PENYAKIT Nyonya Sukar tak kunjung sembuh. Padahal, ia sudah berkali-kali berobat ke puskesmas Terminal, Gresik, sampai bosan. Dokter kepala puskesmas itu, Rahayu Prihatini, juga terbawa repot. Tubuh Sukar -- bukan nama sebenarnya -- secara fisik tak menunjukkan gangguan sedikit pun. Pada pemeriksaan dr. Rahayu, memang tak ditemukan tanda-tanda penyakit. Ibarat ada asap, tak ada api. Sejak Maret lalu, Sukar sering mengeluh sakit perut. Mirip gejala tukak lambung alias "maag". Rahayu memberi obat, antara lain dengan antasida (obat maag). Tapi tak juga sembuh. Beberapa hari kemudian Sukar datang lagi, dengan keluhan semakin kompleks: dadanya berdebar-debar. Diobati. Sakit lagi. Diobati lagi, tak juga sembuh. Sadar akan penyakit "aneh" pasiennya, Rahayu mengalihkan perhatian pada persoalan kejiwaan, yang memang sering bermanifestasi dalam bentuk gejala (keluhan) fisik. Benar saja. "Ternyata, ada problem keluarga. Suaminya jarang di rumah," ujar Rahayu. Dari adik Sukar, diperolehnya keterangan, Sukar ingin punya rumah yang agak jauh dari lingkungan keluarga suaminya. Soalnya, ibu enam anak itu hidup serumah dengan ibu mertuanya. Lagi pula, ia bertetangga dengan adik-kakak suaminya. Suaminya tak setuju mereka pindah rumah, karena dengan rumah yang sekarang, sang suami justru merasa aman untuk pergi berlayar meninggalkan istri dan anak-anaknya. Tapi waktu menjenguk pasiennya, Juni lalu, dr. Rahayu menemukan Sukar sehat bugar. Penyakitnya seolah lenyap. Waktu itu sang suami berada di sampingnya. "Jadi," kata Rahayu, "bila suaminya sedang di rumah, keluhan pasien hilang seketika." Maka tahulah kita, Sukar sebetulnya cuma menderita depresi -- kali ini dengan manifestasi badani (somatis). Kisah Sukar sempat dibahas dalam sebuah simposium dengan tema "Depresi dengan Manifestasi Somatik" yang berlangsung di Surabaya belum lama berselang. Diikuti sekitar 200 orang, simposium "psikosomatik" yang diadakan Ikatan Ahli Jiwa Indonesia Cabang Jawa Timur ini juga mengetengahkan pembicara seperti dr. Ny. Habibah Hanum Nasution dan Prof. dr. Daldiri Mangoendiwirjo. Habibah bahkan membahas hasil penelitian yang dilakukan Sub-Laboratorium Psikosomatik RS Dr. Pirngadi, Medan, selama tahun 1986. Menurut dokter ahli penyakit dalam ini, dari 404 kasus gangguan psikosomatik yang datang ke sana, 36 adalah penderita depresi terselubung -- dengan manifestasi gangguan di berbagai organ. Jantung dan pembuluh darah (cardiovaskuler) misalnya termasuk yang paling sering menunjukkan gejala (manifestasi). Angkanya mencapai 52,78%. Bentuk gangguannya bisa macam-macam, termasuk tekanan darah yang meningkat. Sementara itu, reaksi saluran cerna, misalnya dalam bentuk diare atau sembelit, mencapai 25%. Dari ke-36 penderita itu, 21 di antaranya adalah wanita. Pendidikan mereka terbesar adalah SMTA (44,44%) dan terkecil adalah SD (8,33%). Penelitian juga menunjukkan, penderita terbanyak beragama Kristen (52,77%). Menariknya, kata Habibah, sebagian besar penderita punya pekerjaan sebagai pegawai negeri (30,36%). Sebetulnya, depresi tersamar sudah dikenal sejak tahun 20-an. Menurut Prof. Daldiri, Kepala Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa RS Dr. Sutomo, Surabaya, sekitar 10% pasien yang berobat ke dokter adalah penderita depresi. "Dari jumlah itu, 50 persen adalah kasus depresi tersamar." Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 3% penduduk dunia, artinya sekitar 100 juta orang, kini menderita depresi. Dikatakan oleh Daldiri, meningkatnya kasus depresi belakangan ini dipacu oleh beberapa sebab. Akselerasi (percepatan) perubahan lingkungan psiko-sosial manusia -- yang menyebabkan stres -- dan meningkatnya penggunaan obat (terutama antihipertensi), menjadi penyebab yang penting. Depresi memang berkaitan dengan stres. Menurut para ahli jiwa, stres adalah setiap kondisi yang memaksa seseorang melakukan adaptasi. Sumber stres (stresor) bisa kecil, bisa besar. Ada orang yang mendapat stres hanya gara-gara pindah kerja, atau menghadapi pensiun. Ada pula stresor berupa perceraian, atau ditinggal mati kekasih. Pada tiap orang, persepsi dan reaksi terhadap stres adalah unik, tak pernah sama dengan yang lain (TEMPO 19 Maret 1988). Sebetulnya, hampir semua stresor bisa berarti baik, selama yang menerimanya mampu menyesuaikan diri. Malah, menurut ahli jiwa, stres perlu untuk pendewasaan diri. Sayangnya, tidak semua orang mampu beradaptasi. Nah, bila orang gagal menyesuaikan dirinya pada stres, itulah depresi. Biasanya gangguan penyesuaian ini muncul segera atau dalam kurun waktu dua bulan setelah stresor datang. Dan ia ikut sirna setelah stresor berakhir. Repotnya, stresor sering datang berulang atau berkepanjangan. Tak pelak lagi, dalam era modern sekarang ini, stresor semakin beragam bentuknya, dan depresi menjadi penyakit mental emosional yang paling banyak didapat di dunia. Menurut Alfred M. Freedman, guru besar ilmu jiwa Sekolah Kedokteran New York, "Depresi adalah penyakit manusia berbudaya." Pada pasien di negara maju -- atau yang pendidikannya tinggi -- depresi sering muncul dalam bentuk gejala emosional, seperti perasaan bersalah atau sulit tidur. Pada penderita negeri berkembang, keluhan lebih banyak muncul dalam wujud gangguan badani, seperti nyeri perut atau dada berdebar. Soalnya, di kalangan masyarakat yang pendidikannya rendah, ekspresi emosi sulit diungkapkan. Sebenarnya, itu semua tak seberapa merisaukan, kalau saja depresi aman. Masalahnya, depresi termasuk gangguan jiwa yang pahng berbahaya. Tak jarang penderitanya terdorong melakukan bunuh diri. Syafiq Basri dan Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini