Marseille yakin menang, tetapi Red Star yang memboyong Piala Champions. Inilah kisah ambisi dan pertarungan duit, sementara sang pemenang tetap menjajakan pemain-pemainnya. SEBELUM final Piala Champions berlangsung di Stadion Bari, Italia, kiper Olympic Marseille, Pascal Olmeta, berkata dengan sombong, "Saya akan mengelilingi Korsika dengan menunggang kuda membawa piala itu." Olmeta memang berasal dari Pulau Korsika di lepas pantai selatan Prancis. Ketika sadar ucapannya dicatat ratusan wartawan, Olmeta buru-buru menambahkan, "Itu seandainya kami menang." Yang terjadi kemudian, Rabu (Kamis dinihari di sini), adalah kenyataan, bukan lagi pengandaian. Di depan 60 ribu penonton, Olmeta dan klub Marseille tak bisa membawa piala itu ke Prancis. Lawannya, Red Star, juara Yugoslavia 17 kali, memenangkan pertandingan dengan skor 5-3 lewat adu penalti. Rupanya, sudah suratan takdir, bahwa klub asal Eropa Timur harus merebut Piala Champions lewat adu penalti. Steaua Bukarest dari Rumania di tahun 1986 juga menaklukkan Barcelona Spanyol lewat tendangan "12 pas" itu. Sejak perebutan Piala Champions dimulai, 1955, sudah tiga kali klub dari Prancis tampil di final -- dan selalu gagal. Padahal, adalah Gabriel Hanot, bekas bintang Prancis dan wartawan majalah bola L'Equipe, yang mencetuskan ide pertarungan antarklub juara negara Eropa itu di awal tahun 1950-an. Sebelum Marseille, klub Stade Reims takluk dari Real Madrid di final 1956. Kemudian Saint Etienne tersungkur di tangan Bayern Munchen pada 1976 -- lewat pertarungan seru dan habis-habisan, sampai pemain Saint Etienne mendapat gelar kehormatan verts. Pekan lalu, para verts ini dibawa bos Marseille, Bernard Tapie, ke Bari untuk menjadi "saksi sejarah" yang sayangnya tidak terjadi. Marseille sangat yakin akan menang. Tapie, pemilik perusahaan alat olahraga Adidas, berjanji akan memberi bonus US$ 175 ribu atau hampir Rp 350 juta untuk setiap pemain kalau Piala Champions bisa direnggut. Klub itu mengorganisir 25 ribu suporter ke Bari dengan 55 pesawat carteran -- seorang suporter membayar sejuta rupiah lebih. Jaringan TV Prancis memasang tarif Rp 2,5 milyar untuk iklan 30 detik di sela penayangan langsung dari Bari, tarif termahal dalam sejarah periklanan tayangan sepak bola. Siaran langsung ini juga disaksikan Presiden Prancis Mitterrand di sela perundingannya dengan Kanselir Jerman Helmut Kohl. Keyakinan itu akhirnya berlebihan. Istri Bernard Tapie menjerit histeris ketika melihat pemain-pemain Marseille bertangisan di lapangan. "Tidak mungkin kami kehilangan kesempatan ini. Tak mungkin kami kalah," ujarnya kalap, dalam dekapan Tapie. Franz Beckenbauer, yang direkrut khusus untuk merebut Piala Champions, kelihatan pucat dan berkata terbata-bata, "Saya masih akan tinggal di Marseille. Kontrak saya masih setahun lagi." Raymond Goethals, pelatih Marseille, merasakan "tragedi Bari" itu seperti gondolences -- kematian orangtua. Padahal, pelatih 67 tahun yang membawa Marseille menjuarai kompetisi Prancis dan Piala Prancis itu sudah bersiap pensiun dengan meninggalkan kenangan manis. Toh Marseille masih disambut meriah ketika pulang kandang, Jumat pekan lalu. Ribuan orang berjajar di jalan-jalan menuju kantor wali kota. Hanya saja, tak terdengar ribut klakson mobil. Bendera biru-putih, seperti warna kostum Marseille, juga sudah dilipat dari setiap sudut kota. Sedangkan di sudut lain Kota Marseille, anak-anak muda yang kecewa dan marah atas kekalahan ini memecahkan kaca-kaca toko dan mobil yang diparkir di tepi jalan. Empat orang ditahan setelah bentrok sengit dengan polisi. Bernard Tapie akhirnya sadar, "Uang bukan yang selalu harus menang." Yang membuat "raja bisnis" Prancis ini bingung, bagaimana mungkin Red Star yang pemainnya sudah terkuras habis masih mampu menang dari klubnya, yang sudah membeli pemain dan pelatih hampir Rp 70 milyar. Tapie punya uang, tapi Red Star punya bakat. "Bintang Merah" yang di negerinya bernama Crvena Zvezda selama ini sudah menjual 34 pemain terbaiknya ke seantero Eropa. Bahkan tahun lalu kapten kesebelasan, Dragan Stojkovic, 26 tahun, harus direlakan dijual ke Marseille untuk US$ 8 juta atau Rp 16 milyar. Tak cuma pemain yang dilego. Pelatih Red Star, Vujadin Boskov, pun harus pergi melatih ke Sampdoria untuk mencari penghidupan lebih baik. Kemenangan Red Star tadinya diharapkan punya arti politis. Klub yang bermarkas di Beograd ini berada di Provinsi Serbia. Provinsi ini "pecah" dengan tetangganya, Croatia dan Slovenia. Orang-orang Croatia dan Slovenia malah banyak yang mengibarkan bendera Olympic Marseille. Pelatih tim nasional Yugo, "Bear" Osim, sampai kesal melihat perpecahan itu. "Tak mungkin ada tim kuat kalau ada permusuhan," katanya jengkel. Ketidakakuran antarprovinsi itu juga mendorong pemain Red Star untuk pergi. Robert Prosinecki, gelandang jangkung itu, sudah didatangi pemilik klub Real Madrid, Mendoza. Kabar burung bilang, Mendoza sudah membelikan sebuah Mercedes untuk Prosinecki. Padahal, Prosinecki lebih ingin ke Juventus, karena ia sangat mengagumi Michel Platini ketika bermain di Juve. Celakanya, pemuda 25 tahun ini dipanggil tentara masuk milisi. "Saya kira ini tak adil," protes Prosinecki. Penjaga gawang Red Star, Stevan Stojanovic, yang hampir jadi sarjana administrasi bisnis, juga sudah ditawar klub-klub dari Spanyol dan Portugal. Begitu pula Dragisa Binic, sayap kanan, ingin pindah ke Italia. Sedang pemain belakang Miodrag Belodedic sedang negosiasi untuk pindah ke Napoli. Walhasil, Red Star adalah klub penjaja pemain nomor satu di dunia. Toriq Hadad (Jakarta), Lisa Sallusto (Napoli), dan Utami Astar (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini