Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nabi Yunus dan Paus Sungai Yangtze

TERBENTANG 6.300 kilometer dari barat ke timur Tiongkok, Sungai Yangtze adalah denyut nadi bangsa Cina. Sejak beribu tahun silam, bengawan ini merupakan sarana transportasi manusia dan barang selain tapal batas yang memisahkan Cina bagian utara dan selatan.

Yangtze juga saksi sejarah tenggelamnya kota-kota di sepanjang sungai akibat pembangunan Bendungan Tiga Ngarai. Demi listrik dalam jumlah besar, naiknya permukaan sungai menghancurkan banyak situs purbakala dan mengubah kehidupan lebih dari satu juta warga Tiongkok.

Wartawan Tempo Arif Zulkifli selama tiga hari, pada pertengahan April lalu, mengarungi Sungai Yangtze. Reportase dari Chongqing di Cina Barat Daya hingga Yichang di Provinsi Hubei: cerita tentang penduduk yang direlokasi, museum-museum yang menyimpan sejarah panjang, dan alam dengan keindahan yang tak tepermanai.

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DISKUSI hangat itu terjadi di ruang tamu lantai dua kediaman Tong Hu Li, pertengahan April lalu. Lelaki 53 tahun itu adalah petani yang direlokasi karena kampungnya di Feng Du, di tepi Sungai Yangtze, Cina, terendam air akibat pembangunan Bendungan Tiga Ngarai (Three Gorges).

Di depannya, 15 turis Amerika duduk di kursi plastik dalam formasi melingkar. Tak berbahasa Inggris, Tong berbicara dengan bantuan Three Shi, seorang pemandu.

Mengunjungi Tong merupakan salah satu kegiatan para turis yang mengarungi Yangtze, sungai terpanjang ketiga di dunia. Berlayar dari Chongqing di Cina Barat Daya hingga Yichang di Provinsi Hubei, Feng Du adalah perhentian pertama para pelancong.

Lebih dari satu juta orang mengungsi akibat rumahnya terendam air. Tong termasuk beruntung: ia hanya pindah beberapa kilometer dari rumah asalnya. Tiga generasi menjadi petani, kini Tong bekerja sebagai penjaga keamanan. "Pernah juga jadi tukang ojek," katanya dalam bahasa Mandarin.

Beberapa turis, umumnya di atas 70 tahun, bertanya tentang rumah Tong yang dianggap terlalu mewah untuk seorang satpam: mirip ruko, kediaman itu berlantai empat dan dilengkapi basement. Di ruang tamu berlantai keramik itu terdapat televisi besar dan lemari es dua pintu.

Tong menjelaskan bahwa rumah itu ia dapat dari uang pengganti yang dibayar pemerintah. Rumah lamanya 170 meter persegi. Rumah baru 400 meter persegi.

"Berapa harga rumah ini?"

"Berapa penggantian pemerintah untuk rumah lama Anda?" beberapa turis bertanya.

Tong menyebut 50 ribu yuan, sekitar Rp 100 juta, untuk rumah lama. Rumah baru ia bangun dengan biaya 160 ribu yuan.

"Dari mana Anda membayar sisanya?" turis lain menyergah.

Tong menjawab agak panjang. Sesekali ia berdiskusi dengan Three. Tapi jawaban itu tak memuaskan. Ruth, nenek asal Carolina Utara, Amerika Serikat, menunjukkan mimik tak senang. Ia mengacungkan tangan berkali-kali. Suaminya yang duduk di sebelah menenangkan. "Calm down," katanya setengah berbisik.

Beruntung ada Liu Jiamin, 59 tahun, penerjemah lain yang menemani saya sejak hari pertama perjalanan.

Jiamin telah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai pemandu di biro perjalanan pemerintah. Bahasa Inggrisnya bagus-nyaris tanpa aksen. Sejak sehari sebelumnya ia sudah menjelaskan kepada saya perihal mekanisme pembayaran ganti rugi.

Pada dasarnya, kata Jiamin, semua tanah di Cina milik negara. Meski demikian, jika ada bangunan digusur dan tanah disita, pemerintah akan memberikan kompensasi.

Dalam kasus Tong, pemerintah membayar 50 ribu yuan untuk rumah dan tanah. Pemerintah juga memberi 20 ribu per orang dalam tiap keluarga. Di luar itu masih ada 2.200 yuan untuk biaya pindah. Total Tong mendapat 150 ribu yuan. Ia mengaku menggunakan tabungan dari penghasilannya sebagai pemborong untuk menambal kekurangan.

Penjelasan Jiamin meredakan ketegangan. Tapi pertanyaan tak berhenti. Turis lain meminta Tong menjelaskan adakah teman-temannya yang tak puas terhadap skema uang pengganti. Tong menggeleng. "Semua puas," katanya.

"Apakah Anda kangen rumah lama?"

"Saya tak kangen. Rumah itu jelek."

Karena mereka terkesan membela pemerintah, beberapa turis menunjukkan mimik tak senang. Ruth memandang ke arahku. "Saya tetap tak puas. Tapi saya menyerah," katanya.

Lalu giliran Tong mengajukan pertanyaan. "Benarkah di Amerika banyak perampok? Saya menontonnya di televisi."

Sejumlah orang tertawa. Beberapa nenek terpancing untuk menjelaskan dengan berapi-api bahwa televisi tidak sepenuhnya menggambarkan kenyataan.

Pertemuan hampir satu jam itu berakhir menjelang sore. Tong mengantar tamunya ke halaman.

* * * *

PERJALANAN itu ditempuh dalam waktu tiga hari. Menempuh 630 kilometer, Chongqing-Yichang merupakan rute yang lazim dilalui turis. Arah sebaliknya, akibat melawan arus, memakan waktu satu hari lebih lambat.

Saya menumpang Victoria Lianna, kapal berbobot 4.576 ton. Dimiliki oleh warga Amerika asal Cina, tujuh kapal Victoria melayani rute itu-juga sebaliknya-setiap hari. Menuju Shanghai, kota paling hilir dari aliran Yangtze, Victoria hanya menyediakan satu kapal per pekan. Selain Victoria, terdapat beberapa kapal lain yang melayani rute yang sama. Tak banyak pelayaran komersial ke arah hulu. "Jalurnya menyempit sehingga sulit dilalui," kata Jiamin. Berawal di pegunungan Tibet, Sungai Yangtze terbentang 6.300 kilometer dari barat ke timur-tiga perempat jarak dari Sabang sampai Merauke.

Sejak zaman baheula, Yangtze menjadi jalur transportasi pedagang dan pelintas. Jauh dari laut dan minimnya transportasi darat di Cina bagian tengah, Yangtze menjadi satu-satunya pilihan selain Sungai Kuning di sebelah utara.

Bagian paling sulit bagi pelintas dengan kapal tanpa motor adalah perjalanan melawan arus ke hulu. Di beberapa bagian, aliran sungai deras menghunjam. Perahu yang lewat terpaksa ditarik dengan tambang dari pinggir bengawan-dari tebing-tebing terjal atau sisi berbatu besar.

Para penarik, yang jumlahnya bisa puluhan, mengutip upah untuk jasa itu. Gesekan tambang berulang-ulang menggerus batu-batu di pinggir sungai hingga menyerupai pahatan memanjang. Sepotong batu besar dengan ceruk bekas gesekan dipamerkan di Museum Chongqing. Di dekatnya terdapat patung sejumlah lelaki tanpa baju sedang menarik kapal.

* * * *

SERULING Victoria Lianna berteriak tiga kali. Jam menunjukkan pukul 21.00. Kota Chongqing berpendar oleh cahaya. Keramaian di dermaga belum juga surut.

Saya menempati kamar di lantai lima. "Mereka menaikkan kelas kamarmu," kata Jiamin. Seharusnya saya menginap di kabin berukuran 19,6 meter persegi dengan tarif US$ 400 (sekitar Rp 5 juta) untuk tiga malam. Mengetahui saya wartawan dari Jakarta, pengelola kapal memindahkan saya ke kabin eksekutif yang ukurannya sedikit lebih besar.

Kamar baru itu terletak di pojok, memiliki dua dinding kaca berpenutup gorden yang langsung menghadap ke luar. Kabin memiliki kamar mandi dengan bak rendam dan penyejuk udara. Semua bilik di kapal itu memiliki teras selebar satu meter yang menjorok ke arah luar.

Seperti halnya kapal pesiar, Victoria menyediakan semua kebutuhan bagi para penumpang. Selain dua restoran di lantai dua dan enam, terdapat bar, salon, dan ruang hiburan. Ada pula pusat kebugaran, kamar pijat, dan ruang judi. Hampir setiap dek menyediakan ruang terbuka untuk memandang ke luar.

Setidaknya 100 kru bekerja di Victoria setiap trip. Kapal dipimpin oleh Kapten Qiu Haifeng, lelaki ramah berusia 43 tahun. Pada hari kedua, ia mengajak saya ngobrol di ruang judi yang pada malam itu tak bertamu. Jiamin ikut serta. Juga dua kru Victoria.

Qiu bercerita tentang suka-duka mengemudikan kapal di sungai. Tak seperti kapten kapal laut yang harus waspada pada ombak besar, kapal sungai berlayar di air yang tenang. Namun sungai yang berkelok-kelok menjadikan kapal mudah berubah arah. "Saya juga harus waspada terhadap kedalaman sungai," kata Qiu.

Sebagai kapal pesiar, Victoria tak kesulitan dengan pasokan logistik. Setiap hari kapal mendapatkan bahan makanan segar dan barang kebutuhan lain ketika bersandar di pelabuhan.

Air untuk penumpang diambil dari sungai setelah dicuci dengan mesin pemurni. Qiu membawa saya ke palka untuk melihat mesin tersebut. Seukuran mobil pick-up, alat itu menderu-deru menguarkan bau solar yang menyengat. Melewati mesin pemurni, air di wastafel dan shower kamar mandi memang beraroma kaporit.

Keselamatan penumpang, menurut Qui, merupakan prioritas utama. Jaket pelampung tersedia di banyak sudut di koridor dek, juga di lemari dalam kamar. Kapal bergerak sangat perlahan. Maksimal kecepatan cuma 28 kilometer per jam.

Pengelola Victoria tampaknya tak ingin mengulang pengalaman kapal Eastern Star yang terbalik di Provinsi Hubei, Juni tahun lalu. Dihantam hujan dan petir serta kerusakan mesin, kapal miring hingga akhirnya terbalik dan tenggelam. Sebanyak 456 penumpang tewas, sebagian besar turis lokal. Hanya 14 orang yang selamat, termasuk kapten dan juru mesin.

* * * *

TERINGAT teman dari Jakarta, pukul lima saya terjaga. Katanya lewat pesan pendek: menikmati Yangtze, bangunlah pagi hari. Nantikan matahari menyentuh tebing sungai.

Di luar masih gelap-gulita. Saya duduk di dek paling atas. Lantai dan kursi basah oleh embun. Udara musim semi mempertahankan cuaca pagi pada suhu yang masih bisa ditenggang tubuh: 15 derajat Celsius.

Sejak semalam kapal sandar di dermaga Feng Du. Bayang-bayang kota membentuk siluet raksasa. Di timur, sebuah tebing terjal gagah mengangkang. Di puncaknya, pagoda kecil tertidur tenang.

Lalu surya perlahan-lahan naik. Sinar merahnya membangunkan seisi kota. Juga pagoda itu. Ketika matahari makin tinggi, kuil tersebut seperti makhluk mungil yang menghalang-halangi matahari merah itu memamerkan sinarnya.

Permukaan Yangtze berpendar-pendar. Dari atas kapal, sungai lebih tampak seperti telaga. Tak ada gelombang. Hanya riak halus di permukaannya-seperti barisan serangga di hamparan lumut hijau.

Terbentuk sejak jutaan tahun lalu, Yangtze adalah keindahan tak tepermanai. Tiga ngarai-potongan sungai menyempit dengan dinding terjal menjulang hingga 1.500 meter di kiri-kanannya-adalah bagian terpenting perjalanan ini.

Mula-mula adalah Ngarai Qutang. Ini adalah ngarai terpendek, hanya 8 kilometer. Terletak di Desa Fengjie, Provinsi Chongqing, lebar sungai pada ngarai ini 100-200 meter. Puncak Bailin dan puncak Chijia-dua tebing menjulang di kiri-kanannya-membuat kapal Victoria terasa seperti keledai malas yang memasuki pintu raksasa.

Gerbang itu tersusun dari gunung yang berlipat-lipat. Cahaya matahari menimpa satu sisi jabal dan mengabaikan sisi lainnya: meninggalkan warna hijau terang dan gelap berganti-ganti. Tengadah ke atas di antara celah sempit, dua sisi gerbang seperti hamparan sutra hijau yang diambrukkan dari langit. Terbentang di atas permukaan yang naik-turun.

Di ujung tahang itu, kapal berhenti. Penumpang dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil terdiri atas 20 orang. Kami diarahkan ke kapal-kapal bermotor dengan atap rumah tradisional Cina.

Beriringan kapal menyusuri anak Sungai Yangtze ke arah hulu. Makin kecil perahu yang kami tumpangi, makin raksasa terasa alam di sekeliling. Seorang pemandu perempuan menjelaskan perjalanan dengan bahasa Inggris beraksen Mandarin.

Sampai di sisi tebing terjal, penumpang diminta turun. Sejumlah penari dari suku Tujia-etnis minoritas Tiongkok-menyambut di atas dermaga yang terbuat dari pelampung plastik yang disusun rapi. Mereka menyanyi dan menarikan bai shou wu, tarian selamat datang. Banyak pelancong yang ikut bergoyang, menggerakkan badan dalam formasi melingkar.

Ngarai Wu kami lewati menjelang sore. Terbentang 45 kilometer, tahang itu terbagi dalam dua bilah: sisi timur dan barat. Ngarai ini lebih lebar daripada ngarai sebelumnya. Karena luasnya, Wu kerap juga disebut Ngarai Besar.

Ngarai terpanjang adalah Xiling, 66 kilometer. Kami sampai di kawasan ini pada hari ketiga. Sejak pagi, cuaca di Nanjiguan, dekat Yichang, sudah penuh kabut. Geladak kapal basah oleh gerimis. Angin kencang yang menimpa bendera, jaket, atau apa pun yang berkibar, menimbulkan suara gemuruh. Saya menaikkan tudung kepala pada wind breaker hitam yang saya pakai. Orang-orang berteduh di sisi geladak yang dilindungi atap.

Victoria bergerak perlahan memasuki mulut ngarai. Jarak pandang menipis. Gerimis mempercepat kelam. Kabut mengubah gunung-gunung menjadi lukisan cat air dengan warna pucat. Kami seperti Yunus yang bergerak perlahan memasuki mulut ikan paus. Semakin ke dalam, semakin temaram.

Di sekeliling: gunung tanpa suara.

* * * *

TIGA lelaki bertelanjang dada di tepi sungai. Yang paling tua, 63 tahun, memperkenalkan diri sebagai Dah. Dua lainnya lebih muda dan gagah. Ada pula perempuan berpayung, duduk menunggu. Gerimis turun di Yichang, kota terakhir dalam perjalanan panjang ini.

Mereka adalah anggota klub yang saban sore merenangi Sungai Yangtze. Dari sisi yang satu, mereka mengayuhkan lengan hingga ke sisi lain-lebih dari 1.000 meter. "Tak peduli musim dingin, mereka tetap berenang," ujar Gerry Feng, pemandu yang menemani saya, menggantikan Jiamin, yang kembali ke kota asal. Permukaan Yangtze, menurut Gerry, tak pernah menjadi es, bahkan pada musim dingin. Arus sungai yang kuat membuat es tak pernah terbentuk. Itu sebabnya tak pernah ada kata absen bagi Dah dan kawan-kawan.

Satu per satu mereka mencebur ke air dingin. Makin jauh mereka berenang, makin tak terlihat pelampung oranye yang menggantung di pinggang. Hujan turun semakin deras. Tubuh ketiganya hilang dalam kabut.

Yichang adalah bagian hilir dari Bendungan Tiga Ngarai yang satu jam sebelumnya saya lalui. Bendungan terbesar di dunia itu menahan sedimen hingga air sungai menjadi lebih jernih. Lumpur juga tertahan di telaga-telaga penampung yang terbentuk berkilo-kilometer sebelum dam.

Bendungan Tiga Ngarai dibangun pada 1993-2009. Ini adalah ide besar yang muncul sejak Cina masih dipimpin Sun Yat-sen, pemimpin nasionalis Cina. Pada 1944, pemerintah Cina sempat mengundang seorang insinyur Amerika untuk melakukan studi awal. Darinya kemudian lahirlah The Preliminary Report on The Project of Yangtze Three Gorges.

Idenya adalah membuat bendungan untuk tiga kegunaan: pembangkit listrik, pencegah banjir, dan navigasi. Memakan biaya Rp 360 triliun, Bendungan Tiga Ngarai menghasilkan listrik 18.200 megawatt-pembangkit tenaga air terbesar di dunia saat ini.

Kawasan Sandouping, tempat Bendungan Tiga Ngarai berada, dipilih sebagai lokasi karena topografinya yang mendukung. "Bukit yang rendah di kiri-kanannya mempermudah konstruksi," kata Lu Jin dalam buku Three Gorges Project in China. Tanah Sandouping yang mengandung granit dapat memperkokoh bangunan selain tak mudah ditembus air.

Pada hari terakhir perjalanan, pengelola dam mengizinkan saya naik ke pundak proyek raksasa itu. Terbentang dari ujung sungai yang satu ke ujung yang lain, panjangnya 2,3 kilometer. Di ketinggian 180 meter dari permukaan sungai, Yangtze tampak seperti telaga raksasa. Lebar bendungan hampir setengah kilometer. Di bawah saya, 26 turbin bekerja 24 jam untuk menghasilkan setrum.

Tak seperti Jiamin yang setuju dengan proyek itu, Gerry menolaknya. Katanya, semestinya pemerintah tak perlu membuat bendungan sebesar itu.

Korban bukan tak ada. Selain penduduk yang direlokasi, Bendungan Tiga Ngarai menenggelamkan banyak peninggalan masa silam. Salah satunya adalah Pulau Zhongbaodao, delta yang berada persis di lokasi bendungan.

Sejak 5.000 tahun lalu, pulau itu berfungsi sebagai kuburan. Dalam tradisi Tiongkok, ketika mati, seseorang dikubur dengan membawa barang berharga. Pemerintah memberi waktu dua tahun kepada para arkeolog untuk mengumpulkan artefak kuno sebelum pulau itu diuruk.

Hasilnya adalah 5.000 keping pernak-pernik masa silam yang kini tersimpan di Museum Yichang. Dari lukisan kuno, guci, hingga kerajinan logam terawat dengan baik di museum itu. "Masih ada koleksi lain yang tidak tertampung di sini," kata Rebecca Xiang, perempuan penjaga museum.

Rebecca menunjukkan sebuah gelas anggur dari perunggu dengan sungut di bibirnya. Gelas itu dulu dipakai untuk menjamu tamu. Jika sungut gelas menyentuh hidung saat anggur ditenggak, artinya anggur itu sudah tandas. Ini merupakan tanda bagi tuan rumah untuk menuangkan kembali anggur buat tamunya.

Plus-minus Bendungan Tiga Ngarai selalu hangat dibicarakan di antara masyarakat Cina. Jiamin, misalnya, mensyukuri pembangunan dam karena menyelamatkan jutaan warga Cina dari banjir. Sungai Yangtze beberapa kali pernah meluap. Pada 1954, diperkirakan 33 ribu orang tewas akibat bencana itu. Pada 1988, 3.700 orang tewas. Umumnya banjir di Yangtze disebabkan oleh hujan panjang pada musim panas.

Kapten Victoria Lianna, Qiu Haifeng, mengatakan, sebelum bendungan dibangun, kapal yang melalui Yangtze terkadang menggunakan bilah bambu untuk mengukur kedalaman bengawan. "Itu karena di beberapa bagian sungai teramat dangkal," katanya. Setelah ada bendungan, permukaan sungai naik hingga 175 meter.

Hujan sudah reda di Jalan Raya Xiling, pusat Kota Yichang. Saya dan Gerry bergegas meninggalkan museum menuju restoran di sebuah pusat belanja. Sore itu Gerry mengajak saya menyantap suan cai yu, sup ikan mas yang dimasak dengan bumbu daun mo-shi, jahe, merica, dan potongan cabai merah. Disajikan mendidih, asap mengepul di atas makanan itu.

Ditambah nasi putih, pelbagai lauk, dan teh hijau sebagai penutup, kami tak lagi berbicara tentang plus-minus Bendungan Tiga Ngarai. Didera lapar sejak siang, sore itu kami tenggelam dalam "sungai" yang lain: kelezatan kuliner Tiongkok.


Tiga Hari untuk Selamanya

MENYUSURI Sungai Yangtze dari Chongqing ke Yichang di Provinsi Hubei adalah perjalanan menyusuri masa silam sekaligus masa depan. Menumpang kapal Victoria Lianna yang bergerak perlahan, jarak 630 kilometer ditempuh dalam waktu tiga hari.

Sepanjang pelayaran, masa lalu datang silih berganti: kota-kota tua, pagoda, dan kuil-kuil. Menjelang kota tujuan, masa depan terhampar: sebuah bendungan raksasa yang memproduksi setrum dalam kapasitas gigantis (18,2 gigawatt).

Yangtze dan Bendungan Tiga Ngarai adalah kombinasi dua pesona dan satu kecemasan: keindahan alam, kemajuan teknologi, dan ambisi sebuah bangsa.

Yangtze dalam Angka
Panjang: 6.300 km (3/4 jarak Sabang-Merauke)
Kedalaman: hingga 200 meter
Area tangkapan air: 1.808.500 km2

Sungai Terpanjang Dunia
1.Nil (Mesir) - 6.650 km
2.Amazon (Amerika Latin) - 6.400 km
3.Yangtze (Tibet dan Cina) 6.300 km
4.Mississippi (AS) - 6.275 km
5.Yenisei (Siberia) 5.539 km
6.Kuning (Cina) 5.464 km
7.Ob (Siberia) - 5.410 km

Bendungan Tiga Ngarai
Negara: Cina
Lokasi: Sandouping, Yiling, Hubei
Pemanfaatan: Pembangkit listrik, pencegah banjir, navigasi
Tahun pembangunan: 1994-2003
Biaya: 180 miliar yuan (sekitar Rp 360 triliun)
Tipe: Bendungan grafitasi
Tinggi: 181 m
Panjang: 2.335 m

Lima Pembangkit Listrik Tenaga Air Terbesar Dunia
1.Tiga Ngarai (Cina) 18.200 megawatt
2.Itaipu (Brazil dan Paraguay) 12.600 megawatt
3.Grand Coulee (AS) 10.830 megawatt
4.Guri (Venezuela) 10.300 megawatt
5.Tucurui (Brazil) 8.000 megawatt

Dampak Pembangunan Bendungan Tiga Ngarai
Menenggelamkan 21 kota dan desa serta 28 ribu hektare lahan
1,13 juta orang direkolasi, menelan biaya relokasi 40 miliar yuan (Rp 80 triliun)

Tiga Tahap Pembangunan Bendungan Tiga Ngarai

Fase I (1993-1997)
Sebagian Sungai diuruk. Dasar sungai diperkuat dengan granit. Pulau Zhongbao yang berada di tengah sungai dihilangkan. Arus sungai dan kapal yang lewat tetap menggunakan alur utama.

Fase II (1998-2003)
Menguruk tengah sungai. Membangun bendungan. Kapal yang lewat dialihkan ke saluran sementara

Fase III (2004-2009)
Membangun bendungan di sisi kiri dan kanan. Limpahan air disalurkan lewat 23 gorong-gorong raksasa di bawah sungai yang kemudian digunakan untuk memutar turbin listrik. Kapal disalurkan melalui jalur khusus (shiplock). Tubin pembangkit bekerja penuh.

Kapal di Ceruk Sungai
Nama: Victoria Lianna
Tonase: 4.587 GT
Tahun pembuatan: 1995 diperbarui pada 2011
Panjang: 89,4 meter
Lebar: 16,4 meter
Kecepatan: 28 km/jam
Jumlah dek: 6 (4 untuk kamar penumpang)
Jumlah kru: 101
Kabin penumpang: 108
Kapasitas penumpang: 216

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus