Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Deteksi Akurat Kanker Prostat

Universitas Alabama mengumumkan penemuannya dalam mendeteksi koordinat kanker prostat. Biopsi yang dipandu gabungan magnetic resonance imaging dan ultrasound.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI usia 70 tahun, Sahih, penderita kanker prostat stadium awal, menjalani hari-harinya dengan dua rutinitas: minum obat dan melakukan diet ketat. Ia harus pandai menahan diri dari makanan bersantan dan berminyak. Pensiunan pegawai negeri ini berjuang mempertahankan antigen spesifik prostat (PSA) di bawah 4.

PSA adalah indikator kanker prostat, di samping pengerasan pada prostat—terasa saat bagian kelenjar ini diraba. Namun, untuk memastikan ada-tidaknya sang kanker, diperlukan biopsi.

Dua tahun lalu, angka PSA Pak Sahih 13, dan pemeriksaan biopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan ia positif mengidap kanker prostat. Setahun menjalani terapi suntik dan oral, ia kini menjalani tahap pengobatan kedua untuk menjaga tingkat PSA-nya. Sahih beruntung karena tidak semua biopsi bisa mendeteksi kanker prostat secara tepat. Menurut Nur Rasyid, Kepala Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, hasil biopsi sangat bergantung pada kepiawaian dokter spesialis yang menilai kehadiran kanker.

Ia pernah mendapat pasien seorang Italia yang tujuh kali menjalani biopsi: tiga kali di Italia, dua kali di Singapura, dan dua kali di Indonesia. Dari rangkaian pemeriksaan biopsi ini, tak satu pun yang mengindikasikan pasien itu terkena kanker, kendati PSA-nya naik terus. "Biopsi dengan MRI mungkin perlu pada kasus ini," ujarnya.

Ya, ketidakakuratan diagnosis kerap terjadi sampai akhirnya, pada pengujung bulan lalu, Program Perawatan Kanker Prostat University of Alabama at Birmingham (UAB), Amerika Serikat, menemukan pendeteksi kanker prostat teranyar, yaitu biopsi dengan panduan gabungan antara magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasound (US). "Ini adalah kemajuan besar dan pertama kali dalam deteksi kanker prostat selama lebih dari 30 tahun," kata dokter Jeffrey Nix, seperti dikutip situs www.uab.edu.

Dokter Jeffrey Nix dan dokter Soroush Rais-Bahrami—keduanya asisten profesor di Departemen Urologi UAB—mempelajari ihwal penggabungan citra MRI-US di National Cancer Institute (NCI). Nix dan Rais-Bahrami adalah dua dari beberapa urolog terpilih di Amerika yang dilatih untuk memanfaatkan teknologi itu. Pada 2014, menurut NCI, diperkirakan ada lebih dari 240 ribu kasus baru kanker prostat di negara itu, dan lebih dari 29 ribu orang tak terselamatkan.

Menurut Nix dan Rais-Bahrami, teknologi baru tersebut menawarkan "biopsi terarah" yang mengacu pada pengambilan sampel jaringan langsung dari daerah yang mencurigakan, seperti yang terlihat pada MRI. Hal itu berlawanan dengan metode tradisional, yakni pengambilan sampel secara acak-sistematis yang dilakukan di berbagai koordinat prostat.

"Kami memanfaatkan MRI prostat dan memadukannya dengan real-time US untuk biopsi yang dipandu gambar," ucap Nix. "Ini dapat mendeteksi kanker prostat dengan akurasi yang tinggi yang didefinisikan oleh MRI." Maka dokter dan pasien mendapat gambaran yang lebih akurat, termasuk kemungkinan perbaikan setelah menjalani terapi atau tindakan medis.

Bertambahnya akurasi dalam deteksi kanker tentu sangat membantu, terutama bagi kaum pria dengan riwayat biopsi negatif tapi diduga menderita kanker ­prostat karena secara misterius ada peningkatan PSA yang terus-menerus.

Misteri baru terjawab setelah pasien tersebut menjalani biopsi yang dipandu dengan gabungan MRI-US. Nix dan Rais-Bahrami mampu memetakan target yang diidentifikasi bersama ahli radiologi setempat. Walhasil, sel kanker di prostat pasien bisa ditemukan. Kanker itulah yang diduga menjadi biang keladi meningkatnya PSA selama ini. Namun area prostat tempat sel kanker tersebut tumbuh ternyata tak tercium pemeriksaan biopsi selama ini.

Setelah kankernya bisa ditemukan dengan teknik terbaru, masih menurut Nix, banyak pasiennya yang berhasil menjalani pengobatan dan penyembuhan kanker. Dari rekam medis para pasien diketahui bahwa beberapa pasien memiliki kanker prostat, meski sejumlah biopsi yang mereka jalani dinyatakan negatif. Nah, dengan adanya teknik yang baru, hal itu memungkinkan mereka membuat keputusan untuk memilih terapi yang tepat.

Menurut Nur Rasyid, prosedur yang dilakukan tim dokter dari Universitas Alabama adalah menggunakan MRI dan US secara bersamaan. Hal itu berbeda dengan prosedur standar yang dilakukan saat ini, yaitu biopsi prostat menggunakan transrectal ultrasonography (pencit­raan untuk mendeteksi kelainan melalui dinding rektum daerah prostat). "Perbedaannya terletak pada alat pembantu lihat," ujarnya.

Pada prosedur yang dilakukan di Universitas Alabama, panduan menggunakan MRI dan US secara bersamaan. Untuk melakukan prosedur itu, mau tak mau, butuh dokter spesialis urologi yang menangani US dan spesialis radiologi yang menangani MRI.

Nur Rasyid mengakui prosedur dengan MRI menawarkan nilai spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dibanding prosedur memakai US semata. Namun prosedur tersebut tidak efektif secara biaya.

Bagi dia, prosedur biopsi dipandu US merupakan standar yang berlaku di dunia saat ini. Nur Rasyid menekankan bahwa yang paling penting adalah pengenalan dari seorang spesialis terhadap kecurigaan sebuah kanker. Ia mencontohkan, dengan US akan dihasilkan gambaran yang lebih hitam (hypoechoic) dan yang lebih putih (hyperechoic). Dalam hal ini, yang hypoechoic memiliki kemungkinan kanker prostat lebih besar. "Tentu, dengan MRI, gambarannya dianggap lebih akurat dibanding US," katanya.

Menurut Nur Rasyid, metode sampling yang dilakukan dalam prosedur standar selama ini bukanlah random sembarangan. "Kita ambil menurut denah yang kita patuhi, dan itu dianggap benar," ujarnya. Nur Rasyid mencontohkan, untuk penderita sakit prostat yang memiliki PSA tinggi, dia akan meminta dilakukan biopsi di 10-12 core (sampel jaringan). "Sekali biopsi minimal 10 core," ucapnya.

Prosedur biopsi yang dipandu MRI dan US yang melibatkan spesialis urolog dan radiolog, seperti dilakukan Nix dan Rais-Bahrami, bisa saja dilakukan timnya. Namun ia menilai masih terlalu jauh jika prosedur tersebut dijadikan standar. Salah satu kendalanya: biayanya terlalu mahal.

Prevalensi kanker prostat di Indonesia masih lebih kecil dibanding penderita di negara Eropa dan Amerika Utara. Literatur menyebutkan, pada laki-laki, kanker prostat merupakan penyakit kanker terbanyak di negara-negara maju (643 ribu kasus), tapi hanya 197 ribu kasus di negara kurang berkembang.

Repotnya, meski kasusnya lebih sedikit, yang ditemukan di Indonesia banyak yang sudah menyebar ke tulang. "Orang kita tidak rutin melakukan screening PSA. Padahal orang di atas usia 50 harus cek PSA sekali setahun," ujar Nur Rasyid.

Erwin Zachri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus