Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT hujan deras turun, sungai di belakang rumah Eddy Manoppo akan meluap. Airnya lantas menggenangi ruang tamu yang digunakan Eddy, Henky Lasut, dan kawan-kawannya bermain bridge.
Waktu itu, 1968, kebanyakan rumah di Kelurahan Ranotana belum dialiri listrik. Sambil mengangkat kaki ke atas kursi, sekelompok pemuda di Manado bagian selatan itu melanjutkan permainan dengan diterangi lampu teplok semalam suntuk. Pagi harinya, kulit di sekitar lubang hidung mereka menghitam akibat tertempel jelaga yang dibawa asap lampu. Toh, semua itu bukan masalah bagi mereka.
"Bridge seperti candu buat kami," kata Henky saat menuturkan kembali cerita masa mudanya itu kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. "Di mana saja, apa pun keadaannya, rasanya ingin bermain terus."
Usia Henky kini 67 tahun. Rambutnya sudah memutih. Namun kesukaannya bermain bridge belum juga hilang. Bahkan, bulan lalu, dia memenangi Kejuaraan Dunia Bridge kategori pasangan senior di Sanya, Cina. Dia berpasangan dengan Eddy, yang dua tahun lebih tua darinya. "Sudah hampir 50 tahun saya bermain bridge, tapi baru kali ini saya dan Eddy menjadi juara dunia," ujar Henky.
Bermula dari keisengan, Henky dan Eddy jatuh cinta pada permainan kartu ini dan memutuskan menekuninya. Mereka belajar secara otodidaktik dari buku-buku soal bridge yang beredar pada 1960-an itu. Keduanya pun nekat menjadi penumpang gelap sebuah kapal yang membawa mereka dari Manado ke Surabaya demi bisa mengikuti kejuaraan nasional di Semarang pada 1969. Saat itu, mereka tak punya cukup uang untuk membayar tiket kapal.
Henky bertutur, dia dan Eddy harus membayar sendiri tiketnya karena pengurus bridge Manado hanya menanggung biaya perjalanan pemain-pemain yang masuk tim Manado. "Kami sebenarnya sudah ikut seleksi, tapi tidak dipilih. Hasil seleksinya pun tidak pernah dibuka," ujar Henky.
Keduanya pun masuk ke kapal tanpa membawa tiket, lalu bersembunyi di kamar mandi saat ada pemeriksaan. "Tapi akhirnya kami ketahuan juga dan disuruh membayar seadanya. Untung tidak diturunkan di pelabuhan Makassar," kata Henky.
Kenekatan pergi ke Semarang itu adalah awal karier mereka sebagai atlet bridge nasional. Baru pertama kali berkiprah di kejuaraan nasional, Henky/Eddy mampu menduduki peringkat kedua. Tapi, karena mereka bermain melebihi waktu yang ditentukan, poin keduanya dipotong sehingga posisi mereka turun menjadi keempat. Kendati demikian, hasil di Semarang itu telah membangun reputasi Henky/Eddy.
Dua tahun kemudian, pengurus bridge Manado meminta mereka ikut memperkuat tim Manado dalam kejuaraan nasional di Bandung. Saat itu, Henky berpasangan dengan Max Aguw dan Eddy dengan kakaknya, Maurilius Manoppo alias Uttu. Menurut Henky, pergantian pasangan ini terjadi begitu saja saat mereka berlatih di Manado. Hasilnya pun yahud. Eddy dan kakaknya menjadi juara satu. "Kalau tidak salah, saya berada di posisi ketiga atau keempat," ujar Henky.
Karena prestasi mereka di kejuaraan nasional, Henky dan Eddy bersama pasangan masing-masing dipanggil mengikuti seleksi nasional pada awal 1972. Seleksi itu untuk membentuk tim yang akan diberangkatkan mengikuti Kejuaraan Bridge Asia-Pasifik di Singapura pada tahun yang sama. Keduanya pun terpilih masuk tim.
Di Kejuaraan Asia-Pasifik 1972 itu, Henky dan Eddy turut membawa tim putra Indonesia menjadi juara pertama. Prestasi itu mereka ulangi berturut-turut pada kejuaraan tahun berikutnya hingga 1974. Eddy dan kakaknya menjadi pasangan yang bersinar di tim Indonesia. "Mereka sangat menonjol. Lawan sulit mengalahkan mereka," kata Munawar Sawirudin, pemain yang pernah berada satu tim dengan Eddy.
Sayang, mencuatnya Manoppo Bersaudara ini malah menimbulkan pergunjingan. Munawar bertutur, pemain-pemain luar negeri menuduh Manoppo Bersaudara bermain curang dengan memberi kode-kode tertentu untuk bertukar informasi dengan pasangannya. "Bahkan pemain-pemain Indonesia pun ikut menyebarkan isu itu," ujarnya.
Gosip tentang kecurangan Manoppo Bersaudara beredar luas sehingga ihwal itu dibawa ke sidang Federasi Bridge Asia-Pasifik di New Delhi, India, pada 1976. Komisi disiplin pun memutuskan Manoppo Bersaudara bersalah. "Mereka mempertanyakan permainan-permainan Manoppo Bersaudara yang mencurigakan sejak 1974," tutur Munawar. "Eddy dan kakaknya tidak lancar berbahasa Inggris, sehingga mereka tidak bisa menjelaskan. Akhirnya, mereka dihukum tak boleh bermain bersama selama lima tahun, berlaku surut mulai 1974."
"Saya terpukul oleh keputusan itu," kata Eddy. "Menurut saya, itu keputusan sepihak. Tapi kejadian tersebut semakin membuat saya bersemangat untuk berusaha membuktikan diri bahwa itu tidak benar. Dipasangkan dengan siapa pun, saya tetap bisa berprestasi."
Kesempatan membuktikan diri itu datang pada 1983, saat kondisi kesehatan Max Aguw, pasangan Henky, menurun. Pengurus Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (Gabsi) kemudian berinisiatif memanggil kembali Eddy untuk berpasangan dengan Henky. "Kami melihat Eddy adalah pemain terbaik yang tepat jika dipasangkan dengan Henky," ujar Munawar.
Pada tahun itu pula, tutur Henky, pengurus Gabsi mulai mengadakan pemusatan latihan nasional yang sangat serius. Tim nasional dibawa berkeliling Eropa selama 56 hari. Mereka pergi ke Denmark, Swedia, Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. "Kegiatan kami setiap hari adalah bertanding, lalu berdiskusi," katanya.
Henky mengatakan, hampir setiap tahun pada 1990-an, tim nasional dikumpulkan di Jakarta, Bandung, atau Bogor untuk menjalani pemusatan latihan nasional selama dua-tiga bulan. Mereka menjalani rutinitas yang ketat. "Pagi olahraga, siang main, sore diskusi, malam main lagi. Begitu seterusnya," ujar Henky.
Dengan semangat pemain dan pembinaan pengurus yang tak tanggung-tanggung, Eddy pun berhasil membuktikan bahwa dipasangkan dengan siapa pun dia bisa berprestasi. Dengan Henky, berbagai pencapaian ia cetak, termasuk menjuarai Cap Volmac World Top Invitational Pairs Tournament ke-9 di Amsterdam, Belanda, pada 1995, dan kejuaraan yang sama setahun setelahnya. Cap Volmac adalah kejuaraan terbatas yang hanya mengundang pasangan-pasangan yang dianggap terbaik di dunia.
Henky/Eddy juga membawa tim putra Indonesia menjuarai World Bridge Olympiad di Rhode Island, Yunani, pada 1996. Menjadi juara dunia di Cina tahun ini adalah puncak karier mereka. Mereka menyisihkan pasangan dari Amerika Serikat, Polandia, Kanada, dan 21 tim lainnya dari 20 negara.
Perjalanan Henky dan Eddy sebagai atlet bridge memang panjang. "Dari dulu, saya dan Eddy selalu nyaris menjadi juara. Akhirnya, tahun ini kami baru bisa menjadi juara dunia," kata Henky.
Itu bukan berarti setelah ini mereka akan pensiun. "Sepanjang masih bisa berpikir, saya masih ingin bermain bridge," ujar Henky. "Di olahraga bridge itu, justru makin tua makin jadi. Di kategori senior (60 tahun ke atas), persaingan malah ketat karena pemain-pemainnya adalah mantan juara dunia di kategori open (terbuka)."
Gadi Makitan, Rina Widiastuti
Bukan Ajang Menggantungkan Hidup
Pemain-pemain bridge Indonesia, menurut Henky Lasut, tak bisa menggantungkan hidup pada bridge. "Kalau di negara lain, mereka bisa hidup dari bridge karena banyak liga di negaranya yang menyediakan hadiah uang," kata lelaki yang sudah memiliki dua cucu ini.
Dengan kondisi seperti itu, Henky dan partnernya, Eddy Manoppo, harus mencari pekerjaan lain untuk menghidupi diri. Beruntung, setelah membawa tim Indonesia menjadi juara pertama dalam Kejuaraan Asia-Pasifik di Singapura pada 1972, keduanya direkrut sebagai tenaga honorer di kantor pemerintahan sebagai bentuk apresiasi atas jasa mereka.
Henky meneruskan profesinya hingga diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Dia pensiun pada 2003. "Saya mungkin pegawai yang paling banyak tidak masuk kantor," ujar Henky. "Selama 30 tahun berdinas, mungkin kalau dihitung, saya hanya berdinas selama 15 tahun. Sisanya dipakai untuk bridge."
Henky juga sempat berkarier sebagai politikus. Dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Manado periode 2009-2014. "Kegiatan di Dewan dan bridge berjalan bersama," katanya. "Kalau ada kejuaraan bridge yang tidak bisa tidak diikuti, saya minta izin. Kalau ada kejuaraan resmi tingkat Asia atau dunia, saya minta izin di Dewan."
Eddy tidak meneruskan karier hingga menjadi pegawai negeri sipil. Setelah menjadi tenaga honorer di Dinas Pekerjaan Umum Manado hingga akhir 1990-an, Eddy memutuskan meneruskan usahanya sebagai pemasok dan petani tanaman hias. "Itu sebenarnya hobi saya dari dulu. Tapi dari situ saya juga bisa hidup," ujarnya.
Gadi Makitan, Rina Widiastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo