Sensus untuk si Maskot WWF-Indonesia Programme membuat sensus badak jawa dengan kamera. Alam dan hewan Ujung Kulon ternyata menyulitkan sensus. DENGAN kaus loreng, selempang, dan payung, sosok ini belakangan mudah ditemui di mana-mana. Mereka adalah patung badak yang dijadikan maskot Visit Indonesia Year 1991. Tapi ternyata untuk mendapatkan bentuk asli maskot tersebut tidaklah mudah. Diperkirakan jumlah badak jawa (Rhinoceros sondaicus) -- sang maskot -- cuma tinggal 50 sampai 60 ekor. Badak bercula satu ini terkumpul di Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Perkiraan itu berdasar hasil sensus yang dilakukan oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor tahun lalu, dengan cara menyisir tapak badak di seluruh kawasan. Dengan mengetahui jumlahnya secara tepat, bisa dihitung kebutuhan badak untuk membantu kelestariannya. Karena itu, sejak Januari lalu organisasi World Wildlife Fund for Nature (WWF)-Indonesia Programme melakukan penghitungan badak dengan cara yang lebih modern. Yaitu, dengan memotret binatang bercula ini dengan menggunakan 40 buah kamera Nikon F 401s yang ditempatkan di seluruh taman nasional. "Ini merupakan survei terbesar dengan menggunakan kamera, karena kami ingin menunjukkan bahwa Indonesia berada di garis depan dalam penggunaan teknologi untuk konservasi," kata Humas WWF-Indonesia Programme Katarina Panji. Aksi itu dianggap perlu dilakukan karena Indonesia, yang memiliki dua spesies hewan langka itu -- selain badak jawa, ada pula badak sumatera dengan populasi 500-900 ekor -- juga melakukan usaha konservasi. Sementara itu, negara lain yang tidak memiliki badak juga tergerak membantu nasib hewan ini. Sejak akhir April lalu, Inggris, Belgia, Amerika, dan 130 negara yang memiliki perwakilan WWF -- badan dunia yang memberi bantuan untuk konservasi -- mengadakan kampanye penyelamatan binatang ini. Diperkirakan, dari lima spesies badak yang ada, jumlahnya di bawah 11 ribu ekor. Tanpa usaha pencegahan, hewan ini bisa punah, karena besarnya keuntungan yang ditawarkan badak pada para pemburunya. Harga satu kilo cula badak bisa mencapai Rp 20-40 juta. Menurut mitos yang dipercayai luas di RRC, Korea Selatan, Taiwan, dan Muangthai, cula dan bagian tubuh badak bisa menyembuhkan pelbagai macam penyakit, mulai demam, ayan, keracunan, asma, hingga obat kuat. Dengan kampanye yang tanpa batas waktu ini, WWF berharap keempat negara itu akan mengurangi, bahkan menutup, perdagangan cula badak. Mendahului aksi gelombang penyelamatan dunia, WWF-Indonesia Programme, yang sudah berkarya di Ujung Kulon sejak 1968, menyediakan dana US$ 112.623 untuk mensensus badak jawa di Ujung Kulon. Proyek ini dikerjakan oleh Michael Griffiths, penulis buku Indonesian Eden yang dikontrak WWF-Indonesia Programme. Geolog kelahiran Selandia Baru ini terpikat keindahan alam Indonesia ketika bekerja pada Mobil Oil di Aceh lebih dari 10 tahun lalu. Indonesian Eden adalah kumpulan hasil jepretannya di hutan Aceh selama lebih dari dua tahun. Tahun lalu, ia juga yang melakukan kegiatan menyensus badak sumatera di Kerinci Seblat. Namun, sensus kali ini dilakukan lebih teliti. Untuk menentukan di mana kamera harus diletakkan saja, misalnya, dipakai alat penerima informasi penentu letak dari Geo Positioning Satellite (GPS). Kamera dipasang secara vertikal dari utara ke selatan dengan jarak satu sama lain 1,5 sampai 3 kilometer. "Di samping berpedoman pada jalur yang bisa dilewati badak, posisi derajat koordinat harus tepat," Griffiths menjelaskan. Sistem kontak pada badak jawa mengikuti jalur bau kotoran dan air kencing yang sengaja ditempelkan di badannya. Ketika badak berendam di lumpur -- - sering dilakukannya untuk menghindari gigitan lalat pengisap darah -- ia sengaja kencing, sehingga baunya melekat di badan. Kotorannya pun sengaja dibuang di aliran sungai kecil dan diinjak-injak sehingga baunya menempel di kaki. Kamera yang dikemas dalam sebuah kotak kayu terletak satu meter dari atas tanah dengan ditopang sepotong kayu. Tiga meter di depan kamera, pada jalur jalan badak, dipasang mat sejajar dengan tanah. Mat adalah papan sensor yang bila diinjak hewan akan membuat kamera otomatis bekerja. Lampu blitz juga diletakkan dalam sebuah kotak yang letaknya 1,5 meter dari tanah. Seminggu sekali, tim tersebut mengontrol bekerjanya peralatan itu. Hambatan yang didapat Griffiths dari alam maupun hewan Ujung Kulon ternyata lebih besar dibanding di Kerinci Seblat. Baru saja kamera bekerja tiga bulan, sebagian besar sudah tidak berfungsi, padahal alat itu dirancang untuk berfungsi selama 8-12 bulan. Sebagian kamera kemasukan air. Ada pula yang blitz-nya tidak bekerja karena baterenya habis atau korsleting. Belum lagi perilaku hewan penghuni kawasan yang dinilainya aneh-aneh. Sebagian mat mencuat dari tempatnya, diduga karena dicongkel babi hutan atau digaruk badak. Walaupun demikian, sebagian kamera sudah memberikan hasil. Untuk membedakan badak satu dengan lainnya dilihat antara lain dari tinggi cula dan tubuh. Perhitungan hasil akan dilakukan bulan Oktober mendatang. Dengan teori pendekatan statistik, cara pemotretan ini selain bisa menghitung jumlah, juga dapat mengidentifikasi penyebaran lokasi badak, dan merekam binatang lain yang cukup banyak menghuni kawasan ini. Hasil sensus dan kampanye diharapkan bisa mempertahankan atau mungkin menambah jumlah badak, sebelum terlambat. Diah Purnomowati dan Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini