Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Kiai Politik dari Karongan

Bagi Kiai Alawi Muhammad, berpolitik itu wajib. Ia juga tak setuju negara Islam. Pembela hak rakyat yang terbunuh demi waduk Nipah.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKON perlawanan dari pesantren di Sampang, Jawa Timur, itu telah berpulang. Kiai Alawi Muhammad, 86 tahun, wafat Senin petang pekan lalu, setelah dirawat sebulan lebih di rumah sakit setempat dan di Surabaya. Ulama yang namanya melejit sejak membela warga korban penggusuran paksa untuk pembangunan waduk Nipah pada 25 September 1993 itu menderita komplikasi diabetes dan paru-paru.

Lahir di Desa Karongan, Kecamatan Kota Sampang, dia putra keempat dari sebelas bersaudara putra Kiai Muhammad. Kakek buyut Alawi, Kiai Abdul Kabir, menikah dengan anak perempuan Kiai Syamsuddin, yang kondang sebagai buju' atau ulama "sakti" dari kawasan Batuampar, Pamekasan. "Tapi saya tak suka kalau ada orang yang membesar-besarkan garis keturunan," ujarnya kepada Tempo (Memoar, 28 Mei 1994). Kuburan keramat di situ kerap disesaki peziarah yang bertawasul atau ngalap berkah.

Jalan Alawi menjadi kiai tak diniatkan sedari awal. Kakeknya, Kiai Abdul Hakim, merintis pendirian Pesantren At-Taraqqi—dengan dobel huruf qaf, asal katanya raqiyyun, yang berarti peningkatan. "Maksudnya agar santri kelak meningkat taraf hidupnya," ucap Alawi. Pesantren lalu beralih ke tangan ayahnya, yang lantas menyerahkan estafet kepemimpinan kepada adik Alawi, Kiai Makmun Muhammad, yang fakih karena berguru di Mekah.

Garis tangan Alawi berubah ketika sang adik wafat karena kecelakaan lalu lintas. Terpaksalah kemudian Haji Alawi dipanggil pulang ke Madura. Padahal, "Saya tak menyangka akan menjadi kiai. Inginnya menjadi masyarakat biasa," katanya. Alawi muda kala itu merantau ke Surabaya, Malang, dan Jember untuk berdagang segala rupa. Ia kerap berjualan kain dan barang bekas di Pasar Blauran, Surabaya. Di Jember, dia menjadi belantik atau makelar sapi.

Meski tak digembleng menjadi santri, Alawi punya modal ilmu. Setiap berangkat haji, ia menyempatkan diri mengaji kepada ulama besar di Arab Saudi, semisal Sayyid Alawy dan Syekh Yasin Isa al-Fadangi, ulama Mekah yang berasal dari Padang. Alawi menikah dengan Siti Romlah, yang masih kerabat dekat. Pernikahannya hanya berumur 40 hari. "Mungkin waktu itu saya belum ingin menikah, ha-ha-ha…." Dari pernikahan keduanya dengan Karimah (almar­humah), Alawi dikaruniai 12 anak.

Alawi tak menonjol sebagai kiai yang menguasai ilmu untuk mendalami fikih. "Tapi, sebagai kiai kampung, pandangannya dalam urusan politik sangat menonjol," ujar Kiai Moch. Syamsuddin dari Forum Madura Muda. Alawi tak setuju dengan pendirian negara Islam. Baginya, lebih penting mewarnai politik dengan napas Islam. Pernyataannya yang paling populer: berpolitik itu hukumnya fardu 'ain alias wajib bagi setiap individu dan tak boleh diwakilkan.

Riwayat politik Alawi diawali sejak sejumlah partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan pada 1973. Ia bergabung dan menjadi juru kampanye—sembari menaiki sedan kesayangannya, Holden Kingswood bikinan 1972. Fanatismenya terhadap PPP, yang mendominasi perolehan kursi di Sampang, tak goyah walaupun belakangan ada Partai Kebangkitan Bangsa, yang dipelopori Abdurrahman Wahid. Alawi pun sempat bersitegang dengan Gus Dur—panggilan Abdurrahman.

Partai berlambang Ka'bah itu kalah pada Pemilihan Umum 1992. Alawi menuduh suara partainya dirampok partai yang berkuasa saat itu, Golkar. Lantaran getol berseberangan dengan partai propemerintah itu, dia menuduh pemerintah memadamkan listrik di pesantrennya. Ketika Alawi menjamu dua komandan militer dan polisi Sampang, yang membujuknya agar menenangkan massa seusai tragedi Nipah, pertemuan penting itu hanya diterangi lilin.

Madura memanas ketika terjadi insiden Nipah. Empat orang tewas didor tentara saat mereka mempertahankan tanah warisan leluhur. "Seharusnya urusan dunia kan bisa diselesaikan seadil-adilnya, tak ada yang harus dirugikan," ucap Alawi. Setelah tragedi "yang terburuk dalam sejarah Madura dalam perjuangan menuntut keadilan" itu, dia meminta kepada Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya Mayjen Haris Sudarno agar polisi dan tentara yang melanggar hukum ditindak tegas.

Alawi adalah seorang pemberani. Kiai Fudoli Ruham, pengasuh Pondok Pesantren Alfudola, Pamekasan, mengatakan saat dihubungi Musthofa Bisri dari Tempo, "Tak banyak ulama di zaman Soeharto dan Orde Baru berani menentang pusat seperti Kiai Alawi." Alawi juga sabar ­melayani tamunya yang berduyun-duyun meminta jampi-jampi agar melahirkan anak lelaki atau memintanya mengobati orang kerasukan roh jahat.

Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus