Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyawa begitu mudah hilang di republik ini dalam jumlah yang banyak dan serentak. Hanya timbunan sampah yang longsor membuat seratus lebih korban terkubur hidup-hidup. Tepat sekali komentar Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, ini peristiwa yang sangat konyol dan memalukan, ini bukan bencana alam, tapi bencana buatan manusia.
Jika ditelusuri riwayat TPA Leuwigajah di perbatasan Bandung dan Cimahi itu, memang ada kesan musibah tersebut lebih banyak disebabkan keteledoran manusia. Setidak-tidaknya, kurang diperhitungkan datangnya bahaya yang disebabkan oleh longsornya sampah itu.
TPA Leuwigajah bukan pengolahan limpah sampah yang diproses secara terpadu, apalagi dengan mesin modern. Padahal di sini dibuang hampir 4.500 meter kubik sampah dalam sehari. Sampah itu datang dari Kota Bandung 3.000 meter kubik, Kabupaten Bandung 1.000 meter kubik, dan sisanya dari Kota Cimahi. Karena sampah diproses dengan cara tradisional, angkut-buang-tumpuk, lahan yang dihabiskan juga besar, sampai 23,6 hektare. Itu pun tak sanggup menampung sehingga terjadi bukit sampah yang tinggi.
Sampah yang dibuang secara kuno ini tidak memilah antara sampah organik dan non-organik. Akibatnya, kedua jenis sampah tak mau membaur dan menjadi padat, sehingga meninggalkan sela-sela yang renggang. Pada musim hujan, air masuk ke celah-celah ini. Tekanan air yang terlalu berat membuat gunung sampah tidak stabil. Itulah yang menyebabkan longsor yang menimpa perkampungan, yang celakanya berada di lereng bawah tempat sampah dibuang.
Musibah yang memprihatinkan ini sekarang menjadi bahan cemoohan pakar lingkungan, termasuk instansi yang mengurusi masalah analisis dampak lingkungan. Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat, Ade Suhanda Adnawidjaja, menyebut teknologi primitif di TPA Leuwigajah itu tak bisa lagi dipertahankan. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Denny Jasmara, mengingatkan bahwa longsornya tumpukan sampah itu sudah pernah terjadi sebelumnya, yaitu pada 1993, yang terulang pada 1994. Namun waktu itu hanya delapan rumah yang tertimbun, dan tidak ada korban jiwa. Sekarang perkampungan makin padat dan longsor terjadi pada malam hari, saat warga kampung terbuai mimpi, sehingga korban pun sangat banyak.
Musibah sudah terjadi, penyesalan selalu datang terlambat. Yang harus dipikirkan saat ini adalah bagaimana mengolah sampah perkotaan secara terpadu dengan meninggalkan cara kuno angkut-buang-tumpuk (open dumping). Teknologi pengolah sampah harus modern. DKI Jakarta bisa dijadikan contoh dalam hal pengadaan pengolah sampah modern itu. Sadar bahwa TPA Cilincing dan Bantar Gebang belum mampu memusnahkan sampah Jakarta, Pemerintah DKI Jakarta membangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di Bojong dengan mendatangkan mesin dari Jerman. Mesin ini bisa memilah sampah organik dan non-organik, sebelum proses pengolahan dilakukan. Hasil olahan sampah ini pun bisa dijadikan bahan pupuk dan bahan perekat (sejenis semen) yang nantinya bisa dimanfaatkan masyarakat.
Terlepas bahwa keberadaan TPST Bojong ini menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat sekitarnya, upaya mendatangkan alat pengolah sampah modern harus segera dipikirkan. TPA Leuwigajah diurus oleh tiga pemerintah tingkat dua, dua kota madya, dan satu kabupaten. Begitu sulitkah mengumpulkan iuran untuk mendatangkan mesin pengolah sampah yang canggih?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo