Minarti Timur akhirnya dihukum IBF 18 bulan tak boleh main bulu tangkis. Tapi ia tak mengaku minum apa-apa. INILAH hari-hari yang membingungkan Minarti Timur. "Apa saya masih boleh tinggal di sini?" tanya singelar ketiga Indonesia ini, sembari menunjuk mess Lembaga Kedokteran Gigi TNI-AL di Pejompongan, Jakarta Pusat, tempatnya menginap. Sejak PBSI mengumumkan hukuman 18 bulan dari IBF (Federasi Bulu Tangkis Internasional), Kamis pekan lalu, Minarti praktis harus meninggalkan mess yang disewa PBSI itu. Kecuali, kata Ketua Bidang Pembinaan PBSI M.F. Siregar dengan nada berseloroh, Minarti membayar uang sewa untuk tetap tinggal di sana. Meme, begitu Minarti biasa dipanggil, sudah dicoret dari Pelatnas. Ketika dijumpai wartawan TEMPO, Sabtu sore pekan lalu, Minarti kelihatan enggan bicara. "Saya sudah tak memikirkan soal ini. Sedih sih sedih, tapi mau apa, wong sudah diskors," ujar gadis kelahiran Surabaya ini. Namun, ia tetap menganggap hukuman l8 bulan itu tidak adil dan kelewat berat. "Saya tak bisa ke Barcelona," keluhannya. Ketika panitia kejuaraan Jepang Terbuka memilih Minarti sebagai sampel tes doping, 19 Januari lalu, kandungan urinenya positif mengandung fencafamin, zat stimulan dan antidepresan. Di Taipei seminggu sebelumnya, ia memang kena flu. Celakanya, menurut sebuah sumber TEMPO, tak ada dokter di tim PBSI saat itu. Dokter panitia kemudian memberikan Minarti dua jenis obat, satu obat pabrik dan satu lagi obat tradisional Cina. Anehnya, Minarti mengaku menelan dua butir Refagan. "Tapi saya tetap lemas dan tak bisa latihan," cerita Minarti. Akibatnya, di Taiwan Terbuka itu ia kalah WO. Minarti memang suka minum obat untuk melawan alergi dan penyakit maag-nya. Tapi, dua bulan sebelum ke Taiwan, juara Belanda Terbuka 1990 ini mengaku tak lagi menelan obat-obatan. Cuma, menjelang ke Taiwan itu, ia agak lemas. "Saya diberi dokter obat-obatan, katanya vitamin," ujar anak ketiga dari empat bersaudara pensiunan karyawan PT Sampoerna ini. Ketika tes doping-nya di Jepang positif dan Siregar menanyakan obat apa yang pernah ditelannya, baru Minarti tahu bahwa yang ditenggaknya adalah reactivan. "Saking penasarannya, saya cari obat jenis itu di apotek. Saya ingat bentuknya kuning-bulat," ujarnya lagi. Seingat dia, ia pernah diberi obat itu sampai sepuluh butir. Tapi Minarti benar-benar tak mau menyebut siapa yang memberi obat tadi. Dan ternyata kemudian ia pun bersikeras mengatakan tidak meminum obat itu di Jepang. Alasannya, "bagaimana mendapatkannya, di sana perlu resep, nggak bebas seperti di sini." Lho, jadi bagaimana kasus ini sebenarnya? Adakah Minarti berbohong? Karena, menurut Siregar, pemeriksaan laboratorium Jepang menunjukkan kadar obat perangsang bisa ditemui dalam urine kalau obat diminum dalam jangka waktu 2 x 24 jam. Jadi, Siregar lebih condong menyebut kasus ini sebagai kelalaian yang tidak disengaja Minarti. "Habis, bagaimana lagi, dia bilang tidak minum, tetapi ada buktinya. Yang sebenarnya terjadi, cuma Tuhan yang tahu," ujar Siregar lagi. Namun, PBSI juga diakuinya salah karena urusan kesehatan atlet tak dikoordinasikan di bawah satu tangan. Apa boleh buat, Minarti sekarang harus menanggung nasib buruk. Ivan Haris (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini