrik, pada 2014, setidaknya 8,5 juta motor telah diproduksi.

Ekonomi Chongqing melesat meninggalkan Cina secara keseluruhan. Pada 2015, sementara pertumbuhan ekonomi Cina 6,9 persen, Chongqing melaju 11 persen.

Menyadari posisinya yang jauh dari laut, Chongqing mengembangkan jalan dan jalur kereta sebagai alternatif transportasi. Di kawasan ini, seperti juga kebanyakan tempat lain di Cina, boleh dibilang tak ada jalan berlubang. Rel kereta api dibangun dari barat ke timur dan dari utara ke selatan. Chongqing memang mendeklarasikan diri sebagai daerah transit perdagangan dunia via jalur darat.

Jiamin memberi ilustrasi. Katanya, lewat laut barang yang dibawa dari Shanghai-kota di sisi laut Tiongkok Timur-ke Eropa membutuhkan waktu 40 hari. Mengambil lajur kereta lewat Chongqing hanya perlu 14 hari. "Adapun dari sini ke Vietnam," kata Jiamin, "cuma dibutuhkan dua hari."

Chongqing merupakan bagian penting dari penerapan prinsip One Belt One Road. Lewat prinsip ini, Cina ingin menjadi pusat perdagangan dunia dengan mengembangkan jalur transportasi ke barat dan selatan. Pada saat pemerintahan Xi Jinping, dikembangkan jalur transportasi ke negara-negara Eurasia dan Eropa (Barat) serta ke Asia Tenggara dan Asia Selatan hingga Afrika (Selatan).

Matahari tenggelam di dermaga Sungai Yangtze. Kota bertambah ramai: muda-mudi duduk di undak-undak tangga yang menjulur turun ke arah bengawan. Beberapa orang memainkan pesawat terbang yang dikemudikan dengan remote control. Suara musik dan karaoke pinggir jalan berdentam-dentam.

Berada di kota produsen gawai dunia, saya melirik iPhone dalam genggaman. Tertulis: "Made in China". Membantu segala urusan selama 24/7, hari itu boleh jadi saya telah membawanya pulang kampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus