Untuk menyamakan persepsi hukum lingkungan, empat instansi menandatangani piagam kerja sama penegakan hukum lingkungan. NIAT Menteri KLH Emil Salim untuk menyeret pelanggar lingkungan ke pengadilan dalam tahun ini, tampaknya, makin besar peluangnya. Selasa pekan ini, bersama tiga instansi -- Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kapolri -- ia menandatangani sebuah piagam kerja sama mengenai penegakan hukum lingkungan. Tujuan utama yang diinginkan adalah menyamakan persepsi keempat instansi mengenai hukum lingkungan. Namun, adanya piagam itu tidak dengan otomatis akan menyamakan persepsi mereka karena piagam ini hanyalah alat dari keempat instansi untuk bersama-sama menggalang tekad yang sama dalam penegakan hukum lingkungan. Persepsi, apalagi mengenai lingkungan -- yang merupakan masalah baru dalam pembangunan -- tampaknya tidak bisa segera disamakan dalam sebuah perkataan. Diperlukan banyak dialog. Perbedaan persepsi inilah yang menghambat para pelanggar lingkungan bisa dihukum melalui pengadilan. Banyak ahli hukum menilai, pencemaran merupakan kasus pidana sehingga harus disertai adanya korban. Padahal, menurut Deputi II Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nabiel Makarim, lingkungan yang rusak sudah merupakan korban. Kapan kasus pencemaran bisa dibawa ke pengadilan pun belum bisa dipastikan. Apakah cukup dengan hasil pemeriksaan laboratorium, atau perlu menunggu sampai jatuh korban. Hasil diskusi persamaan persepsi penegakan hukum lingkungan yang diadakan Departemen Kehakiman, Rabu dan Kamis minggu lalu, juga mengakui perbedaan itu sebagai hambatan. Karena itu, diskusi menyimpulkan, perlu terus dikembangkan stelsel dan doktrin lingkungan. Perbedaan lain adalah mengenai alat bukti hasil pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan yang seharusnya bisa memberi bukti adanya pelanggaran lingkungan malah kemudian bisa menolong pelanggar lingkungan dari hukuman pengadilan. Sebabnya, karena belum ditunjuknya sebuah laboratorium rujukan. Selain itu, tak ditentukan juga jumlah sampel hasil pencemaran dan metodologi yang harus dipakai. Yang sempat diuntungkan dengan adanya perbedaan ini, misalnya, adalah pemilik pabrik tahu dan peternakan babi di Sidoarjo, Jawa Timur, Bambang Gunawan. Pengusaha ini diseret ke pengadilan karena hasil pemeriksaan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Surabaya membuktikan nilai Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) dalam limbah perusahaan ini jauh melebihi ambang batas yang ditentukan dalam SK Gubernur Jawa Timur. Namun, Bambang lolos dari hukuman, Mei 1990, karena di persidangan nilai BOD dan COD yang diajukan saksi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Sidoarjo lebih rendah daripada ketentuan. Belakangan baru diketahui bahwa sampel yang mereka ambil dikumpulkan oleh karyawan perusahaan tahu itu sendiri. Masalah hasil pemeriksaan laboratorium untuk alat bukti ini sebenarnya sudah terselesaikan dengan keluarnya Keppres tentang Bapedal, 5 Juni 1990. Badan yang bertanggung jawab langsung pada Presiden ini bisa mengambil tindakan pada para pelaku pencemaran. Dalam Keppres itu juga sudah dinyatakan bahwa laboratorium Bapedal adalah laboratorium rujukan. "Laboratorium ini kini sedang dibangun di Puspiptek Serpong dengan bantuan Jepang," ujar Nabiel Makarim. Siapa saja yang bisa menyeret pencemar lingkungan ke pengadilan pun masih dipertanyakan. Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada PT Inti Indorayon Utama memang gagal di PN Jakarta Pusat, tapi LSM itu diakui keberadaannya. Diskusi minggu lalu juga mengharap pengajuan gugatan bisa dilakukan oleh LSM dengan syarat-syarat tertentu. Sebenarnya, tanpa persamaan persepsi pun kasus pencemaran lingkungan sudah ada yang berhasil di pengadilan. Kasus ini diputuskan oleh majelis hakim di Tanjungpinang, Riau, awal November lalu. Dua warga Singapura Charles Tow dan Supramaniam Pillai dari perusahaan Transmedia Ltd. dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Mereka membuang 150 ton limbah industri ke Simpang Busung, Kepulauan Riau. Mereka juga diharuskan membersihkan dan mengangkut limbah berwarna hijau kotor itu ke tempat asal paling lama dua bulan setelah putusan jatuh. Kalau tidak, harus menjalani hukuman setahun penjara. Kalau vonis pada para pencemar lingkungan akhirnya bisa jatuh, sebenarnya wajar saja. UU Lingkungan Hidup sudah keluar hampir 10 tahun lalu, yaitu pada 1982. Dalam pasal 22 UU ini disebutkan bahwa para pencemar lingkungan yang melakukan perbuatan dengan sengaja diancam pidana penjara selama-lamanya 10 tahun, dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta. Dalam pasal sebelumnya sudah disebutkan, pencemar lingkungan wajib membayar ganti rugi pada penderita yang dilanggar haknya, dan wajib membayar biaya pemulihan lingkungan pada negara. Hanya, memang, peraturan pelaksanaan untuk pasal ini sampai kini belum keluar sehingga membingungkan banyak pihak. Diharapkan, dengan segera keluarnya peraturan pelaksanaan mengenai pasal tersebut, para korban bisa menuntut pencemar lingkungan di pengadilan. Aparat hukum lingkungan pun melalui pelbagai seminar bisa memiliki persamaan persepsi mengenai penegakan lingkungan. Untuk itu, dalam butir kedua piagam itu dicantumkan perlunya menggalang kerja sama pendidikan dan latihan penegakan hukum. Walau sudah dirinci, piagam ini bisa-bisa mirip gong yang gaungnya akan habis bila tidak diikuti oleh pelbagai program yang lebih nyata. Apalagi, menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh, para penegak hukum sejak awal tidak mempunyai bekal lingkungan hidup. Walau kini sudah ada usaha memperbaiki dengan mengirim 30 jaksa belajar masalah lingkungan di Belanda, tanpa tindakan nyata, piagam ini pasti sia-sia saja. Dwi S. Irawanto, Reza Rohadian, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini