Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sebuah kemenangan permainan anak-anak

As ditunjuk fifa menjadi tuan rumah piala dunia xv tahun 1994. di as, sepak bola cuma dianggap permainan anak-anak atau sekadar rekreasi serta olah raga permainan yang membosankan. padahal fasilitas memadai.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENRY Kissinger, menlu AS di zaman Presiden Nixon, kini barangkali sedang merayakan sebuah pesta kemenangan. Soalnya, Senin pekan silam bertempat di markas besar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) di Zurich -- AS resmi ditunjuk oleh organisasi yang beranggotakan 147 negara itu, sebagai tuan rumah kejuaraan sepak bola Piala Dunia XV tahun 1994 nanti. Tentu saja keputusan FIFA itu berarti kemenangan yang besar buatnya. Memang sudah terlalu lama Kissinger yang gila bola itu harus memendam keinginannya. Sejak akhir tahun 1970-an, dia sudah berambisi menjadikan AS sebagai tuan rumah Piala Dunia. Malah duet Kissinger dan Cyrus Vance -- menlu di zaman Presiden Carter -- telah diutus untuk melakukan berbagai kontak diplomasi dengan sejumlah pejabat FIFA. Toh hasilnya sia-sia. Pada 1983, mereka gagal merebut hak tempat penyelenggaraan Piala Dunia XIII 1986 di AS. Justru Meksiko yang memenangkan persaingan itu. Tapi keinginan AS untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia tak pernah pupus. Justru semakin menggebu-gebu. Ketika kampanye memperebutkan tempat penyelenggaraan even olah raga yang paling bergengsi setelah pesta Olimpiade musim panas. Ini dimulai beberapa tahun yang lalu, AS tampil paling agresif dalam merayu pejabat FIFA, ketimbang dua calon lainnya: Brasil dan Maroko. Presiden Reagan sampai ikut repot. Ia sempat melobi orang nomor satu FIFA, Joao Havelange, yang diterima dengan jamuan khusus di Gedung Putih, November tahun silam. Sejumlah perusahaan AS yang biasa mensponsori kegiatan FIFA, seperti Coca Cola, juga ikut "menekan" FIFA agar AS ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994. Federasi Sepak Bola AS (USSF) menjanjikan 18 stadion mewah yang siap digunakan sebagai ajang pertandingan. Bahkan tiga tempat, Houston, Dallas, dan New Orleans, memiliki stadion dengan kapasitas 50 sampai 100 ribu penonton, yang atapnya dapat dibuka dan ditutup secara otomatis. Di samping itu, USSF juga menyediakan fasilitas lainnya. Hotel tempat penampungan pemain dan wartawan, serta sarana penunjang lainnya, seperti transportasi dan telekomunikasi yang paling mutakhir. Seluruh biaya kampanye itu menghabiskan US$ 1,4 juta. Tentu saja kehebatan AS itu tak dapat disaingi Maroko atau Brasil. Apalagi FIFA tampaknya sadar bahwa kedua negara itu secara ekonomi pasti kedodoran membiayai turnamen yang diikuti 24 tim terbaik di dunia yang seluruhnya akan memainkan 52 pertandingan selama 1 bulan penuh. AS boleh menang dalam soal fasilitas sepak bola. Tapi bagaimana dengan kehidupan olah raga itu sendiri di sana? Sungguh merupakan suatu ironi, sepak bola Justru tak berakar di negeri itu. "Di sini sepak bola cuma dianggap permainan anak-anak atau sekadar rekreasi," tutur Prof. Oliver Williams, seorang dosen ilmu politik di North Carolina State University, yang juga pecandu sepak bola. Buat mereka, sepak bola adalah olah raga permainan yang membosankan. Lain halnya dengan bola basket, bisbol, atau American football (sepak bola ala Amerika yang lebih dekat dengan rugby). Sebagai suatu tontonan, sepak bola dianggap "lambat", tak secepat bola basket. Skor hasil akhir pertandingan juga "kecil" 1-0, 1-1, atau 2-1. Seiring dengan anggapan itu, tercermin pula bahwa prestasi bola AS juga tak pernah maju selama ini. Dalam 13 kali penyelenggaraan putaran final Piala Dunia, AS hanya berhasil tampil tiga kali -- 1930, 1934, dan 1950. Padahal, sepak bola di AS secara teratur sudah dimainkan sejak tahun 1923. USSF kini bahkan berani mengklaim bahwa tak kurangdari 10 juta penduduk ASmain sepak bola secara profesional satupun hanya sekadar rekreasi. Organisasi ini juga memiliki 1,5 juta anggota aktif yang membayar iuran, dan 4 juta orang lainnya tergolong sebagai simpatisan. Sekalipun sudah punya tradisi yang panang, kompetisi sepak bola profesional baru dilakukan sejak tahun 1967, yang dipelopori oleh North American Soccer League (NASL). Beberapa jutawan bersedia menjadi investor untuk membiayai klub. Secara bertahap, sepak bola berhasil menarik penggemar. Memasuki pertengahan tahun 1970-an sepak bola di AS mengalami masa pencerahan. Para pemilik klub mulai berani mengimpor pemain asing. Sejumlah bintang sepak bola dari mancanegara didatangkan dan diiming-imingi lambaian dolar yang menggiurkan. Di antaranya, Pele, Carlos Alberto (Brasil), George Best (Irlandia), Bobby Moore, Gordon Banks (Inggris), Franz Beckenbauer aerman Barat), Johan Cruyff, Johan Neeskens (Belanda), Chinaglia (Italia), pernah meniti karier di liga sepak bola AS itu. Klub New York Cosmos, misalnya, berani mengeluarkan uang US$ 10 juta setahun hanya untuk membayar sejumlah pemain inti. Ini tidak termasuk gaji Pele, yang waktu itu menerima bayaran US$ 4,5 juta per tahun. Belum lagi pengeluaran lainnya seperti pembuatan celana pemain, yang didesain perancang khusus, dan harganya mencapai USS 400 per buahnya. Puncaknya terjadi pada awal tahun 1980-an. Anggota NASL mencapai 24 klub dan rata-rata setiap pertandingan ditonton sekitar 70.000 orang. Tapi ongkos pengelolaan yang besar itu akhirnya membuat klub-klub bola di sana kedodoran. Besar pasak daripada tiang. Pemasukan karcis dari penonton dirasakan tak cukup menutupi biaya. Setahunnya rata-rata setiap klub argota NASL merugi sekitar US$ 1 juta. Sejak awal tahun 1980-an klub bola di sana akhirnya rontok satu per satu. Tahun 1984 tinggal 8 klub saja yang mencoba bertahan. Toh akhirnya, "mana tahan ?" Tahun berikutnya NASL bubar dan meninggalkan utang sekitar US$ 600 juta. Sebagian menuding manajemen yang buruk yang membuat NASL gulung tikar. Tapi sebetulnya ada faktor lain yang juga berperan dalam mempercepat rontoknya sepak bola profesional di sana. Yaitu, jaringan TV swasta AS yang ada tak punya minat menyiarkan pertandingan bola. Alasannya, kurang komersial dan praktis tak ada pemasukan dari iklan -- ketimbang misalnya membeli TV right untuk pertandingan tinju, bisbol, bola basket, atau American football. Padahal, selama Olimpiade 1984 di Los Angeles, pertandingan sepak bola disaksikan sekitar 1,4 juta orang. Tapi TV AS tetap saja tak bergeming. Final sepak bola antara Prancis dan Brasil cuma ditayangkan selama 10 menit oleh jaringan TV swasta ABC. Belakangan memang muncul kompetisi liga sepak bola semiprofesional. Kompetisi yang berada di naungan American Soccer Leage (ASL) beranggotakan 10 tim berada di pantai timur AS. Sedangkan di wilayah barat ada Western Soccer Leage (WSL) yang memiliki 6 klub anggota. Tapi kedua liga tersebut cuma jadi sarana rekreasi para mahasiswa yang punya hobi sepak bola. Dan mutu kompetisinya pun masih jauh di bawah standar NASL dulu. Itu sebabnya, cuma ditonton ratusan orang. Para pemilik klub akhirnya membuat berbagai formula baru dalam permainan sepak bola. Olah raga ini tak lagi dimainkan di lapangan terbuka, dan tiap tim tak lagi terdiri atas kesebelasan. Sepak bola dimainkan di lapangan karpet yang lebih kecil ukurannya dari lapangan sepak bola biasa, dan di ruang tertutup. Setiap tim terdiri atas 6 orang dan aturan mainnya mengadaptasi permainan hoki es misalnya pemain yang main kasar dikenai hukuman tak boleh bermain selama dua menit, dan selama menjalani hukuman ia tak boleh diganti pemain cadangan. Kompetisi yang dinaungi, Major Indoor Soccer League (MISL), itu kini hidupnya juga senen-kemis. Tanda tanya inilah yang membuat orang menjadi ragu, apakah AS mampu menjadi tuan rumah yang "baik" selama penyelenggaraan Piala Dunia 1994 nanti. Padahal, seperti kata Kissinger, "Sepak bola adalah suatu permainan yang secara hebat melibatkan perasaan." Nah, "perasaan sepak bola" inilah rupanya yang belum dimiliki oleh sebagian besar warga AS. Potensi AS sebenarnya cukup besar. Semangat tidak mau kalah dari bangsa lain, untuk menjadi nomor satu, sangat kuat pada bangsa Amerika. Padahal, sepak bola merupakan olah raga paling populer di dunia. Mungkin ini bisa dijadikan motivasi. Apalagi kalau sepak bola sebagai bisnis nanti dianggap menguntungkan. Dan dolar, atau keuntungan, di negeri itu bisa menjadi pemacu segalanya. Ahmed K. Soeriawidjaja, P. Nasution (Washington)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus