Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Saya tak senang terlalu diatur

Dalam indonesia open 1987, indonesia kebagian 2 gelar yang direbut pasangan bobby ertanto/heryanto & ivanna lie/rosiana tendean. wawancara tempo dengan icuk sugiarto, yang di semifinal kalah dari sze yu.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA secercah angin segar, ada desah napas lega, ada senyum lebar di Istora Senayan, Minggu malam lalu. Setelah babak belur di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis di Beijing Muangthai Terbuka, dan Malaysia Terbuka, sepanjang 1987 ini, dua gelar yang diraih di Indonesia Terbuka tahun ini agak melipur lara. Apalagi pasangan Bobby Ertanto/ Heryanto berhasil menggilas juara dunia 1987, Tian Bingyi/Li Yongbo dari Cina di semifinal. Bobby/Heryanto di final akhirnya ditundukkan Liem Swie King/Eddy Hartono. Gelar lainnya direbut Ivanna Lie/ Rosiana Tendean yang menumbangkan rekan senegaranya Susi Susanti/Verawaty. Yang agak mengganjal, Eddy Kurniawan di final terpaksa menyerah dua set dari Yang Yang, juara dunia 1987. Lebih lagi, pemain tunggal utama Indonesia, Icuk Sugiarto, 24 tahun, sudah harus turun panggung di semifinal: kalah dari pemain Australia Sze Yu. Kekalahan yang menyakitkan. Tak banyak yang tahu, Icuk sebenarnya memendam rasa kecewa. Tentang bermacam hal, mulai soal pelatnas hingga pengelompokan pemain. Ditemui TEMPO, Senin malam pekan ini, di rumahnya -- hanya sekitar 200 meter dari gedung Bakrie Brothers tempat Pelatnas Piala Thomas di Rawabuaya, Jakarta Barat, Icuk bercerita: Sejak pindah ke Rawabuaya enam bulan lalu, permainan saya menurun sekali. Saya kira akan ada perubahan. Saya kira setelah menjuarai Piala Dunia 555 (di Jakarta, 1986), saya sudah menemukan pembina (maksudnya Tong Sin Fu) yang tahu persis bagaimana harus mengalahkan Yang Yang, tanpa mengubah pola main saya. Nyatanya, saya tak pernah bisa mencapai kondisi puncak. Di sini saya harus menyesuaikan diri lagi. Dalam latihan, misalnya, sekarang 90 persensaya dilatih di dalam lapangan dan 10 persen di luar. Padahal, dulu seimbang. Belum lagi soal kawan berlatih. Hanya beberapa orang saja yang bisa mengimbangi saya. Tak ada manfaat buat saya. Lebih rusak lagi, semua yang saya lakukan seperti hanya untuk melawan Yang Yang. Padahal, saya juga masih melihat banyak pemain lain yang harus dihadapi. Cara latihan saya dianggap kuno, ketinggalan zaman. Tapi saya merasa punya cara sendiri. Endurance (daya tahan) saya hilang karena latihan skipping (loncat tali) terus dikurangi. Latihan lari juga dikurangi. Terus terang, kalau main di luar negeri, begitu sampai di hotel saya langsung lari. Ini menimbulkan rasa percaya diri kuat buat saya. Kalau cara latihan saya salah, mengapa saya bisa jadi juara dunia (di Kopenhagen, 1983) dan juara di turnamen lain? Betulkah apa yang saya lakukan tak cocok? Awalnya, pelatih masih mendengarkan saya. Tapi setelah kalah di All England 1987 (dari Morten Frost Hansen di final), sudah tak ada lagi pendekatan person to person. Semua diatur. Paling cuma hari Sabtu saya boleh lari. Pagi dan sore hanya drilling di lapangan. Untuk datang ke hall saja tak ada gairah lagi. Sejak mulai di pelatnas pada 1980 sampai sekarang saya selalu lari. Boleh, 'kan, saya latihan dengan cara saya sendiri. Ini semua hasilnya (Icuk menunjuk rumah dan isinya: ada TV berwarna, video, lampu kristal, akuarium dengan ikan langka Arowana, dan mobil Honda Accord hitam di garasi). Saya tak setuju kita hanya mengikuti cara berlatih orang. Pemain Cina berlatih di kolam pasir, kita juga ikut-ikutan buat kolam pasir. Belum tentu itu cocok buat kita. Kenapa kita tak belajar dari bekas pemain dunia kita sendiri ? Misalnya Rudy Hartono. Cara ilmiah juga belum bagus. Buktinya, pemain Eropa yang latihannya ilmiah, kok cuma gitu-gitu saja prestasinya. Yang baik buat saya, menambah bentuk latihan tanpa menghilangkan apa yang sudah saya lakukan. Waktu juara dunia dulu, Hb saya hampir 70. Karena saya selalu lari. Sering saya mengejar mobil yang dikendarai Istri saya. Lalu sebelum keiuaraan duma di Beijing, Hb saya kurang dari 50 tapi terus naik karena lari. Kalau latihan stroke terus, saya bosan. Dulu, pukul 06.30 saya sudah lari di udara segar Senayan. Sekarang latihan baru mulai pukul 08.00 ketika udara sudah tak segar. Saya jadi seperti orang malas. Biasanya saya 'nambah latihan lari sendiri. Sekarang tanggung, karena baru pukul 11.00 latlhan selesal, sorenya harus mulai lag pukul 16.00. Saya memang selalu menambah beban latihan. Dulu di Ragunan (ia memang lulusan SMA Olahragawan Ragunan), saya sampai mencuri kunci ruang sirkuit training dan diam-diam latihan sendiri. Sebelum ada orang datang saya sudah latihan di hall, lalu tidur di sana sampai teman-teman saya datang dan mulai latihan bersama. Nah, mengapa sekarang saya tak boleh membuktikan cara saya. Tinggal berapa tahun lagi, sih, saya main? Tak ada yang tak mungkin buat saya. Juga untuk mengalahkan Yang Yang. Saya mau membuktikan, tapi terbentur orang di sekitar saya. Saya pernah jadi pemain bagus, mengapa yang saya lakukan tak boleh dijadikan patokan? Disiplin memang perlu. Tapi, kalau tiap latihan harus baris dulu seperti anak sekolah, itu berlebihan. Pemain baru perlu, tapi saya tidak. Posisi saya memang terjepit. Tak mau ikut, saya bisa dituduh tak punya disiplin. Paling saya cuma bisa marah di rumah, sama Istri. Saya tak senang terlalu diatur-atur. Juga urusan sponsor. Seminggu sebelum berangkat ke Malaysia Terbuka -- dua pekan lalu saya menandatangani kontrak baru dengan Yonex. Tapi PBSI tak mau memberikan rekomendasi. Sebab, semua kontrak dengan Yonex diatur PBSI. Kalau begitu, saya 'kan tak tahu persis berapa yang akan saya terima. Padahal, tadinya, itulah jaminan buat saya. Siapa lagi yang memikirkan anak-istri saya kalau bukan saya sendiri? Saya tak mencari alasan kalah dari Sze Yu. Tapi, kalau mengingat urusan sponsor itu, kalau boleh saya tak akan main di Indonesia Open. Toriq Hadad & Rudy Novrianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus