Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kejahatan di Hutan Kita

Pembalakan liar merajalela. Perlu cara luar biasa untuk kejahatan yang menyebabkan kerugian negara besar-besaran ini.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH kejahatan besar yang telah merugikan negara ratusan triliun rupiah, yang sudah berlangsung hampir separuh umur Republik tanpa ada penindakan memadai: penjarahan kayu besar-besaran dari hutan kita. Dalam semenit, hutan seluas lebih dari dua lapangan sepak bola tandas ludes dibabat, hanya di Papua.

Tak perlu investigasi mendalam atau tim khusus terorganisasi untuk mengetahui kejahatan ini. Semua berlangsung terang-terangan, kasatmata. Tidak sulit menemukan truk pengangkut kayu haram itu. Dengan gampang kayu jarahan bisa ditemukan mengapung di sungai-sungai di pedalaman Kalimantan atau Papua. Kapal yang mengangkut barang curian itu sudah banyak pula yang ditangkap, tapi kemudian lolos (atau sengaja diloloskan) ke luar negeri.

Justru di sinilah letak kegawatan kejahatan ini. Keberanian pelakunya beraksi terang-terangan menyiratkan bahwa dia adalah orang atau kelompok yang sangat kuat. Ada kesan dia bisa mengatur agar hukum dan aparat tak berdaya menghadang aksi kolosalnya. Bisa juga dia merupakan bagian dari sebuah komunitas besar dan terorganisasi yang menjarah hutan demi kemakmuran bersama komunitas itu.

Mungkin mereka inilah yang disebut-sebut pemerintah sebagai cukong pembalakan liar kayu hutan. Para cukong ini kabarnya berjumlah 32 orang, tapi agaknya itu baru bagian kecil dari cukong yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan hutan yang begitu luas dan sulit diperbarui dengan cepat itu. Tindakan maksimal diharapkan diterapkan pemerintah atas orang-orang ini.

Tantangan dalam menindak mereka pasti besar. Dalam kejahatan "berjemaah" ini terlibat hampir semua aparat negara yang seharusnya mengupayakan pencegahan. Aparat polisi, militer, petugas pelabuhan, juga angkatan laut, pernah terlibat. Sejauh ini aparat yang bertugas hanya disebutkan sebagai "oknum", tanpa tindakan berat untuk mereka.

Penyebutan "oknum" untuk mengecualikan mereka yang terlibat dengan aparat yang "bersih" jelas tidak cukup. Lembaga-lembaga penegakan hukum, tempat "oknum" itu bekerja, mempunyai kewenangan untuk mengusut dan menindak. Sepatutnya si "oknum" dihukum berat dan diumumkan namanya di media massa agar masyarakat tahu bahwa hukum juga ditegakkan untuk aparat yang lancung dan berbuat salah.

Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya mendorong penindakan terhadap aparat yang bersalah. Banyak cara yang dapat ditempuh. Memberikan batas waktu kepada kepala polisi atau anggota kabinet yang anak buahnya terlibat penjarahan boleh-boleh saja dilakukan, namun harus ada "konsekuensi" untuk sang pejabat apabila batas waktu dilewati tanpa hasil yang jelas.

Pada awal pemerintahanannya, SBY memelopori apa yang dikenal sebagai kontrak politik dengan para pembantunya. Dia memberikan target-target tertentu yang harus dicapai dalam jangka waktu yang disepakati bersama. Kontrak politik itu dievaluasi setiap tahun. Dalam kasus pembalakan liar ini pun, kontrak politik semestinya bisa dicoba dilakukan.

Pemerintah bisa menetapkan target yang harus dicapai dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, harus dipastikan tidak ada lagi aparat yang terlibat urusan kayu haram itu. Apabila masih ada polisi, aparat kehutanan, pelabuhan, dan anggota militer yang terlibat, sang atasan harus rela menerima sanksi yang disepakati dalam kontrak politik. Kalau kesalahan yang terjadi luar biasa besar baik dari sisi kerusakan hutan maupun kerugian negara, sang pejabat harus rela menerima sanksi tertinggi, yaitu mundur dari jabatannya, bahkan dibawa ke pengadilan.

Kalau pemerintah tak tegas, kelak anak-cucu kita hanya akan melihat hutan tropis di foto atau di buku-buku sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus