Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dilema SBY

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan, mulai 1 Maret ini. Sudah terlalu lama ditunda, karena banyak keberatan dan protes yang disuarakan sebelumnya. Setelah ini belum bisa diharap penyesalan atau ulasan pedas menentang kebijakan pemerintah akan berkurang. Sifatnya mungkin lebih politis. Pemerintah mesti siap dan tetap tekun menghadapinya.

Pada dasarnya setiap kebijakan pemerintah bersifat politis, atau punya imbas politik. Hal itu tak dapat dielakkan dan selalu harus dijadikan perhitungan ketika membuat keputusan. Pemerintah yang baik harus jeli dan sadar mengenai ini. Populer- tidaknya suatu kebijakan, besar-kecilnya dukungan atau tentangan yang didapat, bergantung pada kemampuan pemerintah mengelola dan mengarahkan pendapat umum. Dalam soal ini pemerintah terasa agak lemah dan kurang terampil berpolitik.

Pengertian dan kerelaan berkorban tidak datang dengan sendirinya dari masyarakat hanya karena pemerintah menganggap pertimbangannya sudah benar dan tepat, atau karena tidak ada lagi pilihan kebijakan lainnya. Kenaikan harga BBM memang tak terhindarkan, sudah jadi keniscayaan. Selama ini harga jual BBM yang dibeli masyarakat bukanlah harga sebenarnya, karena sebagian ditanggung oleh pemerintah dengan memberikan subsidi. Ketika harga minyak dunia naik, seperti sekarang, subsidi pun membengkak. Anggaran untuk subsidi ini?tahun ini diperkirakan Rp 53,4 triliun?jadi beban yang terlalu berat bagi negara.

Menghentikan subsidi untuk BBM berarti negara berhenti membantu "membayar" sebagian harga BBM yang dipakai umum. Beban harga BBM bergeser kembali jadi tanggungan masyarakat yang membelinya. Siapa membeli, harus membayar sendiri. Harga jual BBM pun jadi naik, bukan untuk menambah keuntungan Pertamina sebagai penjual, melainkan akibat subsidi yang berkurang. Jelaslah bahwa mengurangi subsidi dan menaikkan harga jual BBM adalah dua hal yang tampaknya bisa dibedakan, tapi sebenarnya tak bisa dipisahkan.

Namun, seberapa pun jelas persoalannya, konsumen pasti tidak akan rela begitu saja terpaksa membayar lebih mahal. Naiknya harga BBM memang tak berdiri sendiri, harga kebutuhan lainnya juga akan dipengaruhi. Kecuali minyak tanah, harga BBM naik 29 persen. Diperhitungkan bahwa subsidi akan dikurangi hingga akan menghemat anggaran Rp 13 triliun lebih. Penghematan ini masih terlalu kecil, karena mestinya tahun 2005 ini subsidi untuk energi tak perlu dianggarkan lagi. Sebab, Undang-Undang Program Pembangunan Nasional tahun 2000 sudah menetapkan bahwa subsidi energi harus jadi nol pada akhir tahun 2004.

Pemerintah agak kurang terampil meyakinkan cukupnya alasan ekonomi maupun alasan legal untuk menghapus subsidi BBM dari anggaran belanja negara. Uang untuk membantu membayar harga BBM sebenarnya uang rakyat juga. Kalau subsidi BBM dihapus, uang hasil penghematan itu harus digunakan untuk keperluan rakyat juga.

Sekarang pengurangan subsidi BBM diberi istilah yang lebih kena, yaitu realokasi subsidi.

Subsidi BBM?Rp 10 triliun?dipindahkan untuk membantu rakyat miskin di bidang pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok seperti beras. Ketidakpuasan belum bisa hilang, tentu saja. Efek realokasi subsidi ini tak bisa langsung dirasakan, dan tak dinikmati secara merata. Banyak yang tak akan memperoleh kompensasi subsidi pendidikan dan kesehatan, karena tak tergolong sebagai pihak yang membutuhkannya.

Ketidakpuasan lebih disulitkan ketika diwujudkan dalam bentuk tentangan politik. Di DPR, misalnya, Komisi Keuangan, Panitia Anggaran dan Komisi Energi secara garis besar masih menolak kebijakan menaikkan harga BBM. Alasannya, pemerintah harus lebih dulu menjamin: kompensasi benar dilaksanakan tepat sasaran untuk mengurangi kemiskinan, dampak kenaikan pada harga bahan kebutuhan pokok dikendalikan, kebocoran dan inefisiensi distribusi BBM bisa diatasi lebih dulu. Persyaratan itu masuk akal, tapi mustahil bisa dilaksanakan sebelum kenaikan harga BBM diumumkan.

Bila syarat ini tak dipenuhi, beberapa fraksi partai politik mengancam akan memberikan sanksi politik jika harga BBM tetap dinaikkan. Beberapa partai seakan-akan ingin lepas dari tanggung jawab memberikan pengertian akan keharusan naiknya harga BBM. Sikap ini amat janggal, mengingat sebagian besar partai politik itu?seperti Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PKS, PBB?ikut masuk di dalam pemerintah sekarang. Semestinya, sebagai anggota "koalisi", mereka mendukung setiap kebijakan pemerintah, yang juga dicerminkan pada sikap anggotanya di DPR. Kejanggalan ini bisa disebabkan oleh inkonsistensi partai politik, atau karena kegagalan Presiden Yudhoyono menggarap partai yang masuk kabinetnya.

Tak ada jalan tengah, atau jalan setengah-setengah, untuk penghapusan subsidi BBM ini. Jangan dilupakan, setiap kebijakan pemerintah mengandung segi politik. Maka SBY harus lebih rajin dan piawai membangun pengaruh politik di kalangan pemerintahnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus