Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sang Pemimpi Bernama Almayer

Novel pertama sastrawan Inggris berdarah Polandia, Joseph Conrad, diangkat menjadi film. Panjang dan teatrikal. Tapi penonjolan karakter Melayu cukup menarik.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gunung Emas Almayer
Sutradara: U-Wei Haji Saari
Skenario: U-Wei Haji SaariBerdasarkan novel Joseph Conrad, Almayer’s Folly: A Story of an Eastern RiverPemain: Peter O’Brien, Alex Komang, Rahayu Saraswati, El Manik, Sofia Jane, Diana Danielle, Adi Putra
Produksi: Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

Ibu menyebut Ayah sebagai setan. Ayah memanggil Ibu nenek sihir. Lalu aku ini siapa?" demikian si jelita Nina (Diana Danielle).

"Kau adalah anugerah Tuhan," kata si tampan Dain Maroola (Adi Putra) merayu.

Dua sejoli itu berbincang di tepi sungai. Sang lelaki, Dain Maroola, Pangeran Malaka, jatuh cinta pada Nina, seorang putri pasangan yang saling membenci: Kaspar Almayer (Peter O'Brian), pedagang Belanda, dan Nyonya Almayer (Sofia Jane), perempuan Melayu. Hubungan mereka adalah sebuah hubungan terlarang. Sang Ayah tak akan menyetujui putrinya menikah dengan lelaki Melayu.

Ini satu adegan kecil dari film yang mengambil setting hutan Kalimantan (dulu bernama Borneo) abad ke-19 itu, yang diadaptasi dari novel pertama sastrawan Inggris terkemuka, Joseph Conrad. Di dalam film ini, Kaspar Almayer adalah arkeolog dan pedagang senjata Belanda yang mempunyai mimpi menemukan harta karun di kaki Gunung Emas di Selat Malaka. Almayer bercita-cita kekayaan itu akan digunakan untuk kembali ke Belanda, tanah air yang tak pernah dikenalnya, karena ia dilahirkan di Singapura. Tapi upayanya menemukan emas itu tak pernah berhasil. Di dalam hutan itu, ada kelompok pedagang Arab (Alex Komang) dan ketua suku adat setempat (El Manik) yang bersaing dan saling intrik. Belum lagi selalu saja ada ancaman tentara kolonial Inggris dan para perompak.

Di tengah ketidakpastian situasi finansial yang semakin memburuk, Almayer bertemu dengan Dain Maroola, Pangeran Malaka, yang datang untuk membeli bubuk mesiu dari Almayer. Dain juga berjanji mengantar ke area Gunung Emas. Pada saat itulah Dain bertemu dengan putri Almayer dan mereka jatuh cinta.

Dengan durasi yang begitu panjang dan skenario yang kurang rapi serta subplot yang berloncatan—kita senantiasa tak yakin apakah mereka tengah sibuk berdagang mesiu atau sedang ada serangan perompak—menyaksikan film ini membutuhkan kesabaran luar biasa. Problem paling nyata: seni peran. Nyonya Almayer hampir selalu berteriak-teriak memaki suaminya yang pemimpi, sementara Almayer senantiasa tampak bermesraan dengan botol alkohol dan hampir selalu mabuk—stereotipe yang lama-lama melelahkan. Apalagi, di antara situasi stereotipe itu, sang putri diam-diam bermesraan dengan pangeran cakep Melayu sehingga, "Saya orang Melayu," ujar sang putri menentang Almayer.

Karya pertama Joseph Conrad ini bukanlah karya terbaik dan terbesar sastrawan yang kelak menjadi panutan banyak sastrawan dunia terkemuka itu. Yang membuat karyanya dianggap sebagai salah satu monumen di masanya adalah keberaniannya menjadikan seorang antihero sebagai pro­tagonis. Di dalam film ini, meski Almayer seorang antihero: pemimpi, pemabuk, dan pedagang yang banyak utang, ia sangat mencintai putrinya. Dia seharusnya menjadi antihero yang tetap dibela dan disayang penonton. Tapi nyatanya itu tak pernah terjadi. Tokoh Almayer tampak seperti orang asing yang hanya bosan menetap di hutan yang banyak nyamuk itu.

Conrad, yang hampir selalu mengisahkan pelayaran atau masuknya orang asing ke "dunia baru"—Asia atau Amerika Selatan—tanpa pernah mengunjungi tempatnya, lazimnya berkisah tentang apa yang dia sebut sebagai "hati yang gelap", yang direpresentasikan oleh kaum penjajah yang menganggap benua yang dijajahnya sebagai arena barbar yang perlu diperkenalkan pada peradaban.

Di abad ke-20, ketika istilah rasisme mulai dikenal, sastrawan Chinua Achebe menghajar karya-karya Conrad yang dianggap rasis, karena tokoh lokal yang digambarkan selalu saja seperti yang dipandang sebagai tokoh antihero novelnya: bodoh dan tak beradab. Sedangkan para pengamat sastra menganggap apa yang dilakukan Conrad bisa dianggap rasis sekaligus sebuah otokritik. Akibat kontroversi ini, sering tafsir visual karya Conrad—kecuali film Apocalypse Now (Francis Ford Coppola, 1979), yang diadaptasi dari novela Heart of Darkness—menjadi stereotipe bagaimana Barat memandang orang non-Barat.

Harus diakui, sutradara film ini mencoba mengenyahkan stereotipe gaya Conrad. Orang Melayu seperti Dain ditampilkan berwibawa dan punya harga diri untuk melawan Inggris, meski karakter licik lainnya tetap disajikan. Tokoh perempuan seperti Nyonya Almayer dan Nina—meski akting Nyonya Almayer agak teatrikal—dibentuk sebagai deretan perempuan Melayu yang kuat dan perkasa. Ini titik yang cukup menarik yang perlu diperhatikan.

Seandainya sutradara sudi menyuntingnya lebih padat pada babak kedua dan menetralisasi dialog yang penuh dengan teriakan-teriakan itu, sebetulnya ini bukan film yang buruk. Pada akhirnya, mengadaptasi novel Conrad adalah sebuah pekerjaan yang sangat besar dan berat.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus