Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anton Kurnia*
Dalam penutup tulisannya, "Terjemahan" (Tempo, 11-17 Agustus 2014), Goenawan Mohamad mengutip Sapardi Djoko Damono: "Tak ada penerjemahan yang salah; yang ada adalah karya (yang disebut ’terjemahan’) yang berhasil atau yang gagal menyentuh kita."
Kerja penerjemahan memang bukan soal mudah. Menerjemahkan adalah pekerjaan serius yang menuntut kerja keras dan mengandung tanggung jawab berat, yakni kewajiban menepati makna teks asal dan keniscayaan agar teks hasil terjemahan terbaca dengan jelas dalam bahasa sasaran, sekaligus terjaga nuansanya—terutama pada teks sastra.
Maka sesungguhnya kerja seorang penerjemah adalah sebuah upaya luar biasa untuk mencapai kesempurnaan yang nyaris musykil: terbaca maknanya, indah nuansanya, serta sedapat-dapatnya setia pada teks ciptaan sang penulis—seraya berupaya menafsir dengan setepat-tepatnya.
"A translator is a traitor," ujar sebuah adagium terkenal. Dalam konteks tertentu, pernyataan itu ada benarnya. Apa yang dilakukan Chairil Anwar sebagai penerjemah terhadap teks puisi Huesca karya John Conford dalam tulisan Goenawan di atas adalah contoh pengkhianatan yang indah.
Sejauh pengalaman saya yang tak terlalu panjang sebagai penerjemah—jika dibandingkan dengan "jam terbang" para penerjemah ulung, seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Ali Audah—sesungguhnya pengkhianatan penerjemah itu adalah keterpaksaan; semacam jalan keluar darurat kala jalan lain tak lagi terbuka. Maka, sebenarnya, penerjemah adalah serupa kekasih yang ingin selalu setia walau pada ujungnya tak selalu bisa.
Persoalan klasik bagi penerjemah memang tak jauh dari soal itu, yakni keinginan bersetia di tengah kenyataan bahwa tak setiap kata bisa diterjemahkan secara akurat (dan selalu ada godaan untuk menyeleweng demi "estetika") serta tantangan untuk rela bersusah-payah dalam segenap prosesnya demi mencapai hasil terbaik (walau itu tak selalu bisa dicapai dan acap tak dihargai).
Kita ambil contoh pengakuan Natasha Wimmer, penerjemah ulung dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris yang terutama dikenal lewat terjemahannya atas novel-novel Roberto Bolano (1953-2003), seperti The Savage Detectives dan 2666 (yang setebal bantal dan belum tuntas saya lahap). Sebelumnya, Wimmer menerjemahkan novel-novel Mario Vargas Llosa.
Dalam wawancara yang dimuat di situs Newsweek akhir Agustus lalu, Natasha Wimmer mengungkapkan betapa dia bergulat dengan proses berliku dan harus bersusah-payah dalam menerjemahkan The Savage Detectives yang berlatar Kota Meksiko tahun 1970-an. Dalam novel itu dikisahkan para penyair muda yang dibutakan oleh cinta pada kata mencuri buku-buku dan berdiskusi berbusa-busa tentang sastra di berbagai kafe dan restoran murahan di tengah kota.
Wimmer bekerja keras mencapai hasil sempurna, berupaya setia terhadap makna teks asal, sekaligus menyerap nuansa novel yang dia terjemahkan. Dia sengaja pindah ke Kota Meksiko hanya untuk menerjemahkan novel itu (sebetulnya dia punya apartemen nyaman di New York) dan menyewa sebuah tempat di dekat salah satu kafe favorit si tokoh protagonis. Dia juga bergaul dengan anak-anak muda kota itu untuk dapat memahami rasa bahasa dan slang mereka, serta berdiskusi dengan para mahasiswa penggemar mendiang Bolano. Saat telah mengerjakan tiga perempat novel itu, dia memutuskan mengulanginya dari awal karena tidak puas. Dia merasa kalimat-kalimatnya kurang mencerminkan "rasa bahasa Bolano". Dalam waktu satu setengah tahun, dia bergulat menyelesaikan terjemahan novel itu hingga mencapai taraf "selesai".
"Secara umum, menangkap irama kata-kata ke dalam bahasa yang baru (bahasa sasaran) adalah yang paling sulit dilakukan, padahal itulah yang paling penting. Kita tak akan bisa terbius oleh sebuah novel, kecuali kita terhanyut dalam aliran bahasanya," ujar Natasha Wimmer.
Atau, mengutip kata-kata Orhan Pamuk tentang terjemahan, "Terjemahan yang baik tak hanya berhasil mengantarkan kesamaan makna, tapi juga bisa mengikuti irama kata-katanya dengan tepat."
Namun rupanya kerja keras Wimmer terbayar. Pujian mengalir saat hasil terjemahannya terbit pada 2007. "Rasa nikmat para pembaca edisi terjemahan bahasa Inggris berutang pada bakat sang penerjemah, Natasha Wimmer, yang berulang-ulang berhasil menemukan solusi untuk menerjemahkan kalimat-kalimat dalam novel ini yang penuh slang dan ungkapan bahasa percakapan," demikian resensi New York Times atas The Savage Detectives.
Buat saya, membaca novel terjemahan Wimmer ini terasa lebih nikmat ketimbang membaca cerpen-cerpen Bolano yang diterjemahkan Chris Andrews dalam The Return (2012). Padahal Andrews, yang ahli sastra, selama ini dianggap sebagai pakar Bolano dan telah menerjemahkan puluhan karyanya. Andrews bahkan baru menerbitkan buku telaah tentang sang pengarang Cile yang semakin termasyhur justru setelah mati, Roberto Bolano’s Fiction: An Expanding Universe (2014).
Walau tak berlatar akademis sekental Chris Andrews, Natasha Wimmer memiliki kelebihan—meminjam istilah Sapardi Djoko Damono—karena terjemahannya berhasil "menyentuh kita". Saya yakin itu bisa terjadi lantaran dia seorang penerjemah yang mau bersusah-payah menghanyutkan diri ke dalam semesta teks dengan segala konsekuensinya dan berupaya keras "menangkap irama kata-kata" demi mencapai hasil terbaik.
*) Penulis dan penerjemah karya sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo